Sihir Memudar Bintang Utara Bersinar


Pertengkaran tiada henti di rumah. Perabotan sering kali pecah. Setelah puas dengan segala argumen, Mama akan menangis, mengurung diri di kamar. Sedangkan Papa, pergi dari rumah dan akan kembali pada saat aku dan Mama sudah tidur di larut malam.

Aku ketika itu masih terlalu kecil. Aku tidak mengerti makna perpisahan. Papa pada akhirnya, pergi dari rumah dan tidak pernah kembali. Mama membesarkanku seorang diri. Dengan ekonomi yang mencukupi, setidaknya aku masih bisa sekolah.
Mengenai sekolah, aku benci manusia-manusia di dalamnya. Tak tahu bagaimana, perpisahan Mama dan Papa menjadi buah bibir. Musim dingin kala itu terasa berat. Mama dan Papa berpisah; Aku tidak pernah semangat ke sekolah.

Aku ingat ketika teman-teman mengejekku dan Mamaku. Mereka berkata bahwa aku adalah anak yang tidak diinginkan, sebab itu lah Papa meninggalkanku. Mereka berkata bahwa aku adalah penyebab utama atas perpisahan mereka. Yang paling aku benci, adalah ketika mereka berkata bahwa Mamaku adalah seorang pelacur, sebab itu lah Papa meninggalkan Mama.

Pada jam istirahat, anak-anak biasanya akan keluyuran di taman bermain. Aku masih sakit hati mengenai perkataan mereka. Maka, memikirkan akal licik untuk menjatuhkan mereka. Bukan, bukan mereka, tapi salah satu dari mereka. Namanya Lisa. Aku mendorong Lisa dari atas perosotan. Aku ingat kedua kakinya terkilir dan hampir diamputasi. Kepalanya juga terbentur lantai tanah, walau darahnya sedikit. Beruntung dia masih bisa terapi berjalan. Mama panik ketika mendengar kabar tersebut. Aku menjadi sosok jahat di sekolah; sedangkan Mama begitu malu memiliki anak nakal sepertiku. Mama tidak marah besar, namun sesekali hanya berkata, “kamu nggak boleh nakal lagi, ya.” Aku selalu berusaha menjelaskan, “mereka yang mulai duluan.” Mama hanya tersenyum mengisyaratkanku untuk berhenti bicara.

Musim dingin bersama gumpalan saljunya sangat awet. Aku tidak berkata bahwa aku benci salju atau musim dingin. Hanya saja, masa-masa sulit itu datang bersama mereka. Bahkan keajaiban datang bersama mereka. Suatu pagi ketika awan menutup langit, aku sedang terdiam di salju. Ketika aku melempar bola salju ke pohon—terdengar mustahil, tapi sungguh aku melihat cahaya berbentuk manusia.

Cahaya itu melesat di balik pohon. Otomatis kakiku berlari menghampirinya. Ia menghilang. Aku memandang sekeliling. Ketika membalik tubuh, dia berada tepat di depanku. Kulitnya berwarna putih pucat seperti manusia albino. Rambutnya berwarna putih teruarai. Setelannya berupa gaun putih cemerlang penuh glitter. Gaun panjangnya sempurna menutupi kaki. Tubuhnya melayang dari permukaan dan tampak samar di mata manusia.

Aku menyebutnya Peri Salju. Kemudian, Peri Salju mengangkat tiga jarinya. Aku langsung terpikirkan akan harapan seperti cerita dongeng yang sering aku baca. “Tiga harapan?” aku bertanya. Peri Salju mengangguk.

Harapan pertamaku adalah, “aku menginginkan gaun cantik.” Kedua, “aku juga ingin salju berhenti.” Yang ketiga, terdengar konyol, tapi aku memang licik. “Terakhir, aku mau teman-temanku yang jahat terjerumus ke jurang.” Setelah mengucapkan tiga harapan itu, Peri Salju menghilang. Ia tidak pernah muncul lagi.
                                                                                                
Lisa membagikan sesuatu kepada teman-temannya. Kakinya telah pulih setelah lima bulan terapi berjalan. Aku seperti biasa, duduk di bangku kelas Sekolah Dasar sendirian. Namun, hari itu berbeda. Lisa menghampiriku. “Buat kamu.” Lisa memberikanku undangan ulang tahunnya yang ke-9. Aku mengernyit bingung. Kukira dia mau meledekku. “Lupakan aja soal perosotan. Kita bisa berteman, kan?” Aku masih hening tidak percaya. Bahkan hal ini bukanlah salah satu dari harapanku.

