Kucing, Penyihir, dan Sapu Lidi


Aku ingin menulis. Aku ingin menulis sebuah cerita. Aku ingin menulis seuntai paragraf di atas halaman buku kecil ini. Aku ingin menulis rangkaian kata berdasarkan apa yang dikatakan oleh otak kepada bibir. Aku ingin menulis imajinasi yang hendak menghiasi sebuah kertas. Seiring dengan langkah kaki yang melaju di atas trotoar pada kota kecil di sudut gang perumahan kumuh, aku masih saja belum menggoreskan satu kata pun di atas halaman buku kecil ini. Satu kalimat saja, aku ingin menulis. Aku mengendus pelan, menghentikan langkahku, lalu mencoba untuk memejamkan mata seketika.
Tiba-tiba terdengar bunyi gemerisik. Suara itu seperti sebuah suara yang berasal dari garukan kuku-kuku jari pada kayu. Aku menoleh pada rumah yang berada di sisi kananku. Aku menerka-nerka jika suara itu benar-benar berasal dari rumah tersebut. Aku melangkah perlahan-lahan mendekati gerbang rumah tersebut. Semakin dekat semakin terdengar jelas suara itu. Aku mengintip dari jendela rumah, dan melihat seekor kucing. Kucing yang sedang mengasahkan cakar-cakar jemarinya pada pintu kayu. Kucing berwarna abu-abu—pembauran antara warna hitam dan putih membuatnya menjadi ciri khas tersendiri. Kucing ini benar-benar lucu. Belum lama aku mengamati tingkahnya, akhirnya dia sadar juga akan kehadiranku. Dia mendongakkan kepalanya ke hadapanku di jendela. Tubuhnya meninggi untuk menggapai titik penglihatannya kepadaku. Lalu, dia memulai interaksi “miao” kepadaku.
Kucing abu-abu yang terperangkap di rumah kosong ini telah menggulirkan perhatianku kepadanya. Aku senantiasa menolongnya agar dia terbebas. Aku mulai berpikir keras, mencari cara supaya aku bisa mengeluarkannya dari rumah yang sudah kumuh ini. Kucoba memerhatikan sekitar jika ada benda yang dapat diandalkan. Keputusanku jatuh kepada sebuah sapu lidi bergagang kayu yang tergeletak di dekat bak sampah pada halaman belakang rumah. Aku mengambil sapu itu, lalu kuterjengkan kepada pintu rumah. Beberapa kali tidak terbuka juga. Aku mengambil strategi lain, yaitu menghantam jendela. Pertama-tama, aku memberi kode kepada si Kucing untuk menjauh dari jendela, rupanya dia mengerti maksudku. Aku menjauhkan langkahku dari jendela rumah; memfokuskan mata dan mengisi stamina. Gagang kayu sapu lidi berhasil memecahkan jendela rumah sederhana ini, aku berhasil membebaskan si Kucing. Alhasil, si Kucing mengendus-ngendus kakiku serta mengusapkan kepala ciliknya pada kakiku juga. Aku membalasnya dengan elusan pelan pada tubuhnya yang berbalut bulu-bulu halus. Kucing yang sangat manis tidak seharusnya berada di dalam rumah itu.
            Seketika awan berubah menjadi mendung; angin mengeluarkan udara dingin. Embusannya menjuluri kulit lenganku yang telanjang. Aku mulai berancang-ancang untuk mencari tempat berteduh. Hari sudah semakin sore, matahari hendak turun pada pusat barat. Aku mengangkat si Kucing dan berlari ke sebuah warung di sebrang rumah sederhana ini.
Pradugaku benar, angin mengayun-ayun di udara dengan kecepatan tinggi. Simpang siur hujan dan angin menyetarai awan yang sedang melukis langit menjadi suram kelabu. Malam dengan hitamnya yang begitu pekat menahan siapa pun untuk berlalu. Huh... sampai berapa lama aku akan berada di sini?
Si Kucing tampaknya bersikap tegar bersahaja sejak tadi. Dia tidak melawan atau pun gelisah selama berada di pangkuanku. Sikapnya yang sangat tenang membuatku ingin memeliharanya.
