The Return of King Rat
Aku menjadi bintang di sekolah. Seluruh guru mengenalku dengan baik; Semua murid ingin menjadi sahabatku. Aku begitu populer dan aku menikmatinya. Semua ini tidak kudapatkan secara instan, tentu saja. Aku telah memenangi berbagai lomba menari, terutama balet. Dimulai dari ajang menari kecil-kecilan di sekolah, lalu naik ke kompetisi tingkat kota dan daerah hingga tingkat nasional. Aku memikul nama harum sekolah dan keluarga. Aku resmi menjadi balerina seperti Mama yang dahulu merupakan penari solo populer di zamannya.
Suatu hari, ketika aku berpesta di ulang tahunku yang ketujuh belas—saat itu adalah malam bersalju musim dingin yang pekat—Papa memberikanku kotak kado berukuran sedang terlapisi pita organdi sebagai hiasannya. Papa tidak memberi tahuku siapa yang memberikanku kado tersebut, walau awalnya aku berpikir bahwa Papa sendirilah yang memberikannya kepadaku, tapi ternyata dugaanku salah.
Aku membuka kado itu dan surprise!—Ini adalah sebuah boneka balerina. Boneka ini memiliki rupa yang cantik sekali. Aku menyukainya, sangat! Boneka anggun yang Mama tinggalkan untukku—ya, setelah aku membuka kado ini, barulah Papa menjelaskan hal itu kepadaku. Pada selipan boneka ini, Mama juga menitipkan secarik surat dengan coretan khas milik Mama di dalamnya. Seandainya Mama tidak ke luar kota saat hari ulang tahunku, aku ingin sekali megucapkan kata ‘terima kasih’ secara langsung kepadanya.
Namanya adalah Clara. Keajaiban akan segera mengunjungimu.
Love, Mama
Clara, nama cantik selaras dengan rupanya. Namun, ada satu hal yang membuatku menghiraukan boneka ini: Mengapa kaki sebelah kanannya dilapisi oleh gips? Gips ini membuat Clara tampak—sedikit—seperti orang cacat.
Tanpa memedulikan hal itu lagi, aku pun membawa Clara ke ranjang. Saar inilah semua keanehan terjadi—sihir terjadi. Clara hidup; Dia berbicara, bergerak, bernapas layaknya manusia; Rambut blonde-nya terayun gemulai saat dia menggerakan kepala. Yang lebih tidak masuk akal lagi, dia membangunkanku di tengah malam—mungkin kalau dia tidak membangunkanku, aku tidak akan tahu kalau dia bisa hidup di tengah malam.
“Bangun! Ayolah bangun!”
“AAHHHH!!!” teriakku saat Clara berada tepat di depan wajahku. Boneka yang memiliki tinggi persis dengan boneka Barbie berubah menjadi menusia cantik yang kira-kira sepuluh sentimeter di atasku.
“Shh, jangan berisik. Ayolah bantu aku.” Dahiku mengernyit; mulutku terbuka lebar; mataku menyipit—seakan aku masih bermimpi.
“Kamu siapa?”
“Aku Clara, boneka balerina. Tidak mungkin, kan, kamu lupa padaku.”
“Aku sedang bermimpi, kan?”
“Tidak, Lacey.”
“Dan, sekarang kamu tahu namaku!”
“Oh, ayolah. Kita memiliki misi penting!” Sebelum aku me-complain pernyataannya, dia langsung menarikku bangkit dari ranjang.
Clara membawaku ke aula lantai tiga, tempat di mana aku menyimpan barang-barang usangku saat kecil—di tempat itu pula, aku melatih keterampilan baletku. Saat Clara membuka pintu, aku terasa masuk ke dunia ajaib. Mainan-mainan rongsok yang aku kulaikan sejak lama bergerak—mereka hidup sama seperti Clara. Mereka menari, bersyair, bercengkrama sesuai dengan kepribadian mereka masing-masing. Ruangan ini tersihir oleh kekuatan gaib yang entah datang dari mana.
Aku mengikuti langkah Clara. Kami sampai ke rumah boneka yang dulunya sering aku mainkan bersama teman-teman mainanku. Aku mulai menyadari bahwa tubuhku menciut seukuran telapak tangan ketika memasuki ruangan ini. Semuanya begitu nyata. Taburan cahaya sihir melingkupi ruangan ini. Kerlap-kerlip langit malam seakan menyeruak pula ke dalamnya.
“Perkenalkan... ini adalah Lacey, putri dari Ms. Veronica Clarisa. Masih ingat, bukan?” Clara mempertemukanku kepada tiga orang aneh yang sudah aku kenal: Tuan Badut gendut berwajah cemong, Wanita eksotis seorang pianis, dan sang Dutches pengibas kipas andalannya.