Ketika sampai rumah, aku memberitahukan berita ini kepada Mama. Reaksi Mama sangat bahagia. Kami memikirkan apa yang harus dipakai ke pesta ulang tahun Lisa, dan hadiah apa yang harus aku bawa. Aku sangat ingin datang, tapi apakah tidak apa-apa?  “Tak apa. Ini kan, Lisanya sendiri yang mengundangmu.” Mama selalu aja bisa menenangkanku.

Hari itu pun tiba. Aku mengenakan gaun pesta cemerlang. Lisa menyambutku dengan baik di acara ulang tahunnya. Semuanya tampak riang; menari dan menyanyi.

Pukul sembilan malam. Lisa menarik lenganku bersamanya. Teman-teman Lisa ikut membuntuti. Di halaman belakang rumah Lisa, terdapat pohon tua tinggi dan besar. Lisa serta tiga temannya—Karin, Flora, dan Tere memanjat pohon itu meski terasa sulit dengan gaun pesta. 

“Maura, ayo! naik!” Aku memanjat pohon tersebut.
“Di atas sini, bintangnya banyaaaaaaakk banget,” sahut Lisa. “Saking banyaknya, kita bisa menebak- nebak rasi bintang. Apakah itu andromeda, aquila, centaurus, cepheus, dan masih banyak lagi.” Lisa bercerita dengan suara riang sambil menatap langit. “Kalau Maura bintangnya apa?”
“Aquarius.”
“Wah! Setenang air mengalir.” Cekikik Lisa diikuti oleh Karin, Flora, dan Tere. Mereka tampak menikmati moment ini. Mereka juga terlihat akrab. “Maura, kita minta maaf, ya, karena udah ngejek kamu. Janji gak gitu lagi.”
“Iya, sekarang kamu teman kita,” jawab Flora seiring nongolnya senyum rentetan gigi yang penuh rongga.
“Polaris adalah kesukaanku,” jelas Lisa. Aku menatapnya bingung. “Polaris adalah bintang dari utara.  Tidak seperti bintang lainnya; berotasi mengikuti bumi, namun polaris tetap pada posisinya di utara. Ia adalah bintang harapan. Mungkin tidak seterang sirius, tapi selama polaris ada, harapan juga ada. Harapanku adalah kita selalu jadi teman.” Aku terpaku mendengar kalimat bijak dari Lisa. Dia orang yang baik.

Sejak itu, aku berteman dengan mereka. Lambat laun, musim dingin berakhir. Kami antusias menyambut musim semi. Bunga yang warna-warni bermekaran di taman. Aku tidak akan pernah melupakan saat bareng teman-teman. Kita lari-larian mengitari air mancur, bermain boneka, masak-masakan, atau belanja baju bersama. Semuanya harmonis.

Dua harapan telah terkabul. Apakah satu harapan licik itu akan terkabul juga? Kini, aku telah jadi anak kuliahan. Masih lekat dengan Lisa, Karin, Flora, dan Tere. Kami tumbuh bersama. Aku telah melupakan harapan itu. Menganggap itu hanya khayalanku saja di masa lampau. Imajinasi anak kecil. Aku tidak menghiraukannya.
*

Tidak mengikuti camping angkatan karena demam menyerang. Aku memutuskan untuk ke toko buku. Di dekat dinding belakang ujung ruangan, seorang wanita bersetelan aneh—baju berbahan licin dengan warna mencolok, super longgar. Aksesoris kepala layaknya penari india. Pada meja lesehan yang ia tempati tertulis, ‘Lihat ramalanmu hari ini.’ Penasaran juga.

 “Persilakan saya untuk meminjam tangan Anda?” Aku mengulurkan tanganku.
Peramal ini berlagak membaca garis-garis telapak tanganku. “Hmm, setenang air mengalir. Namun, diam-diam air menghanyutkan. Berkepala batu.” Ia melepaskan tanganku, lalu membuka buku berukuran besar semacam buku mantra. “Hari ini untuk pertama kalinya tidak bersama teman-teman, benar?” Aku mengangguk. Dia melihat bukunya kembali. “Jangan sampai khayalanmu mengalahkan kenyataan—Oh, tidak! Teman-temanmu dalam bahaya!" suaranya terhenti sejenak. Dengan nada suara dramatis, ia menunjukkan sosok misteriusnya. “Tenang, semuanya akan indah pada akhirnya.” Aku hanya diam mendengarnya berceloteh ngawur. Tiba-tiba handphone-ku berdering.

