Esmeralda




Sebuah kapal bajak laut menerjang lautan dengan ganasnya; Mengempas segala angin-badai yang berlalu lalang dalam lautan terus-menerus meronta tak ada hentinya; Awan mulai menghitam melukisi langit yang hampir tidak terlihat lagi. Kapal tersebut dikendali oleh seorang kapten dan awal kapalnya yang selalu setia. Sebut saja ia Kapten Poyo.

Semua awak kapal sibuk dengan tugasnya masing-masing. Seisi kapal berantakan, semua barang berhamburan kemana-mana. Bagian kanan tubuh kapal sudah retak. Kini, kapal besar tersebut hampir bocor, membiarkan air menggenangi lantai kapal yang kayunya sudah menganga ke luar.

Masih sama dengan kapal yang ada pada cerita dongeng lainnya—kapal tersebut memiliki kabin, roda penyetir—entah namanya apa, layar yang terbuka lebar sangat besar, ruangan khusus untuk menempati koleksi botol wine, puluhan gentong yang terdapat pada setiap sudut kapal yang berisi ikan mentah sebagai persediaan makanan, dan tentunya sebuah peta harta karun yang selalu berada di dalam saku sang Kapten Poyo.

“Terus bekerja! Kita masih tetap harus berlayar ke arah utara!” Teriak Kapten Poyo dengan tegas dari lantai atas kapal.
“AYAYAI KAPTEN!” Jawab beberapa anak buahnya sambil mengacungkan hormat pada dahi masing-masing.

Kini kondisi kapal semakin parah. Bunyi petir bergemuruh membututi setiap kilat yang memancar dari langit, lalu berhasil menyambar salah satu layar kapal sehingga menyebabkan layar kapal berlubang. Ombak mengoyak kapal yang lepas kendali, semua seisi kapal—termasuk Kapten Poyo—tergoncang oleh ayunan kencang yang dibuat oleh badai. Ombak masih terus bergoyang naik-turun menyelaraskan iringan angin yang memaksa kapal untuk mengikuti permainannya.

“Tidak!!! Apa yang kalian lakukan?! Cepat semuanya bangun! Kita tidak bisa berhenti di sini, tetap arahkan kapal kepada jalur!!” Kapten Poyo mulai mengeluarkan amarahnya, ia sudah tidak sabar lagi untuk keluar dari badai tersebut. Ia Ingin segera mendapatkan apa yang diidamkan selama ini: Harta Karun.

Dia tidak ingat kapan tepatnya atau dimana dia mendapatkan peta tersebut, yang dia pentingkan hanyalah penelusuran Harta Karun yang dituntun oleh keterangan peta. Bersama awak kapalnya, ia pun dengan percaya diri memulai petualangannya lagi setelah sekian lama ia terpuruk dalam kemiskinan.

Kapten Poyo adalah seorang bajak laut yang bisa dikatakan serakah dan hidup boros, oleh karena itu, hartanya sudah habis. Peta yang dimilikinya sekarang adalah pintu untuk kekayaannya. Dia sudah lelah hidup miskin. Dia ingin menjadi kaya lagi—dia selalu mendapatkan bagian yang paling besar saat pembagian harta kepada awak kapalnya, jelas saja, dia kapten.

Tiba-tiba saja sebuah angin tornado bergerak cepat ke arah kapal bajak laut itu. Angin tornado menyedot kapal seolah-olah kapal itu adalah makanan yang siap dicampurkan dalam blender. Kapal terangkat tinggi berputar-putar seraya dengan gerakan angin. Semua awak kapal—termasuk Kapten Poyo—berteriak pasrah, upaya kapal untuk memutar balik arah telah terlambat.

Kapal berada di pinggir pantai sebuah pulau kecil yang di depannya terdapat sebuah hutan yang dipenuhi oleh banyak pohon dan semak belukar. Kapten Poyo terbangun, menyadari bahwa dia sedang berada di tempat yang asing. Semua awak kapalnya berhamburan bak ikan yang sudah mati tanpa air. Ia memeriksa kompasnya untuk memastikan jika dia sudah berada di utara. Dia menghembus napas karena rupanya dia telah salah jalur; dia berada di sebelah selatan.

Kapten Poyo berjalan turun dari kapal yang sudah hampir hancur tersebut. Ia berjalan mendekati hutan yang ada di sebrang pantai. Hutan tersebut tampak sangat gelap seperti hari sudah malam, padahal keadaan di pantai masih sangat terang.

