Eternal Flame


Eva berlari secepat mungkin ke arah stasiun kereta setelah membayar ojek yang dia tumpangi. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.00 sore dengan singkat. Setelah sampai di pintu gerbang stasiun, dia langsung menghampiri petugas satpam bersetelan abu-abu untuk bertanya dimana letak membeli tiket. Maklum saja, ini adalah kali pertama Eva naik kereta sendirian, dia sama sekali tidak paham jalur kereta beserta kiat-kiatnya. Selama ini, dia hanya membuntuti siapa pun yang bersamanya saat jalan-jalan menggunakan kereta.
Setelah dia sampai di jalur yang sudah dia ketahui bersama tiket yang dia pegang di jemarinya dengan erat, dia bertanya lagi kepada seorang Bapak berkulit putih serta berkacamata yang membawa tas laptop berwarna hitam, sepertinya dia sendirian yang baru akan pulang kerja. Mengingat pukul 16.00 sore adalah waktunya para karyawan kantor pulang ke rumah, Eva sempat khawatir jika dia harus berdesak-desakkan di dalam kereta. Kali ini, Eva hanya ingin memastikan bahwa jalur yang dia ketahui dari satpam adalah benar.

“Pak, saya mau nanya, ini jalur kereta jurusan tebet bukan?” kata Eva. Bapak itu menoleh kepada Eva seketika sadar bahwa gadis remaja yang hampir beranjak 17 tahun, tidak mengerti persoalan kereta.
“Oh, iya, Mbak, memang ini jalurnya.”
“Ini, jalurnya ke kiri atau ke kanan ya, Pak?” tanya Eva lagi penasaran mengenai arah kereta melaju. Bapak itu sempat berpikir sejenak, lalu bertanya kepada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Setelah yakin dengan jawaban yang diberikan oleh orang tersebut, Bapak itu kembali pada Eva.
“Ke sana, Mbak.” Bapak itu menunjukkan arah timur menggunakan tangannya.
“Baiklah, terima kasih, ya, Pak.”
Eva menunggu kereta dengan tenang, berharap jika kereta yang dia tunggu segera datang. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul 16. 20 sore. Tapi, dia tetap berusaha untuk tenang. Beberapa kali dia menengok kepada Bapak tadi, berjaga-jaga jika Bapak itu akan beranjak pergi. Eva takut jika dia harus benar-benar naik kereta sendirian tanpa ada orang yang bisa dipercayai, dan Bapak itu… adalah orang yang bisa dipercaya, menurutnya.
Kereta dari arah selatan melaju kencang, Eva menyambutnya dengan girang. Saat kereta berhenti, dan gerbongnya telah terbuka di hadapan Eva, ia segera memasukinya. Dia memandang lagi ke arah Bapak itu untuk memastikan bahwa Bapak itu memuki gerbong yang sama dengannya.
Eva tidak mengeluarkan satu kata pun dari mulut. Akhirnya dia memutuskan untuk membaca novel yang dia bawa, padahal dia sudah malas untuk melanjutkan bacaan novel itu, tetapi entah kenapa dia malah membawanya. Tidak seperti yang Eva pikir tadi, ternyata kereta ini tidak terlalu penuh, tidak juga terlalu sepi. Eva tidak kebagian tempat duduk. Di hadapannya ada sepasang orangtua yang membawa kedua anaknya, mereka sekeluarga, sepertinya. Eva tidak mungkin meminta celah duduk di antara mereka.
Eva memandang lagi ke arah Bapak tadi. Kali ini, dia memberanikan diri untuk bercengkrama dengan Bapak tersebut dan melupakan novel menyedihkan yang dibawanya.
“Pak…,” sapa Eva hampir berbisik.
“Ya?”
“Saya cuma mau tahu, Bapak akan pergi ke jurusan apa, ya?”
“Oh, saya kebetulan sih sama seperti Mbak, tebet juga.”
“Kalau boleh tahu lagi, Bapak ada urusan apa, ya, ke sana?” Bapak itu terdiam sejenak, mencoba untuk menjawab, namun ragu-ragu kalau harus memberitahu orang asing mengenai urusan pribadinya. “Mm…, maaf Pak, saya nggak maksud menggangu Bapak, saya cuma butuh teman ngobrol.”