“Aku tahu kalian semua,” jelasku. “Kalian adalah mainan yang aku permainkan di masa kecil. Lucu sekali, Clara. Bagaimana kau bisa mengenal mereka semua? Padahal kamu saja baru sampai ke sini belum lebih dari 24 jam.”
“Pertanyaan bagus, Lacey. Aku adalah mainan kayu peot sama seperti mereka, jadi... bagaimana bisa sesama kaum mainan tidak saling mengenal.” Clara memelototiku sesaat dengan tatapan bengisnya. “Kamu sedikit tengil juga ya. Bagaimana bisa Ms.Veronica yang menawan memiliki anak sepertimu?—“
“Jangan mengungkit Mama dan jangan menghakimi orang yang baru saja kau kenal sejak 1 jam yang lalu.”
“Aku tidak menghakimimu. Aku hanya takut jika kamu tidak bisa menjalani misi ini!”
“Misi apa? Lagi pula, ini adalah duniamu, kenapa aku harus ikut campur urusan duniamu?”
“Apa kau bilang!? ERGHHH!!” Clara berjalan bolak-balik dari hadapanku dengan kaki pincangnya.
“HENTIKAN! Biarkan Dutches Kiora membenahinya!” Ternyata namanya adalah Dutches Kiora. Dia terlihat sangat terpelajar dan juga... galak. “Kau... Lacey Clarisa... kau akan menari bersama Raja Nicholas atau biasa disebut Nutcracker di duniamu.”
“APA!?” Wanita eksotis itu berlari ke rumah boneka yang tidak memiliki permukaan dinding pada tampak depannya, lalu memainkan piano seakan merangsang aura panik dari dalam diriku.
“Cukup, Viny,” tegas Dutches Kiora. Jadi, namanya adalah Viny.
“Jangan khawatir, Nona. Semuanya akan baik-baik saja.” Badut itu berkata seperti melawak sambil merenggangkan alis-alisnya dari tulang mata.
“Tapi, kenapa? Nutcracker? Tokoh fiksi yang sering aku tonton saat kecil? Yang benar saja!”
“Kamu adalah Yang terpilih. Beryukurlah! Seandainya kakiku tidak seperti ini, aku tidak akan memintamu—dan seandainya Ms.Veronica masih muda, aku juga tidak akan memintamu untuk menolong.” Clara kembali pada kalimat-kalimat emosionalnya.
“Whoa! Jadi, aku adalah cadangan?”
“Tidak! Dengar....” Dutches Kiora kembali menengahi kami, dia memberi isyarat dengan telapak tangannya supaya Clara bersikap tenang. Dia melangkah ke arahku dan menjelaskan segalanya pelan-pelan. “Lacey, kamu adalah balerina yang sangat hebat. Mamamu... pernah menjadi bagian dari kami. Dia pernah memasuki dunia kami dan bergabung pada misi-misi kami terdahulu. Kini, sepertinya Mamamu juga ingin kamu merasakan hal serupa. Kebetulan sekali kamu datang di saat yang tepat.”
***
Pasukan tikus menyergap Toy’s Town dan menyeret Raja Nicholas dari singgasananya. Ia dimasukkan ke dalam pesawat milik kaum tikus dan memenjarakannya di penjara bawah tanah Kuil Tikus. Ratu Clara tidak sempat untuk menolong. Saat itu, dia sedang menari bersama Raja Nicholas di aula utama kerajaan Toy’s Town. Namun, serta-merta pasukan tikus mengepung aula dan memisahkan mereka secara paksa.
“Tidak! Lepaskan!” seru Ratu Clara dengan pedang baja menjadi ancaman bagi Raja Nicholas.
“Lepaskan dia! Dan aku akan ikut bersama kalian!” Raja Nicholas menyerahkan diri kepada tikus-tikus itu. Namun, Ratu Clara tidak berdiam diri. Dia mengejar dari belakang pasukan tikus. Sebelum sempat melewati celah pintu aula yang masih terbuka, salah satu dari tikus-tikus itu membalik tubuh dan menusuk betis Ratu Clara.
“AHH! Nicholas!”
**
“Seluruh penduduk Toy’s Town kembali seperti sedia kala. Menjadi budak, atau bahkan ada yang dibakar karena sudah dianggap sebagai mainan cacat.” Aku tidak sanggup berkata. Aku akui cerita ini sangat mengharukan. “Kamu adalah harapan kami, Nak.”
“Baiklah, aku akan menolong kalian.” Semua bersorak-sorai. “Tapi, sebelumnya....” Semua mengkatup mulut seketika. “Aku ingin bertemu Peri Salju. Di mana dia? Aku sangat mengidolakannya sejak kecil.” Clara tertawa terbahak-bahak mendengar omonganku.