“Halo?”
“Haloooo, Maura, lagi apa? Whoa! Di sini seru banget loh! Nyesel nggak ikut!” Terdengar suara cempreng Flora.

“Eh, Ra! Mau oleh-oleh apa? Atau, nggak usah lah ya, kocek tipis nih.” Itu sudah pasti suara Tere.
“Lagi di toko buku,”
“Banyak-banyak istirahat, Ra.” Suara Karin, selanjutnya.
 “AAAAAHHH!”
“Eh, Lisa!” Flora berteriak.

Suara itu.... Apakah mungkin...  aku mau teman-temanku yang jahat terjerumus ke jurang. Terdengar suara panik di sana. Suara-suara pembicaraan saling bertabrakan. Yang pasti suara teriakan itu berasal dari Lisa. Ah, masa iya harapan itu benar terjadi, tetapi dua harapanku sudah terkabul. “Halo, Flo? Halo?” Tak ada yang menjawab. Aku menutup teleponku, membayar upah si Peramal, dan bergegas menyusul ke gunung.
Aku mengebut dalam perjalanan. Seuntai pikiran yang berasal dari makhluk-makhluk ajaib bergemerisik di kepala. Mengenai Peri Salju, lalu selanjutnya adalah Peramal itu. Oh, tidak! Teman-temanmu dalam bahaya! Semoga tidak terlambat, aku menyerukan doa dalam hati.

Sesampainya di kawasan rekreasi gunung, aku langsung menyewa pemandu untuk mengantarku ke wilayah rombongan kampus. Langit kian gelap. Aku berusaha untuk tenang sepanjang perjalanan. Aku mendengar suara sungai mengalir. Aku mengikuti suara itu, lalu menemukan sebuah jurang yang di bawahnya dialiri sungai begitu deras.

Prasangka pedih dari hati mulai terasa. Tapi, belum bisa kupastikan. Aku menyerukan nama mereka satu persatu dengan air mata yang menggenang. Perasaan menyesal serta bersalah berpaut jadi satu. Jika sihir itu menjadi nyata, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin Lisa pernah jahat kepadaku, namun siapa pun bisa berubah. Dia telah berubah. Lisa dan teman-temannya telah mengubah duniaku. Mereka memberiku pelajaran arti dari sahabat. Sejak kecil hingga masuk kuliah, selalu bersama. Aku tidak ingin ditinggalkan sendiri.

Peri Salju tak bisa diharapkan. Harapan baruku sekarang beralih kepada Polaris. Aku ingat kalimat Lisa mengenai bintang utara, selama bintang utara ada, harapan juga ada. Harapanku adalah kita selalu jadi teman. Kekaguman Lisa kepada Bintang Utara, membuatku ingin ikut membuat harapan baru. “Harapanku adalah kita selalu jadi teman!” Aku menjeritkan kalimat itu kencang-kencang ke antero gunung. Kemudian, sesuatu menyentuh pundakku; Sebuah tangan.
“Siapa bilang kita nggak akan selalu berteman?” Aku membalik badan, di sana ada empat perempuan muda tengil dan liar. Aku terdiam sejenak. Mataku menyipit meraut muka haru. Aku memeluk Lisa. “Kamu kenapa, Ra?”
“Makasih, ya, udah jadi temanku.”
So sweettt!” ungkap Flora otomatis.
“Kok, lo bisa di sini, Ra?” tanya Tere heran dengan kehadiranku.
“Tadi, aku dengar suara Lisa teriak di telepon. Aku panik, jadi langsung ke sini.”
“Ya ampun! Kebangetan tau nggak sih penyakit panikan lo itu. Orang dia cuma jatuh pas lagi panjat tebing, kegiatan outbond. Itu pun, Lisa, pakai tali pengaman.”
“Dasar lo lebay sih, Lis! Si Maura lagi bengek begitu jadi repot-repot ke sini, kan!” celoteh Tere menyerang Lisa. Lisa hanya tertawa kecil.
“Terus, kalian kenapa bisa di sini?”
“Kita dengar suara kamu teriak, Ra,” kata Lisa.

Kemudian kami berpelukan bersama sekali lagi. Peramal itu benar, semuanya akan indah pada akhirnya. Pada saat itu, salju turun menyelimuti kota.

Wrote a long months ago. Due to joined a story contest by Jejak Publisher. Selected as the favorite one.

Comments

Popular Posts