Pandanganku terlempar pada sebaret cahaya hijau yang terlampias dari langit. Cahaya hijau itu mendarat di belakang rumah sederhana tadi bak pesawat jatuh. Suara ledakan tercuat begitu saja, yang mengeluarkan gumpalan asap putih tersuir di udara. Aku tersontak melihat kejadian ini, apa itu? Aku ingin menghampirinya, tetapi aku takut. Lalu, seseorang keluar dari balik halaman belakang rumah—seorang wanita tua berpakaian aneh, yakni memakai topi berbentuk kerucut, baju melar berombeng-rombeng, dan sepatu bot berwarna hitam. Ia menyeret sapu lidi bergagang kayu, mirip seperti sapu yang aku gunakan tadi untuk menyelamatkan si Kucing. Sepertinya... dia sedang gusar, terlihat dari wajahnya yang masam. Wanita tua itu berjalan ke dalam rumah, lalu membanting pintu.
Aku masih memandangi rumah itu, bertanya-tanya jika si Kucing merupakan peliharaan milik Wanita tua itu. Jika memang benar, aku harus segera mengembalikan si Kucing kepadanya. Tidak lama kemudian, si Wanita tua keluar dari rumahya. Tampaknya dia sedang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Dia memerhatikan sekelilingnya yang sepi—dia tidak peduli dengan hujan maupun badai. “MI GATA! MI GATA!” teriaknya  dengan vokal cempreng. Dia barusan berkata apa? “Mi gata.” Aku pernah mendengar kata-kata ini di... aku hampir lupa. Hmm, kalau tidak salah dari seorang pedagang ikan di pasar yang sedang bericuh dengan putrinya. Dia menyebut-nyebut kata “Mi Gata,” yang artinya “Kucingku.” Aku ingat sekarang. Kata-kata ini berasal dari bahasa Spanyol, mungkin. Mengingat pedagang itu berkebangsaan Spanyol. Jadi, kucing ini adalah miliknya? Aku tidak mungkin salah dengar apa yang dia ucapkan.
Setelah sekian kali menyebut-nyebut kata itu, aku melihat sebuah sapu lidi bergagang melayang keluar dari dalam rumah. Mungkin ini adalah sebuah khayalan, tapi tidak... sapu itu benar-benar melayang dari dalam rumah! Dia menghampiri si Wanita tua, dan... selanjutnya yang terjadi adalah... dia terbang menaiki sapu lidi tersebut. Aku mengerti sekarang, Wanita tua itu adalah seorang penyihir! Tidak mungkin! Aku tidak salah lihat! Walaupun cuaca sedang suram, tapi penglihatanku masih tajam.
Dia menghantam udara;  bersimpang-siur sambil menyerukan kata-kata, “MI GATA MI GATA!”
Aku harus mengembalikan si Kucing kepadanya. Sesaat hujan reda, aku melangkahkan kaki ke depan pintu rumah sang Penyihir. Aku mengetuk pintu sesaat ia membukanya.
Matanya langsung menoleh kepada si Kucing. “Ah! Mi gata!” Dia memeluk si Kucing dan mengelus-ngelusnya di dekapan dengan euforia yang membelahi jiwanya. Setelah itu, dia membelalakkan kedua matanya dengan seram ke wajahku. Sesaat kemudian, barang-barang yang ada di ruang tamunya terangkat ke udara—barang-barang yang tidak seharusnya ada, rumah ini seharusnya kosong dan kotor. Dia benar-benar penyihir.
Aku menggelengkan kepala, mundur ke belakang untuk coba  menghindar dari sang Penyihir. Akan tetapi, si Kucing mengeluh, “Miao miao.” Sang Penyihir tampak paham dengan apa yang diucapkan oleh kucingnya. Semua barang yang melayang kembali kepada tempat semula. Sang Penyihir tersenyum kepadaku, lalu menundukkan kepalanya, yang aku rasa sebagai rasa hormat serta terimakasih kepadaku. Entahlah.
