Cerita dari Digul - Editor: Pramoedya Ananta Toer


HAII HAI HAI!!!
Udah lumayan lama juga nggak nulis. AKhirnya kesampean juga buat review novel ini. Eits sebenarnya buku ini bukan novel modern sih, lebih tepatnya kumpulan karyua sastra yang tertinggal dari para penulis besar. Wew... Editornya adalah Pramoedya Ananta Toer. Nggak kenal dia siapa? Itu loh yang nulis buku terkenal berjudul "Bumi Manusia". Masih nggak tau? mending tanya mbah google. Kalau enggak coba search di GoodReads.

Langsung aja laa ke review-nya ;D


[TENTANG BUKU]
Judul: Cerita dari Digul
Penulis:
D.E Manu Turoe: Rustam Digulist
Oen Bo TIk: Darah dan Air-Mata di Bovel Digul
Abdoel'IXarim M.s.: Pandu Anak Buangan
Wiranta (Eks-digulist): Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Bovel Digul.
Tanpa Nama (TN): Minggat dari Digul.
Editor:L Pramoedya Ananta Toer
Penata Letak: Deborah Arnadis Mawa
Perancang Sampul: Deborah Arnadis Mawa
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

[SINOPSIS]
Cerita dari Digul merupakan kumpulan tulisan karya para eks-digulis. Mereka pernah dibuang sebagai tahanan politik semasa  pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Berbagai cerita itu, yang sungguh-sungguh terjadi, mengisahkan suka-duka mereka dalam mempertahankan hidup di tanah buangan Digul, Papua Barat. Getir dan Mengharukan.,

Karya-karya tersebut, yang dikumpulkan dan disunting oleh Pramoedya Ananta Toer, layak dicatat sebagai dokumen sejarah sastra dan Bahasa Indonesia. Dua karya "Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul"dan "Minggat dari Digul", menggambarkan perjuangan pengarang untuk menggunakan bahasa Melayu, yang bukan bahasa ibu mereka. Selain itu, "Pandu Anak Buangan" boleh jadi merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia bertema psikologi hingga 1945.

Sebagai kumpulan cerita, buku ini bukan saja nikmat dibaca tapi juga memberi kita bahan renungan tentang makna kemerdekaan hidup sebagai manusia dan bangsa.


[DESAIN]
Jangan tanya mengenai soal desain buku. Seperti buku sastra pada umumnya. Sangat simple, tidak menarik, tidak eye-catching sama sekali. Bahkan desain each page nya pun nggak menarik. Bahkan kata "DIGUL" di cover depan menggunakan font curling gitu, yang sering dipakai untuk bikin typography ala fashion blogger ;D


[GAYA PENULISAN]
well, sebenarnya nggak banyak yang mau aku bicarakan. Karena ini karya sepanjang masa. Pun, kalau dikomen yang negatif sepertinya sulit juga. Yang pasti, menurutku ini buku lumayan berat, terutama bagi orang-orang awam yang nggak ngerti sastra sama sekali, atau mereka yang nggak suka buku, atau mereka yang nggak linguistik. Untuk kalian yang nggak suka bacaan sastra, jangan sok-sokan beli buku model begini, aikhir-akhirnya percaya deh nggak bakal kebaca.

Aku pun perlu dua kali baca buku ini. Pertama kali baca, rasanya pusing. Otak kosong. Mungkin karena aku nggak bisa mengimajinasikan setiap adegannya. Selain itu, nggak sepenuhnya Bahasa Indonesia. Ini sebagian besar bahasa melayu. Jadi, rarda pusing aja pertama kali baca. Aku baca pertama kali cuma sampai halaman 200 lebih. Setelah itu aku baca ulang dari awal supaya aku paham betul dan bisa review di blog.

