Novel Review: Girl Meets Boy by Winna Efendi


Judul: Girl Meets Boy
Penerbit: Gagas Media
Penulis: Winna Efendi
Genre: Fiksi, roman, drama
Tebal buku: 392 halaman
Tahun terbit: 2015

Sinopsis
Ava memasuki sekolah musik ternama yang pernah menjadi sekolah kakaknya dulu, yakni Rae. Rae yang sudah lebih dulu merajut kenangan di sekolah itu, meninggalkan jejak-jejak kenangan itu untuk Ava. Termasuk kenangan mengenai Kai.

*

Hai semuanya....
Pengen review lagi nih! hihi

Novel yang pengen aku review kali ini adalah karya Winna Efendi. Ialah penulis senior yang bukunya udah dipajang di rak toko buku sejak dahulu kala. Pecinta quotes inspiratif dan romantis, pasti udah kenal sama Winna Efendi. Pertama kali aku tau dia aja gara-gara liat quotes dia yang beberapa kali di share di twitter. Ini adalah ke sekian kalinya aku membaca buku dia.

Dulu, waktu SMP aku memang lumayan suka sama karyanya Winna Efendi. Popular dan ceritanya memang selalu "remaja" banget. Quotes-nya juga kebanyakan efektif dan manis banget.

Buku Girl Meets Boy ini dikasih teman aku dalam rangka kado ultah. Dia tau kalau aku memang suka sama Winna Efendi--dulu sekali. Tapi, ketika ulang tahunku yang ke-17, atau lebih tepatnya sejak aku kelas 11 SMA, aku udah  nggak suka sama Winna Efendi. To the point aja, cerita dia begitu-begitu aja. Nggak ada yang spesial. Nggak ada unsur-unsur baru di dalamnya. Bahkan aku setahun lebih punya novel ini, tapi baru selesai baca kemarin. Saking malasnya banget baca novel ini karena udah tahu dengan jalan ceritanya yang bakal gitu-gitu aja

Pertama kali aku  baca yang Refrain. Okay, lumayan, kupikir. Kemudian, Truth or Dare. Okay, ceritanya mirip. Kemudian, Melbourne. MIRIP JUGA!

Miripnya begini, dari segi jalan cerita, kenapa sih tokohnya harus berupa karakter yang pendiam, sok kalem, manis, terus cowoknya popular dan super ganteng. Selanjutnya, ada unsur bumbu-bumbu kasus penindasan yang kemudian pertolongan pun datang dari sang Sahabat. Kalau sahabatnya cowok akan menjadi pacar, kalau sahabatnya cewek akan bersaing dalam hal percintaan. Plus, semua karakter berasal dari latar belakang kelas atas yang rata-rata (sebagian besar) broken home dengan lifestyle yang kebarat-baratan. Kemudian, di bab terakhir novel, gambaran bagaimana si tokoh utama dengan yang-finally-telah-menjadi-jodohnya yang sudah dewasa bertemu lagi. How cliche!

Tiga kata: aku anti klise.

Itu  lah kenapa aku udah nggak suka lagi sama Winna Efendi. Setiap kali aku beli bukunya dulu, aku berharap  ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak terduga, namun ternyata setelah 3 kali--kalau nggak salah--koleksi bukunya, selalu aja ceritanya berhubungan dengan hal-hal macam itu. Dan, Girl Meets Boy adalah keempat kalinya aku baca buku Winna Efendi. Mungkin setelah ini, yang entah kapan aku akan baca lagi yang judulnya One Little Thing Called Love. Novel barunya yang belum lama diterbitkan sebelum Some Kind of Wonderful. Adikku yang membeli novel itu. Dan, aku again berharap lebih sama novel tsb.


Girl Meets Boy dengan cover yang manis banget. Elegant as the previous novels. Font-nya juga elegant. Design transisi setiap bab juga keren. Pokoknya mirip desain foto-foto di tumblr. Gambar dengan gaya sketching gitu yang mengisyaratkan bahwa novel ini berhubungan dengan musik. Cover buku terbuat dari kertas concorde, yeah i think so. Aku nggak tau persis nama bahan kertasnya apa, yang pasti mirip kertas cover concorde. Dan, bahannya nggak bisa di lipat atau akan menimbulkan bekas lipatan, Gampang kotor jika tidak dibalut lagi dengan sampul plastik. And that's why i always reduplicate the cover of my books. 

Judul dari novel..., menurutku tidak terlalu membuat orang penasaran untuk membacanya. Sama kayak judul film korea yang judulnya "Man and The Woman".  What is that kind of title? I mean, Winna Efendi tuh jago loh bikin judul! Kenapa judulnya harus Girl Meets Boy? Aku sempat browsing makna dari idiom kalimat itu. Ternyata artinya itu kayak sesuatu yang relating to a relationship between a man and a woman. Menurutku ini kurang oke. Judulnya simbolis sih, tapi nggak puitis dan manis. Kayak kehabisan ide judul cerita aja. Kayak nggak ada option lain. I don't really like the title.

Dari segi gaya penulisan, i don't really like it either. Walau, dulu waktu masih belajar menulis, aku sempat terinspirasi (mengikuti) gaya penulisan Winna Efendi. Rapi, sesuai S-P-O-K, simple, nggak banyak majas, tapi selalu juara memilih diksi. Aku yakin dia sering banget membuka KBBI. Aku setiap baca novel dia, pasti aku buka KBBI demi menerjemahkan makna dari kata-kata yang aku nggak paham tersebut. Namun, again bukan berarti sulit dinikmati oleh kaum remaja, meski beberapa diksinya jarang dipakai di kegiatan sehari-hari, namun tetap sesuai dengan kalimatnya. Maksudnya gini loh, kalimatnya jadi lebih indah. Berkat itu lah, kalimat tersebut bisa menjadi quotes sejati.

