Khayali


Badai menghantam  hutan Belantara. Pepohonan tumbang. Hujan kencang menciptakan adonan lempung yang melekat pada sepatu sang Pemburu. Hujan memaksa pergi ke bangunan kayu. Bangunan kayu yang sudah hampir rapuh termakan usia. Di pintu rumah tersebut, tergantung papan kecil menandakan, bahwa toko ini masih buka. Kebetulan sekali—sang Pemburu memerlukan senjata yang lebih tangguh.

Rumah sederhana penuh koleksi persenjataan yang dipakai dari zaman ke zaman. Membawa aroma perang bergulir bau darah para pejuang. Dinding kayu banyak terisi oleh gantungan barang-barang antik. Ruangan toko cuma mempunyai jalan kecil sebagai perlintasan. Di samping kanan-kirinya, terdapat lemari-lemari kaca yang rendah berisi perlengkapan perang, seperti persediaan senjata, peluru, rudal, hingga bom pembakar.
Sang pemburu tidak melihat adanya penjaga dalam toko tersebut. Dia memasang wajah tajam. Sang Pemburu menyulut puntung rokok terakhirnya, lalu digantungkan pada selipan bibirnya. Kakinya melangkah dengan lantang hingga ke ujung dinding berpintu. Sang Pemburu mengetuk pintu—tidak ada jawaban, kemudian dia memerhatikan sekali lagi ruangan redup tersebut.
Pintu itu memekik. Perlahan terbuka, lalu menampilkan seorang Kakek tua yang membawa tongkat sebagai penyangga kakinya. Kakek tua itu berjalan ke kursi kayu yang berada di sudut kiri ruangan—yang terdapat meja kasir di dekatnya.
“Maafkan saya telah membuatmu menunggu lama. Kaki saya sangat letih karena berjalan dari lantai atas sampai ke sini. Saya mendengar kau mengetuk pintu ini, Nak. Saya sungguh minta maaf.”
Sang Pemburu tersenyum licik kepada si Kakek tua. Puntung rokok yang sedang ia hisap, dicelotehnya ke lantai berlapis tanah.
“Tidak apa-apa, Pak tua. Saya hanya ingin mencari senjata baru untuk misi pemburuan saya bulan ini.”
“Jenis senjata apa yang kau cari, Nak? Granat? Rudal? Peluru massal? Atau malah, pistol murahan?”
Sang Pemburu berjalan ke arah si Kakek, lalu berkata, “Tukarkan saja senjata ini dengan senjata terbaik yang kau miliki, Pak tua. Saya akan membayar sisanya.”
“Tunggu sebentar.”
Si Pak tua berjalan kembali ke pintu. Kini sang Pemburu harus menunggu Pak tua itu membawa pesanannya.
Sang Pemburu mengempaskan tubuhnya ke kursi kayu milik si Pak tua; menyandarkan tubuhnya dengan santai. Ia menatap sederet laci meja, lalu membukanya satu-persatu. Tangan gerataknya mengambil apa pun. Ia menemukan liontin berbentuk bumi; Pak tua berada di sampingnya sedari tadi, sambil menggenggam senjata.
“Inikah yang kau butuhkan, Nak?” Pak tua meleburkan konsentrasi sang Pemburu. Dia langsung menaruh liontin itu kembali pada tempatnya, dan menutup laci.
“Hah!? Ya…, hmm, maafkan saya.” Sang Pemburu berdiri untuk membiarkan Pak tua menggantikan posisi duduknya. Kali ini sang Pemburu mengamati senjata tersebut. “Hmm, lumayan juga. Berapa?”
“Bolehkah saya melihat senjatamu, Nak?” Sang Pemburu memberikan senjata yang ditanggulnya di punggung belakang. “Setara dengan kualitas senjata milikmu, Nak. Kau tidak perlu membayar.”
“Benarkah?” Pak tua mengangguk. “Baiklah, terus mm…, saya juga membutuhkan kapak—milik saya sudah tumpul. Pak tua menyediakannya, bukan?”
“Tentu saja. Tunggu sebentar.” Pak tua kembali memasuki pintu.
Sang Pemburu segera mengambil liontin berbentuk bumi itu lagi. Dia mengamatinya. Seorang pecinta lingkungan, ujarnya dalam hati. Dia mengembalikan liontin itu ke laci.
Tidak lama, Pak tua keluar membawa kapak yang besinya terbungkus oleh lapisan kain goni.
“Inikah yang kau butuhkan, Nak?”
“Ya, hmm, berapa ini?”
“Kau tidak perlu membayar, Nak. Kapak itu diberikan oleh almarhum atasan saya.” Pak tua kembali duduk.
