Naluri




Lantunan lagu fur elise mengiringi setiap gerakan seluruh tubuhku. Aku menaikkan tanganku, kakiku, lalu melompat tinggi ke udara. Mengelokkan setiap lekuk tubuhku sambil tetap menghayati alur melodi yang keluar dari piano dengan cantiknya, menari, dan terus menari. Ballet, itulah keahlianku. Setiap denting piano yang dimainkan olehnya terasa menghipnotis seluruh tubuhku. Sungguh indah. Tidak ada yang bisa bermain seindah seperti dirinya. Dari dulu hingga sekarang.




Dialah pengiring tarianku bersama piano klasiknya berada di sisi kanan panggung. Saat hari sudah sore, setiap harinya, kita pasti latihan bersama.

Sampai pada akhirnya, kita memiliki peluang untuk pergi berdua menikmati moment itu, sangat menyenangkan ketika kita berkenalan. Gerran, itulah namanya. Nama yang sedikit aneh, namun cocok untuknya, dengan tubuh tingginya yang sudah jelas lebih tinggi daripada aku, menggunakan kemeja putih polos yang biasanya diselaraskan dengan rompi hitam, sungguh membuatku tertarik. Lalu, kacamata bening yang selalu membingkai ekspresi yang terpancar dari matanya membuat semua orang terhanyut dalam lantunan nada dan melodi.Aku ingat saat kami berada dalam mobilnya di rute perjalanan ke suatu tempat, kita berbincang beberapa hal yang terkadang tidak penting, namun sangat berharga.


Alunan musik bertempo semakin cepat. Tidak... aku tidak bisa mengikutinya. Ya, ampun, ada apa dengan dirinya? Jemari tangannya bergerak semakin cepat, air mukanya berubah, tidak seperti biasanya. Tidak... aku mohon berhenti.... Semakin cepat, tetapi aku mencoba untuk tetap fokus dalam gerakanku. Aku terus menari dan menari. Aku melihat tetesan keringat mulai jatuh dari dahinya, membasahi seluruh wajahnya, suasana terasa semakin panas. Jarinya terus bermain hingga ke akhir blok nada, dan ya... berakhir sampai di situ, kakiku langsung terlemas di atas panggung, sedangkan Gerran pergi ke arah pintu keluar, matanya memerah oleh genangan air mata, apa yang terjadi? Dia tidak biasanya kehilangan fokus saat bermain piano. Dia bahkan tidak menyapaku. Aku berteriak memanggilnya, namun dia tidak peduli.

Pada sore selanjutnya Gerran tidak datang, dia selalu datang pada siang hari untuk mengiringi para ballerina, termasuk aku, namun aku tetap lebih senang melakukan ballet sendirian bersama dirinya pada sore hari setelah para ballerina lain telah pulang, ya... semacam latihan bonus. Mungkin dia sakit, tetapi tidak biasanya dia sakit. Ah, sudahlah, lagipula dia akan datang lagi besok.

Aku menunggunya hari ini, di belakang panggung, tetapi aku masih belum juga melihat tanda-tanda sosok berkacamata, hanya ada orang lain yang menggantikan dirinya bermain piano. Sudah berjalan dua hari dia tidak datang. Lalu pada hari selanjutnya, aku menunggu lagi, tetapi dia tidak datang juga. Beberapa hari berlalu, dia sama sekali tidak membawa dirinya lagi ke sini. Aku mulai khawatir sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku sungguh penasaran, apakah hal ini ada kaitannya dengan hari terakhir dia datang? Ah, mungkin dia sedang dalam masalah besar, tetapi apa aku harus tetap menunggu?  Aku tidak mau.... Aku harus pergi mencarinya, betul... harus pergi mencarinya, tetapi kemana? Pokoknya... cari saja dia! Aku mencoba untuk mengikuti naluri ku.
***

Aku sampai pada sebuah restoran, aku melihat-lihat jika ada sosok Gerran. Orang-orang berlalu lalang keluar-masuk restoran. Tidak perlu menunggu lama di dekat pohon ini, orang yang kutunggu pun muncul juga. Dia berada di ambang pintu masuk restoran bersama seorang cewek. Aku memerhatikan mereka berdua di dekat pohon di pinggir jalan, tidak terlalu jauh, namun jarak yang cukup terpadai untuk bisa mendengar apa yang sedang mereka ributkan.

"Gerrann... tunggu Gerran!" Perempuan itu menarik lengan Gerran, mecoba untuk menahannya.
"Ran... lo itu harus lupain dia," bentak perempuan itu.
"Sa... udah berapa kali sih gue bilang, gue belum bisa," jawab Gerran.
"Lo harus bisa Ran.... Gue sayang sama lo dari dulu kita SMA Ran, kenapa lo masih juga buta sampai sekarang? Lo gak perlu nunggu perempuan yang jelas-jelas udah gak bisa bersama lo lagi." Sudah tidak bisa bersama lagi? Apa maksud dari perempuan itu? Siapa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan.
"Sa, gue  minta maaf, tapi sejak kecelakaan mobil itu, gue masih merasa shocked, lo gak ngaerti hal ini sa! gue masih... merasa seolah-olah dia masih menari dengan sepatu balletnya tepat di atas panggung."
"Oh, Lo shocked... okay lo shocked. Tapi kenapa lo masih tetap memainkan piano itu? Kenapa lo gak pergi aja mencari tempat lain untuk bermain piano? Piano itu, panggung itu... semua hal tentang cewek itu akan selalu menyetir otak lo ke dia!"
"Oleh karena itu, gue mencoba menahan diri untuk gak datang lagi ke sana, dan lo lah yang sudah membantu gue, gue benar-benar terima kasih Lis."
"Gue sayang sama lo Ran." Perempuan itu mendekap tubuh Gerran sambil menangis. Pemandangan ini membuat hatiku sakit, cukup menyayat diriku dari dalam. Mungkin sebaiknya aku pergi.
"Maafin gue Lis, gue harus pergi."
***

Panggung ini..., ruangan ini, serasa hampa, sepi, gelap. Apa gunanya aku berada disini lagi? Aku tidak bisa menari jika tidak ada iringan musik, aku rindu padanya. Tiba-tiba pintu masuk studio terbuka, Gerran... itu Gerran. Dia datang kesini? Untuk apa? Dia berjalan ke arah piano menyiapkan jemarinya di atas piano, lalu memainkan beberapa bait alunan Fur Elise, namun aku tidak menari.

"Maafkan aku," katanya, tetapi aku terdiam. Dia menangis.
"Freya...." Dia memanggilku. Aku tetap terdiam sambil menatapnya di atas panggung.
"Freya... aku menyesal... kalau saja aku lebih berhati-hati waktu itu. Aku menyesal. Aku.. mengaku kesal pada diriku sendiri. Aku... selalu merasa kalau kamu masih berada disini, aku mendengarnya, naluriku selalu memaksaku untuk tetap kembali. Aku... aku sayang kamu Frey... maafkan aku juga karena telah bodoh tidak menyatakan hal ini saat kamu masih ada. I miss you." Saat aku masih ada? Bukankah... aku memang masih ada disini?
"Aku mohon biarkan aku pergi Freya... aku gak bisa terjebak dalam alunan lagu dan tarian cantik itu lagi.... Aku minta maaf." Gerran berjalan pergi dengan langkah cepat mengarah pintu keluar studio. Aku mengerti sekarang Ran, aku mengerti. Perasaan ini lah yang menuntunku untuk tetap merasa hidup. Kamu lah alasan yang bahkan membuatku menjadi tidak sadar bahwa aku sudah mati.

Comments

Popular Posts