Bapak itu tersenyum melihat wajah Eva yang berubah menjadi sesimpul malu. “Nggak kok, nggakpapa. Saya ke tebet karena ingin menghadiri pesta kelulusan anak saya hari ini.”
Eva jadi merasa ingin cepat-cepat lulus dari SMA, ingin segera bebas, ingin memasuki dunia  yang baru, ingin segera menemukan jati dirinya. Eva bercita-cita menjadi artis teater. Panggung adalah surganya. Dia merasa nyaman berada di bawah sorotan lampu. Perjalanan ini lah bagian dari langkah untuk mencapai impian tersebut.
“Wow… jadi anak Bapak sudah mau lulus, semoga anak Bapak sukses, ya, sama seperti ayahnya.”
Bapak itu tertawa kecil mendengar doa dari Eva. “Amin, terimakasih ya, Mbak. Kalau mbak sendiri… sudah jurusan apa?”
“Hah?” Eva dengan malu menjawab, “Saya masih SMA, Pak. Kelas 12. Sebentar lagi juga lulus mengejar anak Bapak.”
“Oh, begitu.”
Setelah sekian lama bercengkrama dengan Bapak itu—namanya adalah Pak Harri—tidak terasa kereta sudah hampir sampai di stasiun tebet. Eva cukup puas mendengar kisah-kisah inspiratif dari Pak Harri sehingga dia memiliki pandangan untuk masa depannya kelak, semua ini berkat Pak Harri. Rupanya dia adalah sosok orangtua yang sangat bijaksana. Anaknya yang bernama Keke, sudah pasti sangat beruntung memiliki ayah seperti dia. Berbeda dengan Eva yang sekarang cuma memiliki satu orangtua, yaitu Mama seorang diri.
Mama adalah ibu terbaik di mata Eva. Akhir-akhir ini, Eva merasa Mama mulai mendukung Eva dalam menjalani kegiatan teaternya yang sebentar lagi akan pentas untuk pertama kalinya. Sore ini, Eva akan menemui Kak Ello, yaitu senior teater yang akan menjemput Eva untuk menyaksikan pertunjukkan teater hingga larut malam. Eva sangat bahagia saat Mamanya mempersilakan dia untuk keluar rumah sejauh ini di tengah malam gulita. Mungkin, Mama telah sadar bahwa Eva sudah dewasa dan pantas untuk pergi mencari tahu isi dunia, pikir Eva.
“Terimakasih atas kisah-kisah kerennya, ya, Pak. Mari….” Kalimat hangat inilah yang dilontarkan Eva kepada Pak Harri sebagai salam perpisahannya. Eva sangat senang bisa bertemu sekaligus bercengkrama dengan orang asing, dia merasa hal seperti itu tidak boleh disia-siakan.
Eva melirik lagi ke jam tangannya yang sekarang sudah menunjukkan pukul 16.50 sore. Eva merasa lega karena dia belum telat. Dia ingat bahwa dia harus sampai di stasiun kereta pada pukul 17.00 tepat, lewat dari angka itu, Kak Ello akan meninggalkannya. Eva segera mengambil handphone dari tasnya, lalu menelefon Kak Ello. Rupanya di luar dugaan Eva, Kak Ello masih berada di kantor. Dia berkata kalau dia akan telat sedikit karena ada urusan tambahan di kantor. Ia menyuruh Eva untuk menunggu di depan loket stasiun.
Waktu berjalan cepat, Eva sendirian di antara kerumunan lalu-lalangnya orang-orang asing. Dia belum pernah berada di tempat yang tidak dia ketahui sendirian, sebelumnya. Bosan. Bingung harus ngapain. Sesekali dia cuma bisa membeli jajanan kecil di pinggir jalan dekat stasiun—otak-otak, gorengan, dan sebotol air mineral, misalnya—lalu kembali lagi ke tempatnya bersinggah. Dia tidak peduli dengan lantai kotor stasiun yang dia duduki, kaki Eva lelah jika terus-terusan harus berdiri.