“Baiklah. Saya pergi dulu.”
“Tunggu dulu!” Sang Pemburu menghentikan langkah untuk keluar pintu toko. “Kau sudah melihatnya, bukan?” Sang Pemburu memutar tubuh mengahadap Pak tua. “Kau tahu, apa gunanya liontin itu?” Pak tua mengambil liontinnya dari laci. “Liontin ini memiliki cerita. Maukah kau mendengarnya?”
Sang Pemburu berpikir sejenak. Dia tidak mungkin menolak keinginan bodoh dari seorang Pak tua. Dia memutuskan untuk mengikuti kemauan Pak tua yang dianggapnya tak penting. “Saya punya waktu untuk ini.”
Pak tua mengangguk pelan. “Pada suatu hari, saat bumi ini tercipta, tumbuhlah berjuta-juta bibit unggul yang terdapat di dalam tanah. Mereka tumbuh tinggi memadati tanah yang membentang daratan. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka disusul oleh segerombol makhluk hidup yang rata-rata memiliki empat buah kaki. Mereka hidup menyetarai kelompok tanaman hijau untuk saling mengisi kebutuhan. Namun, semuanya kian berubah.” BUSSSSSHHH!!!! Pelataran pada ruang toko sederhana berpindah menjadi padang rumput yang luas sekali. Segerombol kijang berlarian di antara pusat pijakan Pak tua dan sang Pemburu berada. Sang Pemburu terlonjak akan penglihatannya. Matanya membelalak seperti ingin melompat keluar dari tempatnya.
“APA!? Di mana ini?! Di mana kita?”
Pak tua tidak menanggapi omongan sang Pemburu. Dia melanjutkan cerita. “Para manusia mulai terlahir di dunia. Melahirkan anak-anak iblis yang tidak berperasaan!” Para pemburu bermunculan di sana-sini; langit berubah menjadi gelap; suasana begitu mencekam. “Mereka meluncurkan peluru untuk mengenai target masing-masing. Para kijang berlarian; Gajah dipaksa berlutut hanya untuk dihunus gadingnya; sebuah mahkota berharga sebagai perisai mereka.”
Pelataran terus berganti sesuai dengan omongan Pak tua. Sang Pemburu  menatapi sekitarnya—gajah disiksa hingga mati, lalu terkapar di tanah—tidak lagi berarti. “Belum lagi kulit licin dari ular-ular yang dijadikan bahan dasar sandang orang-orang berada! Mereka merombak barang itu sebagai mode bernilai tinggi. Dirancang sedemikian rupa demi terciptanya busana gemerlap!”
Sang Pemburu terpikat oleh penglihatannya. Semua tindakan keji di depan matanya, tidak sanggup ia tatap. Dia memalingkan wajahnya.
“Semuanya belum berakhir! Tanaman…. Mereka pun menjadi korban dari pembataian kejam ini! Tubuh pohon tumbang—tidak ada lagi hutan hijau untuk berteduh! Api.... Api berkobar. Burung-burung mengepakkan sayap bersatu bersama langit.“ Suasana seketika berubah menjadi begitu panas; api merah teraur dimana-mana. Napas sang Pemburu mulai tersendat-sendat. “Matahari panas. Udara  memekat; es mencair perlahan, perlahan, perlahan! Sekarang, hanya tinggal menunggu hari akhir itu. Manusia berupa semut yang berceceran di jalan raya; uang haram yang mereka gotong—yang tidak seharusnya bersumber dari makhluk lugu di bawah derajat mereka—berhamburan mengikuti angin yang berangsur-angsur.—“
“HENTIKAN!! HENTIKANN!! Saya tidak sanggup!! Saya tidak sanggup!!—“
“Dan badai melampiaskan amarah seperti telah bekerjasama dengan angin—“
“Saya bilang, HENTIKAN!! Saya tidak sanggup berada di sini!! HENTIKAN!—“
“Para pemburu bersimpang siur. Alam marah. Tumbuhan hijau marah. Bumi marah. Langit mendukungnya—“
“Saya mengerti sekarang! Saya mengerti! Saya berjanji tidak akan memburu hutan atau pun hewan lagi. Saya mengerti!! TOLONG HENTIKANN!!”
Pak tua melepas liontin dari genggamannya. Semua pemandangan itu hilang dalam sekejap. Pak tua berjalan, lalu menajamkan pandangan seraya berkata, “Jaga bumi, selamatkan dunia.”

Comments

Popular Posts