Eyes of The Bluest Sea



Dengan ganasnya, laut menabrak pasir pantai. Menyerukan bunyi, seolah tanda hasrat untuk menerkam Kira. Mama tidak pernah lupa mengingatkan untuk berhati-hati atau kamu akan terseret oleh ombak laut. Selain itu, legenda Dewi Laut konon gemar menculik siapa pun yang bersetelan serba hijau. Kira sulit untuk membantah legenda itu, meski tak bisa memungkiri bahwa ia begitu takut.
Anak lelaki bernama Marko lah penyebabnya. Ia yang selalu cinta pada laut. Tak pernah sekali pun alpa setiap minggunya untuk bermain di pinggir pantai. Dia akan bernyanyi, berlarian, dan menyerahkan tubuhnya melebur ombak. Sebabnya, Kira tidak bisa jauh dari laut.
“Pantai? Kata Mama bahaya buat main ke pantai, ombaknya besar” kata Kira ketika Marko pertama kali mengajaknya bermain ke pantai.
“Enggak kok. Seru banget malah. Aku kemarin sama Mama Papa main ke pantai. Ternyata seru banget, loh! Kita bisa bangun istana pasir, kita juga bisa berenang di laut.”
“Kalau ada Dewi Laut gimana?” Marko menggeleng, tanda dia tidak paham sama sekali tentang Dewi Laut. “Yaudah, deh. Tapi, aku izin dulu, ya, ke Mama.”
Awalnya Mama tidak memperbolehkan Kira untuk pergi hanya berdua bersama Marko ke pantai karena khawatir. Tapi, berkat Mamanya Marko lah yang berhasil meyakinkan Mama Kira, bahwa semua akan baik-baik saja. Lagipula jarak pantai dengan perumahaan penduduk tidak jauh. Marko dan Kira akan bersepeda ke sana.
Suasana terik serta asin air laut terasa perih terkena mata. Terbukti ketika Marko memercik air itu ke arah Kira pada kali pertama mereka bertatapan dengan laut. Kira langsung menangis, kemudian Marko menuntunnya untuk pulang. Pada hari selanjutnya saat beranjak kembali ke pantai, anak perempuan itu membalut tubuhnya dengan selimut. Tebal dan lembut ketika disentuh. “Apakah kamu takut menjadi hitam?” tanya Marko, bersiap untuk menertawai kawan karibnya itu.
“Tidak! Tidak!” Kira membantah. “Aku… takut aja kalau kamu tiba-tiba mencipratkan air laut lagi ke arahku.” Kilas dialog ejekan Marko sesaat bubar.
Kira kali ini membonceng ke sepeda Marko. Dia menenteng selimut besar, jadi tak mungkin naik sepeda sendiri. Selain itu, Kira juga membawa tikar yang diikatkan di punggung belakang Marko. Memang merepotkan sekali Kira ini. Marko hanya bisa berkeluh kesah tanpa penjelasan dari Kira alasannya membawa tikar ke pantai, habisnya hanya Kira yang mau menemaninya ke pantai.
Perempuan manja itu lantas menggelar tikar jauh dari bibir pantai, mencegah percikan air dari Marko. Warna biru laut terpancar bersama bias cahaya dari matahari. Persis seperti apa yang diharapkan Kira ketika menatapnya dari kejauhan. Marko berjalan mendorong arus air laut. Tubuh kuning langsatnya telanjang seperti biasa. Beberapa kali ia melambai ke arah Kira, isyarat mengundangnya untuk bergabung. Kemudian, kepala Kira akan menggeleng.
Memperhatikan Marko jauh dari bibir pantai, membuat Kira sangat gerah. Dia bosan sama sekali. Kalau begini terus, Kira tidak bisa menemani Marko ke pantai lagi. Maka hari berikutnya, Marko kembali direpotkan Kira untuk membawa ransel berisi mainan. Rahasia mainan itu apa, Marko tidak boleh tahu sampai mereka sampai di pantai. Padahal mainan itu cukup berat ketika diangkat. Dia hanya perlu membantu Kira menentengnya di sepeda. Kini angkutan sepeda semakin penuh. Marko mesti kuat mengayuh sepeda.
“Main congklak, yuk!” Itulah permainan yang disiapkan Kira sejak semalam agar tidak lagi merasa bosan menunggu Marko di pantai.
“Congklak? Cara mainnya gimana?”
“Jadi, begini.” Kira menjelaskan bagaimana caranya bermain, peraturan, hingga sejarah bagaimana ia bisa mengenal congklak. Kerang-kerang kecil itu berasal dari laut, membuat Marko semakin tertarik untuk memainkannya.