Karena banyak sekali memakai bahasa melayu, banyak pula gaya bahasa yang cenderung hiperbola. Bukan cenderung lagi sih, tapi MEMANG hiperbola. Tapi, justru itulah yang menarik dari karya-karya ini, karya sastra itu nggak malu untuk menggunakan gaya bahasa yang super overwhelmed. Contohnya ya kayak hiperbola ini. Coba novel jaman sekarang, mana ada yang pakai majas hiperbola atau personifikasi.

Terkadang di awal cerita tuh, menggambarkan suasana pemandangan yang nggak akan temui lagi di novel modern. Seperti "Matahari sedang pancarkan ia punya sinar sepanas-panasnya, hingga pasir putih yang sebagai bubukan gelas mengkredep-kredep menyilaukan mata." - Darah dan Air-Mata di Bovel Digul. Ya, mengingat penulisnya saja orang zaman dulu, karena Indonesia di zaman penjajahan, masih memakai bahasa melayu sebagai bahasa nasional.

[CERITA]
Ceritanya menarik sekali. Yang membuat aku heran, kok, dari bab awal sampai akhir seperti saling sambung. Maksudnya saling sambung, bukan karena tokoh-tokohnya saling terbelit dalam konflik yang sama, tetapi mereka berada dalam cerita dan konflik yang berbeda. Berbeda judul cerita pula. Tapi, yang menarik adalah di bab awal, dengan judul Rustam Digulist karya D.E. Manu Turoe , itu ceritanya adalah tentang seseorang yang baru saja hendak dibuang ke Digul. Tapi, untuk pemanasan, aku suka ceritanya karena ada bumbu-bumbu percintaan dewasa--bukan remaja.

Kemudian, di bab terakhir, dengan judul "Minggat dari Digul" karya Tanpa Nama, itu tentang perjalanan mereka yang berusaha untuk keluar dari Digul melalui hutan Rimba, sebagaimana sebagian besar cerita ini berlatar di hutan. Seperti mengalir, kan? prolog tentang Digul, kemudian tokoh-tokoh yang berusaha keluar dari Digul.

Kemudian, yang paling terkenal adalah "Pandu Anak Buangan" karya
Abdoe'IXarim M.s. Aku sejujurnya nggak percaya sekali bahwa cerita ini adalah cerita nyata walaupun di ceritanya ditegaskan betul bahwa cerita ini adalah nyata. Masa sih ada cerita seperti itu di dunia ini? Ouch, kalian kalau baca ceritanya pasti bakal banyak tertegun. Kayak heran gitu, dan sedikit kocak, tapi nggak bikin ketawa. Lucu banget pokoknya, ceritanya sangat menghibur. Alasan mengapa dianggap sebagai karya sastra psikologi, mungkin karena ceritanya yang sangat out of the box. Penulis novel modern, zaman sekarang pun sepertinya nggak akan kepikiran buat bikin jalan cerita seperti ini. Adegan-adegan dan konfliknya itu loh!

Kemudian, ada juga cerita yang sangat twist ending, dan bikin geregetan. Judulnya Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul karya Wiranta, Dia adalah eks-digulis. Ini ceritanya parah sih! Fluktuasi dari jalan ceritanya hebat banget.

Nah, sebagian besar cerita-cerita lain juga seperti ini, ending-nya tidak tertebak, serta sangat kocak kalau dibilang orang-orang zaman sekarang. Layaknya karya sastra banget. Sangat disayangkan, di cerita akhir yaitu "Minggat dari Digul" tidak mampu menjadi penutup cerita yang berkesan. Ending ceritanya gantung. Adegan-adegannya juga nggak begitu menarik. Seperti pakai sudut pandang orang ketiga pengamat. Ada satu tokoh, di mana dia bercerita. Dan, itu dia cerita digambarin lewat satu dialog penuh. So, i don't really liked it.

Tapi, yang pasti buku ini bisa meningkatkan jiwa nasionalis banget. Karena, dengan buku ini,  yang katanya cerita-ceritanya adalah nyata karena ditulis oleh para ex-digulis (mantan orang-orang yang telah dibuang ke Digul), maka kita tahu betapa sulitnya membuat negara ini merdeka.

Comments

Popular Posts