Tidak jauh dari perbatasan antara pantai dengan hutan tesebut, terlihat sebuah toko roti sederhana yang memiliki papan nama bertuliskan "Esmeralda”. Posisi papan nama tersebut sudah miring yang ditancapkan ke gumpalan tanah. Hampir dari sebagian besar bahan material toko roti terbuat dari bambu; Jendelanya bukan terbuat dari kaca, melainkan hanya daun pisang yang digulung lalu direkatkan dengan paku pada lubang yang membentuk persegi empat berupa jendela; Di pintu toko tergantung sebuah tanda bertuliskan "TUTUP"—pintu itu bergoyah saat Kapten Poyo mendorong pintu untuk memasuki toko.

Ia menyahutkan salam, namun tidak ada suara manusia yang menjawab. Sekitar ruangan terdapat beberapa meja kayu peyot yang tinggi dan memanjang mengelilingi setiap sisi dinding ruangan itu. Pada masing-masing meja, terdapat kursi berbentuk bundar yang sudah goyah penyangganya menyetarai tinggi meja tersebut. Kecuali sisi kiri, sepertinya sisi itu merupakan sisi kasir untuk proses transaksi jual-beli karena di dekat dindingnya terdapat lemari kaca besar yang tentu saja sudah retak, bahkan salah satu kacanya sudah miring hampir lepas; dan satu buah meja laci yang berjarak agak menjauh di depan lemari tersebut—lemari kaca itu berisi tumpukan piring di bagian paling bawahnya; Dua buah roti berbentuk oval—roti tawar yang tidak menyerupai roti tawar pada umumnya, dan tumpukan botol wine yang sudah kosong menyampah pada bagian atas lemari itu. Toko roti ini tidak layak dikatakan sebagai toko roti, pikir Kapten Poyo.

Seorang anak kecil masuk dari pintu, spontan Kapten Poyo mengarahkan pedangnya kepada gadis kecil tersebut. Keranjang yang di bawanya terjatuh karena terperanjat. Anak kecil itu berpakaian menyerupai gadis desa, berupa baju bersetelan rok panjang yang mengatung; Rambutnya dikuncir menggunakan serabut kelapa membentuk dua kepangan; Kakinya tidak memakai sepatu ataupun sandal. Ia mengambil kembali keranjang tersebut—bagian atas keranjang itu ditutupi oleh kain. Kapten Poyo menaruh kembali pedangnya ke dalam kantong pedang yang tergelantung di sebelah kiri pinggangnya.

“Oh, sudah ada pelanggan, rupanya, tunggu sebentar, ya.” Sapa gadis tersebut. Lalu ia menaruh isi keranjang—tumpukan roti-roti berbentuk bulat yang kelihatannya tidak lezat diletakkan ke dalam lemari.
“Baiklah Nona Kecil, saya hanya ingin bertanya, jika di sini ada desa, saya ingin memperbaiki kapal untuk meneruskan sebuah misi penelusuran.” Kapten Poyo menjelaskan misinya kepada gadis itu yang masih sibuk merapihkan roti-rotinya.
“Misi penelusuran?” Gadis itu membalikkan tubuhnya menghadap Kapten Poyo lalu melanjutkan pertanyaannya, “Memang seberapa penting misi ini bagi Anda, Tuan?”
“Sangat sangat penting. Oh, ya, bisakah kau memberitahuku tempat apa ini? Kapal saya tersedot oleh angin tornado, lalu—hushhhhhh…….,” Kapten Poyo menganyun salah satu tangannya, “di tempat asing inilah saya, kapal, dan semua awak saya terdampar.”
“Wow, petualangan yang sangat menarik, Tuan, kau berada di pulauku, dan ini adalah toko rotiku. Apakah Tuan menginginkan roti?”
“Tidak, saya tidak menginginkan roti. Persediaan makanan kami memang banyak yang terbuang akibat ombak, tetapi saya yakin masih ada sisa dari persediaan makanan tersebut,” Kapten Poyo menggebrak meja laci di hadapan gadis tersebut, “Cepat katakan ke mana arah utara nona kecil!” Ia memelototi gadis tersebut, janggutnya yang ikal berantakan memenuhi dagunya membuat kesan seram pada wajah Kapten Poyo.
“Tenang, Tuan. Mungkin kompas Tuan keliru? karena di sini lah utara.”
“Apa? Kompas saya tidak mungkin salah!” Kapten Poyo mengambil kompas dari saku bajunya, lalu melihat jarum yang menunjukan utara. Tidak mungkin, bagaimana bisa kompasnya berubah, jelas-jelas tadi kompas ini menunjukan arah barat. “Baiklah kalau begitu, kau tahu, dimana letak Harta Karun itu?”
“Harta Karun?” Gadis itu menaikkan alis sebalah kanannya, mencoba untuk mengingat tentang Harta Karun. “Sepertinya….”
“Saya tahu kalau kau pasti mengetahui tentang Harta Karun itu. Cepat katakan saja dimana benda itu berada.”
“Hmm… sepertinya saya tahu.”
“Kalau begitu, cepat katakan di mana letaknya.”
“Hanya jika Tuan ingin membeli roti-rotiku.”
“Kau menantang saya, rupanya!” Kapten Poyo mengambil kembali pedang panjangnya lalu mengacungkannya kepada wajah sang gadis, namun si Gadis Kecil itu tidak terlihat takut sama sekali, bahkan dia tidak tersentak melihat pedang tersebut.
Gadis itu berjalan ke dekat pintu, Kapten Poyo langsung menghadang jalannya. “Kau mau ke mana nona kecil? Tidak ada jalan keluar bagimu.”
“Siapa bilang aku ingin keluar? Aku hanya akan membuka toko ini.” Ia membalik tanda "BUKA" menghadap ke luar toko yang menggantung di pintu.
“Jadi, kau membuka toko ini pada malam hari?” Ia merasa heran dengan waktu yang di tentukan oleh gadis itu untuk membuka toko pada malam hari—karena mana mungkin ada pelanggan yang mencari makanan pada malam hari.
“Tentu, Tuan.”
Kapten Poyo berpikir sejenak lalu mengabaikan masalah tersebut. “Baiklah. Sekarang beri tahu saya dimana harta karun itu.”
“Aku sudah katakan, bukan? Aku akan memberi tahu Tuan, di mana letak harta karun itu, jika Tuan membeli roti-rotiku.”
“Tidak, saya tidak akan membeli roti-rotimu itu.”
“Jika Tuan sudah berada di pulauku, maka Tuan harus membeli salah satu dari roti-rotiku.” si Gadis Kecil berjalan pelan mendekati Kapten Poyo.
“Tidak, tidak akan.” Kapten Poyo tetap merentangkan pedangnya kepada si Penjual Roti, ia melangkah mundur.
“Iya! KAU HARUS MEMBELI ROTI-ROTIKU!!” Lalu gadis kecil itu berteriak
sangat kencang hingga membuat telinga Kapten Poyo menjadi pengang, seluruh isi ruangan seperti berputar-putar dibuatnya. Kapten Poyo berlari keluar pintu utuk menyelamatkan diri dari gadis kecil yang aneh itu.