Winna Efendi selalu menjelaskan setting (baik tempat, suasana, maupun waktu), emosi, karakter, ekspresi, dengan sangai detail dan mudah diinterpretasikan. Jarang sekali memasukkan kata-kata simbolis. Lebih sering me-sinonimkan kata-kata tsb. Hingga sekarang pun, aku masih suka "mengikuti" gaya pennulisan dia yang seperti ini, khusus (seringnya) untuk kisah-kisah bergenre romansa.

Di novel ini pula, dia bermain lagi dengan bahasa asing. Bukan hanya Bahasa Inggris, melainkan Bahasa Perancis. Dia juga pandai memahami teori musik. Seperti yang aku tau, banyak banget istilah-istilah musik--melodi, harmoni, dinamika, nada, color tone, ritme, dll. Namun, ada satu kata dalam istilah musik yang sama sekali nggak ditulis dalam novel ini, yakni partitur. Itu adalah satu hal yang penting dalam musik, terutama instrumen yang berhubungan dengan piano. Di novel ini, nggak pernah jauh-jauh dari piano. Aku jadi mikir, kenapa ya..., Winna Efendi nggak menciptakan kalimat indah menggunakan kata "partitur". Btw, correct me if i'm wrong. Komen jika kalian menemukan kata ini di novel Girl Meets Boy. I mean, c'mon! Nggak mungkin seorang pianis hebat macam Kai nggak menggunakan partitur ketika bermain piano. Satu hal lain lagi yang aku salut dari Winna Efendi, dia mampu mereferensi judul dari musik-musik klasik yang sulit banget dihapal serta banyak banget jenisnya. Bahkan aku nggak ngerti apa bedanya prelude dan sonata? apakah itu jenis musik, sekadar istilah atau bagian dari unsur-unsur musik? sedangkan Winna Efendi tahu!

Novel ini berbumbu sajak-sajak manis berbahasa asing, yakni english. Mungkin bagi penggemar/kolektor quotes bakal suka banget.

Sejujurnya aku kurang suka juga dengan kisah-kisah yang berbau musik, atau panggung segala macam. Aku kenyang banget sama yang kayak gitu-gitu. Bukan hanya Girl Meets Boy, anime Shigatsu Wa Kimi No Uso juga aku kurang suka. Terlalu klise menurutku. Seseorang yang jatuh dan lelah meraih mimpinya, kemudian datanglah sosok lawan jenis yang akan membangkitkan mereka kembali. Duh, serius deh dua kisah ini punya konsep cerita yang sama. Karakternya juga anak-anak SMA yang masih labil dan ragu dengan kemapuannya dalam bermusik, but that is really okay, agar terlihat lebih hidup aja  pasti!

Di dalam novel ini, juga ada embel-embel cuplikan rangkaian diary milih karakter sang Kakak, Rae. Which i rarely read them. Tenang aja, nanti juga dijelasin lagi melalui penjelasan si Penulisnya. Baik itu berupa alur mundur, atau gambaran ingatan dari tokoh-tokohnya. Tapi, aku nggak masalah sama embel-embel ini, ini menggambarkan bahwa tokoh sang Kakak masih (tampak) hidup. Yang berarti secara nggak langsung adalah persaingan antar adik-kakak. Ada lagi embel-embel karakter sampingan yang fungsinya hanya untuk faktor membingungkan pembaca supaya mikir "ini akhirnya jadinya sama siapa, ya?" Yaps! Supaya pembaca jadi penasaran dan akan membaca bukunya sampai akhir halaman.

Adegan-adegan yang disajikan juga berupaya kultur westernisasi. Oh iya, btw, ini kan tentang musik alias seni, jangan berharap akan ada konflik persaingan di novel ini. Salah satu minus lagi. Yang namanya dunia seni nggak pernah jauh-jauh dari kompetisi, panggung. amanat menggapai mimpi gitu-gitu. Tapi, aku nggak menemukan konflik-konflik itu. Semua konflik berpusat pada karakter yang udah mati. Tentang emosi aja. Ya walau konflik-konflik tersebut sempat ditulis, satu konflik persekali bab yang berarti memang nggak ditonjolkan. Ada yang hanya agar menciptakan quotes indah, ada yang hanya agar karakternya menjadi mendewa. Supaya karakternya tampak sempurna. Itu pun nggak ada penjelasan tentang kompetisi--nggak ada lawan, nggak ada musuh, nggak ada kerja keras. 

Pun kalau ada penjelasan kerja keras itu bukan penggambaran sosok dari karakter utama, melainkan karakter pendamping yang penggambarannya tidak kompleks.

Tapi, untuk kalian para pecinta novel tingkat pemula, buku-buku Winna Efendi patut untuk diintip. Kalian bakalan suka banget sama gaya bahasa dia. Oia, aku pernah baca di instagramnya Winna Efendi, dia sempat menjelaskan tentang novelnya yang Some Kind of Wonderful. Katanyaa..., sih, itu diperuntukan bagi dewasa. Entah maksudnya apa. Jadi, pilih novel yang jalan ceritanya itu cocok dengan umur kita, supaya nggak ngebingungin.


Penutupan. Ini quotes yang sempat membuatku nyengir ketika membacanya. Aku lumayan suka. Walaupun aku nggak 100% baca seluruh kalimat di novel ini, setidaknya aku nemuin kalimat favoritku lah, ya! Hihi :D


Sekian dari aku. Thankyou :)


Comments

Popular Posts