“Dia tidak ada, Nak, dan tidak akan pernah ada di dunia kami,” jawab Dutches Kiora. Viny memainkan kembali pianonya.
***
Hanya aku, Clara, dan Tuan Badut yang pergi ke kuil tikus dengan kendaraan menyerupai siput bercangkang permen lollipop miliknya. Jangan berpikir bahwa kendaraan ini melaju lamban—aku pun berpikir seperti itu pada awalnya, tapi salah besar. Siput ini melaju layaknya pesawat jet dan cukup membuat rambutku kusut bercerai-berai.
Kami sampai di tempat tujuan: Tempat pembuangan sampah tikus-tikus yang terletak di sayap kiri bangunan tanpa penghuni. Bau dan kotor, itulah deskripsi singkat tentang tempat ini.
Di dinding berbatu kuil ini, terdapat cermin usang yang sudah retak. Tuan Badut menuntun kami untuk masuk ke dalamnya—aku pernah melihat aksi ini di buku dongeng. Aku dan Clara membuntuti tubuhnya yang lebar masuk ke dalam cermin. Kami sampai pada sebuah lorong gelap bercahayakan lilin-lilin.Tuan Badut memberi isyarat untuk menyuruh kami diam. Dia kembali menuntun kami seolah dia adalah tour guide dari kuil ini. Setelah mengendap-ngendap, kami sampai pada deret penjara kuil.
Di sana, ada Nutcracker atau Raja Nicholas, atau apa pun sebutannya. Clara langsung menghampiri boneka kayu berwajah kotak itu dengan senyum semringah. Ia menjelaskan semuanya kepada Nicholas. Tanpa basa-basi lagi, kami segera pergi ke tempat pembakaran, di mana Raja Tikus memperbudak dan membakar penduduk—yang dianggap cacat—Toy’s Town.
Awalnya, aku berpikir bahwa hanya kami bertiga yang menjemput Nicholas, tapi aku salah lagi. Saat kami berjalan melewati lorong, muncullah Viny dan Dutches Kiora dari tempat kami menembus cermin tadi. Aku baru sadar, mereka menyusul karena cangkang Siput tidak muat untuk menampung semua pelaku.
Kami sampai di Lapangan Pembakaran. Di sana, sudah ada Raja Tikus beserta pengawal-pengawal kotornya. Mereka menyadari kehadiran kami seraya Nicholas berjalan ke tengah lapangan. Seluruh warga tertegun melihat Nicholas, namun mereka terlihat sangat gembira.
“Hebat sekali, Nak. Kau berhasil membawa curut-curutmu,” sahut Raja Tikus.
“Ya, dan saya akan menghentikan semua ini.”
Viny yang sudah respect mulai memainkan denting piano yang ia raih dari sakunya. Denting piano mengalun begitu merdu. Dutches Kiora mengibas pelan kipasnya ke arahku dan Nicholas. Seketika setelanku berubah menjadi gaun indah ala balerina. Begitu pula dengan Nicholas yang tadinya memiliki kulit kayu berubah menjadi Pangeran menawan.
Dia merentangkan tangannya kepadaku seraya membungkuk. Aku menjawabnya dengan menggenggam tangannya. Kami mulai menari mengikuti alur musik. Seluruh pemandangan jenuh ini berubah menjadi cerah. Perapian berubah menjadi air mancur. Kuil yang gelap tersinari oleh matahari yang menyilaukan. Semua warga bersorak-sorai dan mengikuti langkah kami untuk menari. Burung-burung menggiring serpihan bunga warna-warni. Sedangkan Raja Tikus—oh, dia kembali ke ukuran semula. Dia telah kalah oleh sihir tarianku dan Nicholas. Dia kembali menjadi tikus jalanan terkutuk memelosoki selokan.
“Terima kasih, Lacey.” Nicholas menatapku dengan wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. Aku membalasnya dengan senyuman. Aku memejamkan mata seolah mengerti akhir dari cerita ini.
Akan tetapi, lagi-lagi aku salah. Saat aku kembali membuka mataku, aku sudah berada di atas ranjang. Hari sudah pagi. Aku melihat Clara yang masih tergeletak di sampingku. Kaki pincangnya sudah tidak lagi digips.
Aku berlari ke ruang masa kecilku. Semuanya terlihat normal. Tidak ada yang hidup, tidak ada lagi debu-debu sihir di udara. Aku menggaris senyum tipisku, lalu meletakkan Clara di Rumah Boneka. Aku memandangi Clara dari dekat, lalu menyadari bibirnya tersenyum kepadaku.
Comments
Post a Comment