Permainan congklak berlaku menjadi kebiasaan Marko dan Kira. Setiap kali mereka ke pantai, tidak lupa Kira membawa seperangkat alat congklak. Marko sudah jarang bermain air laut. Dia akan menemani Kira bermain congklak. Di atas tikar yang menimpa pasir, sesekali pula Marko akan mengerjai Kira. Dilemparnya biji-biji kerang itu bertebaran ke luar tikar. Kira akan jengkel. Terpaksa ia harus keluar dari singgasana tikarnya dan mengambil biji-biji kerang itu.
Warna kuning gading biji-biji kerang menyaru di atas pasir. Tidak mudah untuk menyatukannya kembali. Bisa gawat jika biji-biji itu tidak menyatu kembali, bisa-bisa Mama akan marah, pikir Kira. 
“Bantuin cari dong!” teriak Kira, jengkel ke Marko.
“Iya deh iya.”
Dua jam berlalu setelah semua biji-biji kerang terkumpul. Marko masih terus-menerus cekikikan karena mengerjai Kira. “Memang kerang ini berwarna apa, Kira?” Pertanyaan Marko menyadarkan Kira akan satu hal, yakni dirinya yang buta warna. Dari Mama lah Kira tahu bahwa Marko buta warna. Mama Marko dan Mama Kira merupakan teman dekat. Sebab itulah Mama Kira tau banyak mengenai Marko. Hingga sekarang Kira jadi bertanya-tanya apa rasanya jika tidak dapat melihat warna? Ia tidak pernah menyindir hal ini ke Marko.
“Warnanya… sama dengan warna pasir pantai. Kuning berbaur putih, dan sedikit… pucat.”
“Setidak menarik itu kah kerang? Kupikir warnanya akan seperti permen-permen gulali.”
“Memangnya kamu tahu warna permen-permen gulali itu seperti apa?”
“Tahu dong! Dikasih tau Mama,” jawab Marko sambil menyengir lebar.
Sains macam apa yang membuat mata Marko tidak dapat melihat warna. Jika tidak dapat melihat warna, lalu seperti apa dunia yang dia lihat? Mungkin matanya tidak berwarna, namun Kira berharap hidup Marko akan berwarna yang bahkan lebih cerah dari pelangi. Sebiru laut, yaitu warna metafora yang dirasakan Kira ketika menatap dua mata itu. Tidak ada tanda-tanda warna monokrom pada bola mata itu. Mereka tampak normal. Bahkan lebih berkilauan dari laut.
“Bagaimana kalau kita mewarnai biji-biji kerang ini?” tanya Marko
“Maksud kamu?”
“Agar lebih menarik aja.”
Sepulang dari pantai, Kira dan Marko menyerbu toko cat. Satu set cat Acrylic—merah, hijau, kuning, jingga, ungu, serta pink. Mirip sekali dengan permen-permen gulali semasa Marko kecil. Bauran warna kini mengontras raut kepucatan  pada kerang. Semuanya berwarna-warni. Bukan hanya kerang, tetapi wajah, rambut, serta pakaian Marko dan Kira sudah pula identik dengan lukisan abstrak.
Hasil kerja keras mereka membangkitkan semangat. Kompetisi adu congklak antara Marko dan Kira kembali tercipta. Kini lubang-lubang besar pada papan congklak merefleksi warna acak-acakan. Kira tidak akan sulit lagi mencari biji-biji congklak yang disebarkan Marko ke pasir. Tidak ada lagi kerang yang bersembunyi upaya menyaru bersama pasir pantai.
Tiba-tiba tangan Kira mendekap lengan Marko. “Ayo kita ke laut.” Marko nyaris ambruk mendengarnya. Gadis muda berumur sepuluh tahun yang takut dengan sinar ultraviolet dan asin air laut mengajaknya bermain melampiasi bibir pantai.
“Lepaskan dulu selimut itu dari tubuhmu.”
Kini tampaklah Kira dengan hanya kaos dan celana pendek yang melapisi tubuhnya. Marko menuntun Kira ke batas pantai. Segelintir ombak kecil menggelitik kaki mereka. Sangat terasa sejuknya air laut serta butiran pasir basah. Sekali lagi Kira menatap hamparan kolam laut yang hinggap menggapai cakrawala. Deburan ombak memberantakkan permukaan laut yang bergelombang. Entah mengapa, berdekatan dengan laut membuat Kira senang.
Seketika Marko mencipratkan air ke arah Kira. Otomatis tangan Kira memperisai wajah. Gantian Kira balas melempar cipratan air ke Marko. Wajah mereka merah padam karena sengat matahari. Namun, ekspresi mereka dipenuhi oleh riang. Setiap kali kaki Kira terjatuh, tangan Marko akan menggapainya, kemudian mereka akan tertawa bersama.
