This Ain't A Fairytale


           

#One: First Impression

Malam ini akan menjadi memoreable banget… karena aku berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukan teater. Salah satu teman laki-laki dari anggota teaterku menawarkan diri untuk berangkat bersama ke pertunjukan tersebut. Aku sempat khawatir jika aku membatalkan momentini karena temanku, Dira, gak jadi untuk bergabung ke acara pertunjukan tersebut. Untung saja ada laki-laki itu: Nakula.


Nakula adalah junior. Akhir-akhir ini, aku dan dia seringkali membicarakan hal-hal yang menurut kita penting untuk diceritakan hingga larut malam tiba, barulah kita sudahi komunikasi kita dari media sosial.

Aku mengenakan setelan kaos satin biru polos dengan bawahan celana legging hitam beserta tambahan kalung besar handmade yang coraknya berupa lukisan batik, ukirannya menyerupai bentuk kupu-kupu. Gak terasa banget, hari menjelang gelap. Sayangnya, hujan masih saja deras—kita masih belum bisa berangkat. Tetapi, pada akhirnya, kita toh nekat juga. Nakula sama sekali enggak tau di mana letak rumahku, jadi aku menyuruhnya untuk menemuiku di supermarket depan komplek rumahku. Rupanya, dia tidak membalas pesan yang kukirim. Tidak lama kemudian—tiba-tiba saja Nakula sudah berada di depan pagar rumahku menggunakan jas hujan bersama motornya. Aku pun berpamitan kepada orangtuaku, lalu segera memakai jas hujan juga.

Sesampainya kami di sana, aku merasa seperti… dia selalu bersamaku—dia selalu berada di sampingku, bahkan saat temanku ingin bertukar tempat duduk dengannya, namun dia malah pindah pada posisi sampingku yang satunya. Entahlah, aku senang bisa bersamanya. “Lo cantik, Cha.” Nakula sempat memujiku dengan kalimat itu. “Walaupun baju lo benar-benar gak modis.” Aku tertawa akibat ledekannya itu. Nakula asik juga, ternyata.

Tepat pukul 11 malam, kami pun beranjak pulang. Aku dan Nakula kembali ke tempat parkir. Selama perjalanan, aku dan Nakula tak ada hentinya membicarakan hal-hal yang menurut kami menarik tentang pertunjukan teater tersebut, seperti pemain yang memiliki karakter keras, kejahatan fisik, gairah cinta, kekuasaan dari seorang penjahat, penyesalan yang kian datang disebabkan oleh kutukan makanan, dan pemain yang menjadi narator sudah sukses menggiring penonton ke dalam alur cerita yang penulis sajikan.

Tidak terasa, kami telah sampai pada tujuan, yaitu depan rumahku. “Thankyou, ya, Na. Bye.” Aku beranjak pergi ke arah pagar, namun Nakula menarik tangan kiriku dari belakang. “Eh, tunggu,” sahutnya, lalu aku membalikkan tubuhku dengan tatapan bingung. “Ada apa?” Wajah Nakula membuatku sangat penasaran—dia terdiam sebentar sambil menatapku. “Gue mau ngomong,” Nakula menundukkan kepalanya sesaat, lalu berkata lagi, “gimana kalau... suatu hari… gue...,” dia memutuskan pembicaraannya lagi; aku memiringkan kepalaku sekaligus mengernyitkan dahi. Nakula kembali berkata, “Gimana kalau gue… suatu hari… suka sama lo, Cha.” Kepalanya kembali menegak. Aku tertawa kecil setelah mendengar omongannya itu. “Ya… gak gimana-gimana.” Aku menggerakan bola mataku menyerong ke atas sambil tetap menyengirkan gigiku. “Kita tetap dekat, kan? Kalau pun hal itu terjadi?” tanya Nakula selanjutnya, aku menjawab, “Tentu.”

#Two: The Writers

Dalam rangka perayaan hari Sumpah Pemuda, sekolahku mengadakan acara pentas seni. Aku benar-benar bosan menunggu di koridor yang sumpek terpenuhi oleh murid-murid yang simpang siur gak karuan seperti ini. Kantin sudah terlalu penuh untuk menerima beberapa pengungsi lagi yang berjumlah lima orang: Gengku. Oh, tidak, bukan geng, maksudku, teman-teman dekat yang memang menjurus pada pembentukan sebuah geng—bahasa yang lebih bakunya: perkubuan—perkubuanku.

Aku menghibur diriku dengan mendengar lagu-lagu lama yang belum sempat di-upgrade lagi di handphone-ku. Saat sedang memilah lagu untuk diputar selanjutnya, muncul pesan dari Nakula. Dia mengajakku untuk menemuinya karena dia ingin menemuiku. Aku setuju—berhubung tidak ada teman-temanku yang ingin mengantarkanku ke kantin untuk membeli mie ayam perihal makan siang yang sudah terlambat sejak sepuluh menit lalu.