Suara nyaring mengiung-ngiung di telinga Eva, rupanya itu adalah suara dari mobil pemadam kebakaran yang melaju melewati stasiun. Pandangan Eva langsung terarah kepada rombongan mobil kebakaran tersebut. Eva berdiri dan terpaku kepada arah yang hendak dihampiri oleh mobil-mobil berwarna merah tersebut.
Sebuah gedung. Yang letaknya lumayan jauh dari stasiun. Tetapi, dari tempat Eva berdiri bisa dilihat asap yang menggempul di udara. Eva kembali pada posisi bertumpu lututnya. Dia mengingat tragedi pribadinya, tragedi kebarakan yang merenggut nyawa ayahnya. Eva takut pada api sejak tragedi itu. Eva memejamkan mata, pelan-pelan bernostalgia akan kenangan indahnya bersama Papa. Seseorang memanggil namanya.
“Mbak… mbak harus pergi dari sini.” Wajah orang itu penuh dengan kepanikan. Dia menuntun Eva untuk lari dari stasiun, tanpa keterangan lebih lanjut, Eva menuruti perintah orang tersebut. Eva tersadar bahwa orang-orang di sekelilingnya pun melakukan hal yang sama. Banyak satpam yang kelimpungan untuk mencegah datangnya api ke stasiun. Mereka masih terus menggenggam walkie-talkie untuk tetap terkoneksi antar petugas lainnya. Eva ketakutan. Kak Ello masih belum sampai, tidak ada kabar yang kunjung datang darinya.
Sesampainya Eva di luar stasiun, tepatnya di pinggir jalan, orang itu meninggalkan Eva. Eva berteriak kepada orang itu untuk tidak meninggalkannya sendirian, namun dia terlambat. Orang itu memiliki kaki yang sangat gesit langkahnya. Sepertinya dia memboyongi para manusia lainnya yang masih tidak menyadari akan perjalanan api ke stasiun. Begitu mulia usaha orang itu, pikir Eva.
Eva mulai menitikkan air mata. Dari mana asal dari api itu? Eva ingin membantu. Eva tidak ingin ada korban. Eva berjalan menjuluri jalan setapak ke arah asap itu berasal. Beberapa orang membentak Eva untuk membalik langkah, tapi Eva tidak peduli. Dia ingin menolong, persis seperti apa yang dilakukan orang tadi kepadanya, persis seperti apa yang dilakukan Papa kepadanya.
Akhirnya Eva sampai di tempat kejadian, hawa di udara yang panas melekat kuat pada sekujur kulitnya. Salah seorang petugas pemadam kebakaran menghalau Eva untuk pergi dari tempat tersebut. Eva tidak mengiyakan nasihat darinya. Mata Eva terpandang kepada seseorang yang dia kenal, yaitu Bapak berkacamata yang sudah menemaninya di kereta tadi. Eva menghampirinya. Mimik wajah Pak Harri berubah drastis dari yang Eva lihat sebelumnya. Dia terus-terusan meronta serta membentak para petugs pemadam kebakaran yang sedang berkerja, dia berkali-kali mengeluarkan kalimat, “ANAK SAYA ADA DI DALAM!! SELAMATKAN DIA! SAYA MOHON!” Para petugas pemadam kebakaran hanya menggelengkan kepala, tidak ada yang berani menyelamatkan gadisnya Pak Harri. Eva merasa iba dengan kejadian ini. Dia menyentuh lengan Pak Harri. Saat Pak Harri menoleh kepadanya, seketika Eva merasa takut. Wajah Pak Haari benar-benar berantakan, rambutnya uwek-uwekkan di depan dahinya.
“Pak… saya…” Suara Eva tersedak dengan isak tangis. Dia menunduk sebentar, lalu kembali berkata, “Pak, saya turut berduka.” Pak Harri menggertakkan tangannya yang otomatis melepas sentuhan Eva. Dia terlihat marah setelah Eva berkata seperti itu. Eva jadi merasa bersalah.