Kapten Poyo berlari menjauhi toko roti. Ia kembali pada kapalnya, lalu memeriksa kompas lagi, benar, dia berada di selatan. Seluruh awak kapalnya sudah tersadar dari pingsan, mereka segera menyiapkan kapal untuk kembali berlayar. Kapten Poyo melihat peta harta karunnya. Ia mencoba meneliti kembali, jika jalur yang diambilnya telah benar. Menurut keterangan peta, akan ada angin tornado yang akan membawanya kepada satu pulau, lalu menuju ke utara esmeralda. Kapten Poyo melebarkan matanya saat membaca keterangan tersebut: Esmeralda. Dia menyadari sesuatu, kata itu merupakan kata yang dia temukan pada papan nama dekat toko kue. Tapi, bagaimana bisa? Dia langsung memerintahkan semua awak kapalnya untuk memutar balik.

Kapten Poyo beserta beberapa anak buahnya kembali ke tempat toko roti berada.

“Zamrud.” Salah satu awak Kapten Poyo berkata lirih saat melihat tulisan Esmeralda.
“Maksudmu apa?” tanya Kapten Poyo.
“Zamrud adalah maksud dari kata Esmeralda dalam bahasa Spanyol.”
Kapten Poyo menyeringai mendengar penjelasan dari awak kapalnya itu. Ia langsung memerintahkan seluruh awak kapalnya mengambil sekop untuk menggali tanah di bawah papan nama tersebut.

Harta Karun berhasil didapat, tetapi Harta Karun itu tidak bisa terbuka—terkunci, sedangkan Kapten Poyo tidak memiliki kuncinya, sungguh mengecewakan. Ia mencoba untuk menghancurkannya, tapi tetap tidak bisa—Harta Karun itu sangat kuat—tidak bisa diretakkan atau di hancurkan.

Seorang gadis kecil yang dia temui tadi, tiba-tiba saja muncul dari balik hutan.
“Kau tidak akan bisa membukanya tanpa kunci.”
“Kau! Aku tahu, kau adalah penyihir, kau yang membuat segalanya menjadi aneh—utara menjadi selatan, toko roti yang buka pada malam hari, dan papan nama ini! Pasti kau juga yang membuat angin tornado. Aku juga tahu kalau kau pasti memiliki kunci dari harta karun ini.”
“Oh… benarkah? Jangan menuduh dulu, Tuan. Apakah kau tidak ingat dimmana kau mendapatkan peta harta karun itu?”
“Bukan urusanmu.”
“Baiklah, kalau begitu,” gadis kecil itu merubah diri menjadi seorang nenek-nenek. "Kau ingat dengan nenek ini?”
“Nenek...,” Kapten Poyo membelalakan matanya saat melihat kejadian sihir tersebut. Nenek itu adalah nenek yang pernah ia temui, tapi di mana. Dia tidak ingat. “Nenek adalah...”