“EHH!! Ya, ampun! Nakal sekali kamu ini, ya!” Ibu itu memarahi anaknya karena melihat anaknya menyenggol tanganku. Tindakannya menyebabkan tulisanku menjadi sedikit tergores. “Maafkan sikap anakku yang udah nggak sopan kepada Mbak Ana ini, ya. Dia ini memang bandal walaupun wajahnya sangat melas, yang terkadang membuat beberapa orang merasa prihatin kepadanya. Maaf sekali....”
“Tidak apa-apa, kok, Bu. Wajar saja kalau anak kecil sepantaran dia memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.”
“Memangnya Mbak Ana sedang menulis apa, sih dari tadi?” Aku sedikit merasa bersalah kepada Ibu ini karena sedari tadi, aku hanya menganguk-angguk mendengar cerita yang berkoar dari mulutnya seraya menulis kisah kecil ini di buku. Aku cuma tersenyum tipis untuk menjawab pertanyaan Ibu ini. “Anak saya tidak seperti anak-anak kecil pada umumnya yang meluangkan waktu bersama teman-teman. Dia lebih banyak menyendiri di rumah membaca buku-buku koleksinya yang tidak pernah habis. Almarhum ayahnya adalah seorang penulis hebat, sisa-sisa peninggalannya—seperti royalti buku, misalnya—seringkali masih terkirim ke rumah. Dahulu, saat ayahnya masih ada, anak saya senang sekali mendengarkan dongeng yang dilontarkan oleh Ayahya pada malam sebelum tidur. Tetapi, sekarang dia cuma bisa membacanya sendirian langsung melalui bukunya. Seakan-akan dia adalah segalanya untuk saya dan anak saya. Tanpa dia, kami tidak lagi bisa terbang, tidak lagi bahagia. Kondisi rumah begitu sedu saat ini.”
“Kasihan sekali..., semoga suami Ibu tenang, ya, di atas sana.”
“Iya. Terimakasih, ya, Mbak. Karena telah mendengarkan cerita saya yang begitu panjangnya.”
“Iya, Bu. Saya senang, kok, mendengar cerita ibu yang sangat menarik.”
“Sebentar lagi sampai, kami ingin pamit, ya, Mbak Ana.”
“Oh, iya... ini... mmm, anggap saja kenang-kenangan dari Kakak.” Aku memberikan buku dongengku kepada Laila, putri tunggal dari Ibu ini yang masih berumur lima tahun. Semoga saja dia menyukai kumpulan cerita yang sudah kutulis di dalamnya. Halaman terakhir adalah yang terbaik. Buku dongeng itu pantas untuknya. “Ya, memang sih, sangat sederhana, hanya ditulis dengan pena hitam pasaran—tidak seperti buku-buku dongeng yang ada di toko buku, tetapi Kakak harap, Laila menyukainya, ya. Tolong dijaga, ini berharga banget, loh!” Aku menyunggingkan senyum kepadanya.  Wajah berperasaan salahnya masih membekas.
“Tuh, diambil dong bukunya, sayang. Ayo diambil.” Laila menerima buku dongengku. “Ayo bilang makasih ke Kakaknya.”
“Makasih, Kak Ana.”
“Sama-sama, Laila.”
Gerbang kereta api sudah terbuka. Sudah saatnya bagi Ibu dan anak itu untuk pergi. “Duluan ya, Mbak Ana. Mari....”
Rasanya begitu lega karena pada akhirnya... aku telah menyelesaikan buku dongeng pertamaku. Buku dongeng sederhana tanpa adanya pempublikasian. Namun, aku yakin telah pindah kepada tangan yang tepat.
Dari atas trotoar malam di kota kecil yang hening, terlihat seorang penyihir yang menaiki sapu lidi terbangnya bersama seekor kucing manis berwarna abu-abu ceria. Langit syahdu segera tergantikan pelangi. Keluarga kecil yang tidak sempurna, namun tetap berkenan mengukir cahaya pada langit malam ini.
Aku kembali kepada buku kecilku. Baiklah, aku tahu apa yang harus aku tulis sekarang.
- Kucing, Penyihir, Dan Sapu Lidi
Oleh: Ana

Comments

Popular Posts