Pak Harri berlari melewati pintu masuk gedung tersebut. Eva memandanginya dengan lemas. Pak Harri melakukan tidankan yang benar, tapi sebenarnya salah. Dia tidak harus melakukan hal itu demi anaknya, tidak seharusnya…. Segala pikiran buruk berkecamuk di dalam kepala Eva. Setelah cukup lama—sekitar 25 menitan—seseorang keluar dari gedung, seorang perempuan yang bajunya sudah kusut, berantakan, warna kulitnya telah terpampang bercak hitam akibat dari abu. Eva langsung mengetahui bahwa dia adalah Keke, gadis yang baru saja lulus. Gadisnya Pak Harri.
“Kamu… Eva, kan?” Eva mengangguk.
“Ayah bilang, aku harus ikut bersamamu.”
“Pak Harri… dimana dia?”
“Ayah… Ayah memaksaku untuk keluar, sedangkan dia terperangkap di antara kayu yang sudah .terbelekati oleh api. Dia janji akan keluar.”
“Apa?” Eva ingat perkataan Papa yang juga berjanji akan menyusul keluar jika Eva sudah berlari keluar terlebih dahulu. Dia mengorbankan nyawanya demi Eva. “Enggak! Dia bohong, Ke… dia berbohong!” Eva dan Keke berpelukkan. Air mata mereka begitu deras. Kemudian, Kak Ello datang.
“Va, kamu ngapain di sini?”
“Kak, ini Keke. Ayahnya sedang ada di dalam sana, Kak. Kita harus nolongin Pak Harri, Kak!” Eva memberontak Kak Ello untuk menolong Pak Harri.
“Enggak, Va. Nggak bisa, kita harus merelakan dia.”
“Enggak, Kak. Kita pasti bisa. Kasihan Keke! Dia nggak punya siapa-siapa lagi.” Eva menggenggam erat jaket kulit yang dikenakan Kak Ello. Wajah Eva terbungkus pekat oleh air mata yang sudah mulai mengering.
“Va, kita harus pergi dari sini.”
“Enggak, Kak! Baiklah, kalau Kakak nggak mau membantu.” Eva melepas genggamannya dan membalik tubuh menghadap Keke. “Janji sama aku, kamu bakal mewujudkan impian aku.”
“Apa?”
Tanpa berpikir lagi, Eva berlari ke arah gedung. Kak Ello berteriak memanggil namanya, begitu pun juga dengan Keke. Tapi, Eva tidak peduli. Dia memasuki gedung terbakar itu seorang diri, memaksa diri untuk menemukan sosok Ayah yang hebat. Eva ingin membantu.
***
Sorot lampu menyala. Keke berdiri dari kursinya, lalu melontarkan kalimat-kalimat persis yang tertera pada naskah. Dia berada di atas panggung, menggantikan Eva hingga pertunjukkan selesai. Eva percaya bahwa Keke bisa. Keke memang bisa. Malam ini dia membuktikan bahwa dia bisa. Dia berhasil mewujudkan impian Eva.
Pak Hari duduk di antara kursi penonton dengan bangga menyaksikan pertunjukan tersebut. Segala emosi yang tercampur aduk seketika tergantikan oleh kesenangan yang tidak bisa terbayarkan oleh materi.
Seusai pertunjukkan, Keke memeluk Ayahnya yang sangat dia sayangi itu. Ayahnya yang sekarang tidak bisa berkutik tanpa kursi beroda dua. Ada juga Mamanya Eva yang Eva yakin, Mama akan segera menjadi bagian dari keluarga mereka. Eva melihat pemandangan ini dengan bahagia juga. Dia memandanginya, namun tidak ada satu pun yang bisa memandangnya balik. Eva tembus pandang, kesat dari penglihatan manusia awam. Eva berada di dimensi yang berbeda.
Eva merasa lega karena pada akhirnya dia bisa menolong. Pada akhirnya, tidak perlu ada korban ataupun seseorang yang harus mengalami nasib sepertinya dirinya yang ditinggalkan oleh sosok seorang ayah. Eva tersenyum tipis kendati tetap berpikir bahwa api itu memang jahat.

Comments

Popular Posts