Kapten Poyo tiba-tiba saja teringat sesuatu—ia berada di sebuah tempat—sebuah toko, Toko Roti. Ia sedang dalam keadaan berantakan waktu itu; Seorang nenek tiba-tiba saja menghampirinya untuk memberikan sekeranjang roti. Kemudian nenek itu memperkenalkan diri. Kapten Poyo bisa memanggilnya Nyai Kiwi. Nyai Kiwi memberikan sekeranjang roti kepada Kapten Poyo—rupanya tidak seperti yang dipikirkan oleh Kapten Poyo. Menurutnya, rasa roti itu tidak enak, aneh. Maka, dia melemparkan roti tersebut kepada Nyai Kiwi dan memarahi Nyai Kiwi akibat pertolongannya yang justru membuat lidah Kapten Poyo terasa aneh.

“Nyai Kiwi, sang Nenek Penjual Roti.” Sahut Kapten Poyo tercengang.
“Ya… aku lah Nyai Kiwi, sang Nenek Penjual Roti, aku sudah memberikan kuncinya padamu, aku bermaksud untuk membantumu di kala itu. Beruntung, kau sempat membawa peta itu.”
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana peta itu bisa ada di saku ku. Aku tidak ingat apa-apa setelah memakan roti pemberianmu itu. Sekarang, tidak, jangan lagi. Aku tau, aku salah. Kau bukan hanya penjual roti, tapi juga seorang penyihir. Pasti kali ini kau mencoba untuk mengelabuiku lagi. Tidak akan bisa, aku tidak akan percaya lagi padamu, aku hanya menginginkan harta karun ini.”
“Tepat sekali, Kapten, aku memang seorang penyihir yang berniat berbelas kasihan kepada fakir miskin. Tetapi, sayangnya kau tidak mempunyai rasa bersyukur, bahkan bisa dikatakan kau adalah orang yang serakah, Kapten.”
“Di kala itu? Di kala kau memberikanku sekeranjang roti yang buruk itu? Baiklah, aku minta maaf atas kejadian itu, aku memang sedang terpuruk, tapi bukan berarti aku harus memakan makanan buruk itu, roti itu sungguh tidak enak dan—”
“Kau melemparkannya kepadaku secara kasar.” Nyai Kiwi memotong perkataan Kapten Poyo.
“Aku sudah bilang minta maaf. Sekarang, tolong jangan mempersulit hal ini lagi. Setelah kau berikan kuncinya padaku, maka aku akan langsung pergi.”
“Baiklah, Kapten. Aku akui bahwa kau telah berhasil mengikuti setiap petunjuk peta itu. Kali ini aku tidak akan mempersulitnya lagi. Ini kuncinya,” Nyai Kiwi memberikan kunci itu kepada Kapten Poyo, lalu berkata, “tapi ingatlah! Segala sesuatu yang ada di dunia sihir tidak selalu seperti yang terlihat, segala sesuatunya bertolak belakang.”
“Terima kasih, Nyai Kiwi.” Kapten Poyo membungkukan badannya menghadap Nyai Kiwi, walaupun sebenarnya dia masih kesal terhadap Nyai Kiwi.

Kapten Poyo tidak mempedulikan perkataan Nyai Kiwi, dia hanya langsung pergi bersama awak kapalnya membawa harta karun tersebut.

Sesampainya Kapten Poyo di kapal, dia segera membuka harta karun tersebut, namun tidak seperti yang dia harapkana—sama sekali tidak seperti yang mereka harapkan. Harta karun itu bukanlah berisi berlian, koin emas, atau pun zamrud seperti yang tertulis pada petunjuk kayu itu. Melainkan, tumpukan roti berbentuk oval. Semuanya terdiam menatap tumpukan roti itu.

Di sebuah Toko Roti yang bertempat di hutan, Nyai Kiwi membuka lemari untuk mengambil keranjangnya yang berisi roti, lalu mengambil kunci asli dari harta karun tersebut. Ia tersenyum sesaat—harta karun itu akan kembali lagi ke tempat asalnya: Esmeralda. Sampai ada korban lainnya untuk diberikan sekeranjang roti milik Nyai Kiwi.


Comments

Popular Posts