Teori Kesemutan


Aku tidak pernah percaya pembicaraan orang. Kebanyakan bibir mereka mengandung omong kosong belaka. Apalagi ketika gaya bicaranya berupa entakan yang keras. Bibir mereka sudah menghitam, tak ada lagi rona pada permukaannya. Semakin hitam saja aura yang keluar.

Para tokoh legendaris masa lalu saja seperti itu. Teori milik Darwin, misalnya. Ia yang mengutuk dirinya untuk selalu berbakti kepada ilmu pengetahuan hingga sebagian besar teorinya dibantah oleh suara kepalaku. Mana mungkin manusia adalah keturunan spesies monyet.

Para tokoh masa lalu memiliki suara dalam kepalanya. Saking giatnya bekerja, terkadang mereka melupakan suara hati. Lihat saja Alan Turing. Aku hampir tidak bisa mengakui kalau dia adalah seorang gay. Sang pemecah kode enigma ternyata tidak waras. Suara hati miliknya telah koslet, namun suara kepalanya masih sangat berfungsi baik. Anehnya lagi dia mati bunuh diri karena tak sanggup menjalani terapi. Padahal aku sempat kagum karena mesin ciptaannya telah berkembang dan berguna bagi orang banyak. Bahkan satu tambah satu pun tidak bisa mengalahkan logika ketidakwarasan hati milik Tuan Turing.

Nasib malang seperti itu, tak ingin kuperoleh. Aku selalu mendengar jelas suara hati dan kepala. Bahkan jika bisa menggunakan microfon untuk mendengar suara gaib itu, aku tidak membutuhkannya. Aku hanya perlu mendengarkan mereka dengan seksama. Seperti musik yang mengembus pelan lubang telingaku.

Berkat pendengaran ajaibku, desa ini bergantung padaku. Aku membuat konsep penggalian lubang sumur. Bahkan aliran sungai adalah hasil desain milikku. Salah satu cabang ilmu matematika tersulit bagi kaum remaja seperti trigonometri, aku berusaha mengajari. Aku berupaya untuk menjadi angka pembilang pada pecahan yang berpangkat negatif. Pada akhirnya aku akan berposisi menjadi Angka Penyebut agar pangkat tersebut menjadi positif. Ketika auraku positif, para murid akan senang belajar bersamaku.

Aku sering memperhatikan tetangga-tetanggaku menjalani aktivitas sehari-harinya. Nenek Powi yang duduk di kursi teras rumahnya dari pukul tiga sore hingga sembilan malam karena khawatir seseorang akan maling buah apel di pohon; Atau, oh… seketika aku merasa enggan walau hanya menyebut namanya: Ghoris. Kebiasaan anehnya sejak kecil, yakni memata-matai semut dengan kaca pembesar. Entah mengapa.

Ghoris adalah bocah yang sangat pintar. Bahkan hampir menyetarai Einstein. Kuliah di universitas negeri ternama di kota dengan beasiswa bagai menjentikkan jari baginya. Aku sering meledeknya orang sinting tidak punya kerjaan, selain memerhatikan barisan semut yang berjalan di pohon. Namun, dia terlihat tidak menghiraukan. Aku lebih pilih bergelut menghadapi misteri. Tidakkah kalian sadar, masih banyak misteri yang belum terpecahkan di dunia ini.

Sejak Insiden Ibu dan Ayah; Ayah berselingkuh, Ibu sakit hati—menangis hingga hidungnya mampat dan membuatnya susah tidur malam. Ghoris sering kali mengejekku dengan sebutan “Mpok” karena mesti melakukan pekerjaan rumah ketika Ibu bangun kesiangan. Aku sempat tidak pernah lagi bertemu dengan Ghoris karena dia harus kuliah. Namun, ketika dia kembali, dia telah membiasakan diri menjadi pesaingku. Sekarang kebiasaanku dan kebiasaannya terbentur keras.

Misiku kali ini adalah menemukan harta karun di labirin bawah tanah. Sejak pertama kali aku menerawang labirin yang disinari oleh lampu-lampu redup ini, aku tidak yakin ada emas di dalamnya. Dindingnya terbuat dari kayu. Sudah tiga kali aku menemukan ruangan yang dilengkapi meja lesehan dan tikar. Untuk sekadar menyimpan harta karun, kurasa ruangan-ruangan seperti ini tidaklah dibutuhkan.

Aku menandai setiap tikungan dan koridor yang telah aku lewati dengan spidol merah. Suasana di dalam labirin ini begitu pengap. Sedikit oksigennya. Tubuhku sudah mandi keringat. Setiap tikungan dan koridor telah kulewati, namun tidak ada petunjuk akan keberadaan harta karun. Langkahku semakin lelah, kemudian pandangan seketika kabur.

Mataku terbuka, seorang lelaki beralis tebal tengah duduk di samping tubuhku yang terkapar. Aku terperanjat, kemudian menyeru, “Apa yang kau lakukan di sini!?”
“Kau tahu, kau akan mati jika terkapar di dalam labirin ini dan tidak seorang pun menemukanmu.” Ghoris menyentuh dahiku. “hmm, sudah kukompres agar demamnya turun. Bagaimana bisa kamu menerima misi ini padahal kamu sedang sakit.”
“Aku tidak merasa sakit.” Aku bangkit untuk pergi dari ruang peristirahatan.
“Kau mau kemana?”
“Memecahkan misi, tentu saja?” nada suaraku meledeknya sekilas.
“Tidak ada harta karun di sini. Para almarhum sesepuh desa ini telah berbohong. Sebaiknya kita keluar.”

Tubuhku masih terasa lelah. Mungkin benar kata Ghoris, tidak ada harta karun di labirin ini. Suara kepalaku pun berkata demikian. Ketika kami kembali, kami memberitahukan kepada warga bahwa tidak ada harta karun di dalam labirin bawah tanah. Tetua pun bisa berbohong. Para warga percaya pada kami. Mungkin berkat suara Ghoris yang lantang dan meyakinkan. Kami menduga labirin itu adalah tempat persembunyian pada zaman perang.

Sore itu Ghoris mengantarku pulang. Kemudian, di perjalanan, dia terlihat gugup sambil merogoh-rogoh saku celananya. “Ada apa denganmu?”
“Hmm, Lulita, dengar.” Ghoris menelan ludah. “Mungkin ini akan mengejutkan, tapi aku ingin mengaku bahwa sebenarnya…,” Pembicaraan Ghoris terpotong, kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah cincin tampak ketika ia membuka kepala kotak mini itu. “Kamu mungkin tidak pernah sadar kalau aku selalu memerhatikanmu. Itu karena aku mencintaimu. Selalu mencintaimu.”

Suara hati dan suara kepalaku serentak bersorak bahagia. Aku tahu kenapa Ghoris memperhatikan barisan semut yang berjalan. Itu karena semut pandai mencari tempat tinggal untuk bersembunyi sampai ada serangga yang akan mendekat dan diserang oleh segerombolan semut. Ghoris pandai menyembunyikan perasaan itu hingga saat pengakuan yang tidak pernah kuharapkan ini tiba. Itulah saat pertama kali pada akhirnya aku menemukan orang yang bisa kupercaya sekaligus kumengerti.


Judul sebenarnya: Teori Semut. Writter a long months ago due to mini-fiction story contest by Ellunar Publisher. Selected as the choosed one.

Comments

Popular Posts