Sesuatu terseret oleh ombak laut. Dengan kecepatan masimum, ia mengapung tanpa sepengetahuan Kira dan Marko. Itu adalah selimut Kira! Ombak begitu kilat menariknya ke laut. Ketika Marko dan Kira sadar, selimut itu telah jauh dari gapaian. Kira bergegas untuk lari mengejar, namun Marko mencegahnya.
“Selimutnya sudah sangat jauh. Kalau kita ke sana, kita juga akan ikut terseret ombak.
“Tapi, selimut itu….” Napas kira seakan berhenti. Ekspresi riang telah padam. Air matanya deras berjatuhan. “SELIMUT KESAYANGANKU!” teriaknya melawan angin laut.
*
Lelaki itu akan pergi meninggalkan laut. Rasanya sudah lama sekali tidak bercengkrama dengan sang Ombak. Mereka akan mencari kerang, menantang ombak, dan membiarkan matahari memanggang kulit tubuh. Namun, waktu tidak lagi berlabuh di sana. Kapal telah menunggu. Kemudian, akan berdengung ketika hari lepas landas menjelang.
“Dengar, aku pasti akan rindu sekali sama kamu.” Kalimat ini berulang kali diputar di benak Kira. Lelaki itu memang sudah dewasa, begitu pula dirinya. Kira pasrah menitipkan Marko kepada laut. Mungkin memang sudah saatnya ia mengeksplor laut yang lebih jauh lagi, melintasi garis cakrawala.
Pemuda bernama Marko tampak gagah dalam balutan seragam khusus nakhoda. Warnanya hijau seperti lumut. Dia tampak tampan. Kira mengacungkan hormat pada Marko. Hari ini, di bawah terik matahari yang diiringi dengung kapal, Marko akan pergi. Mengembara menaungi lautan luas. Dan, Kira akan menunggu sejak lambaian tangannya lelah mengisyaratkan salam perpisahan. Air matanya menetes, tenggelam ke laut di pinggir dermaga.
Waktu menunggu Kira telah berlalu dua pekan. Rasanya sudah lama sekali, walau nyatanya tidak selama itu. Namun, tetap saja terlalu lama! Kenapa Kira harus menunggu? Bukankah justru waktu berjalan terlalu cepat? Waktu tidaklah lagi berjalan, melainkan berlari—dan, terus berlari terlalu cepat. Tayangan berita pada pukul dua belas siang: Kapal pesiar Marko Andrea lenyap.
Sang Nakhoda kapal kini hanya berupa jasad. Kira ingat sekali, dua pekan lalu, yakni ketika dirinya menerima kotak kayu itu dari sang Nakhodra. Pada saat itu, Marko hendak beranjak ke kapal. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu dari ranselnya, kemudian diberikan kotak itu kepada Kira. “Buka ketika aku sudah lenyap dari pandanganmu.”
Kira akan mengingatnya, dan selalu ingat. Setelah kapal lenyap dari pandangan, satu lagi kenangan yang perlu ditumpuk di pinggir pantai. Dia berlari begitu cepat hingga kakinya nyeri mati rasa. Ia berlari sampai yakin bahwa ia lebih gesit daripada waktu. Ia berlari seakan tidak ingin satu detik pun terlewatkan karena terlambat membuka pesan dari sang Nakhoda. Bahkan ia telah memastikan tidak ada lecet pada kotak kayu tersebut.
Barang berharga mesti pulang: sebuah selimut usang. Itulah isi dari kotak tersebut. Kira sangat bahagia dalam air mata pelampiasan. Berulang kali ia mengucapkan kata terima kasih kepada sang Nakhoda, meski tak dapat didengar olehnya. Akan tetapi, selimut telah usang, warna-warni biji kerang telah kusam, dan ia telah tiada. Kira kesal. Mengapa selimut ini ada di sini bersamanya, seharusnya ini dapat membuat Marko nyaman dan terjaga!
Betapa salahnya Kira. Pemuda yang ia kenal sejak kecil tak dapat mengenal warna. Ia bahkan tidak tahu betapa gagah dirinya berbalut dalam seragam hijau lumut itu. Atau, betapa warna biru terpancar dari kilau matanya. Warna biru yang menggambarkan ketenangan Kira kini telah ditelan laut—laut yang telah berkhianat. Kira bersalah karena tidak pernah mengutarakan semua ini.
Sepetik kalimat sederhana yang Marko tinggalkan bersama selimut Kira: “Big girls don’t cry.” Kira sadar, Marko pun tahu bahwa tidak mungkin kalimat itu menjadi kenyataan. Karena, kenyataan tidak dapat melawan yang tidak nyata. Tidak bisa selalu lebih indah dari yang tidak nyata. Kira percaya hal itu ada. Kini ia yakin bahwa legenda Dewi Laut adalah nyata.








Comments

Popular Posts