Aku dan Nakula duduk bersama di meja depan stan penjual mie ayam. “Hey,” sapaku. “Makan, ya,” sapaku lagi. Dia tersenyum. Kami berbicara cukup banyak dalam waktu yang cukup lama. Kami menertawakan orang-orang yang berlalu lalang, orang-orang yang menggila karena irama musik rock yang menggetarkan seluruh penonton yang berhamburan di lapangan, dan berbicara tentang hobi dan kehidupan masing-masing. “Gue suka nulis.” Aku mulai bercerita tentang hobiku. “Sejak TK, gue udah suka nulis, saat SMP kelas 9, barulah gue mulai hobi menulis cerpen, gue kumpulin deh di email.” Aku melahap mie ayamku; Nakula gantian bercerita. “Oh, ya? Sama, gue juga suka nulis.” Aku membelalakan mataku menatapnya sambil tersenyum tidak percaya. “Serius? Memangnya, lo nulis apa?” “Fiksi.” Menarik, pikirku.

#Three: Not Only A Song

Pukul 3 sore. Bel sekolah sudah berbunyi, aku langsung pergi ke lantai bawah untuk latihan teater. Rupanya kelas masih kosong. Aku mencolokkan handphoneku untuk mengisi baterainya yang sudah mati pada stopcontact di belakang dari barisan paling belakang meja-bangku kelas. “Hey.” Naufal masuk ke kelas, lalu menyahutiku. “Hey, Fal, ngagetin aja.” Naufal adalah salah satu kerabat teaterku juga, dia juga sama seperti Nakula—juniorku di teater. “Kak Dharma belum datang, ya, Kak?” Kak Dharma adalah pelatih teater kami, tentu saja seperti biasa dia telat. “Belumlah.” Naufal duduk di sampingku. “Kak, lo udah ngerjain tugas yang disuruh Kak Dharma buat nulis review pertunjukan teater kemarin belum?” Aku langsung memalingkan wajahku ke dia dengan spontan mataku terbuka lebar-lebar menghadapnya, aku baru ingat akan tugas itu. “Ya ampun! Gue lupa… sumpah, gue lupa.” Aku melihat Nakula masuk ke kelas; dia melihatku dengan Naufal sebentar, lalu keluar lagi. “Ya, udah, thankyou udah ngingetin gue, Fal. Gue mau ngerjain sekarang.” Aku beranjak mengambil bukuku dari tas. Aku menghampiri Nakula yang sedang duduk di koridor depan kelas. “Na, lo udah ngerjain nulis review dari pertunjukan belum?” “Udah kok,” jawab Nakula singkat. “Ya udah, kalau gitu, sekarang lo bantuin gue, ya.” Entah aku mendapat pengaruh dari mana—rasanya seperti aku sangat berharap mandapat bantuan darinya. Aku mulai menulis judulnya, lalu menulis apa pun yang aku ingat dari pertunjukan tersebut. Nakula masih terdiam memerhatikanku menulis di lembar tengah buku.

“Cha.” Dia menegurku pelan. “Tunggu, Na, sebentar lagi selesai.” Aku masih sibuk dengan tulisanku. Rupanya Nakula tidak sabar untuk membicarakan sesuatu padaku—dia menyodorkanhandphone miliknya kepadaku; aku menghentikan tulisanku, lalu menatapnya dengan heran sejenak. “Kenapa, Na?” “Liat aja.” Aku melihat gambar yang ada di layar handphone Nakula—gambar itu adalah tulisan—sebuah cuplikan lirik lagu.


If you love somebody

Better tell them while they're here 

'Cause they just may run away from you

“Lagu? Lagu siapa, Na? Judulnya apa?” Aku bertanya padanya karena sebenarnya aku penasaran apa maksud dari dia memberikan lirik lagu itu padaku. “Itu lagu buat motivasi gue, Cha.” Aku sekali lagi melihat ke gambar tersebut. “Well, judulnya apa sih? Yang nyanyiin siapa?” Dia menjawab, “On Top Of The World by Imagine Dragons.” “Nanti gue cari lagunya, okay? Setelah selesai tulisan ini.” Aku kembali pada tulisanku. Nakula berkata, “Gue suka sama lo, Cha.” Aku menghentikan tulisanku. “Lagu itu yang memotivasi gue buat bilang kayak gini, dan gue… gue cemburu melihat lo sama Naufal tadi di kelas berduaan.” Wajah Nakula terlihat serius akan perkataannya. Apakah dia benar-benar serius? Aku hanya merasa takut. “Lo serius, Na?” lalu dia menjawab, “Menurut lo?”

#Four: First Touch

Kak Dharma sudah sampai di kelas. Aku beserta anggota teater lainnya seperti biasa membentuk lingkaran untuk memulai doa sebagai pembukaan dari latihan hari ini. Semuanya berpegangan tangan pada masing-masing teman kanan-kirinya dengan bentuk silangan tangan. Nakula menempatkan dirinya di samping kiriku. Dia memegang tangan kananku dengan sangat kencang; dia beberapa kali tersenyum padaku. Setelah selesai doa, aku bermaksud menarik tanganku dari genggamannya, tapi dia malah berkata, “Gak mau lepas,” bersama telapak tangan kami yang masih saling mendekap; dia menyengirkan deretan giginya yang merupakan bagian dari ledekannya kepadaku, aku hanya menanggapinya dengan tawa kecil. “Ngeselin,” sahutku.

Sejak kejadian itu, hubungan kami menjadi sangat dekat. Sepertinya aku mulai memiliki perasaan lebih kepadanya.

#Five: Ours

Nakula lagi-lagi mengirim pesan padaku, dia bilang, dia sudah berada di depan rumahku. Aku kaget bukan main, awalnya aku pikir dia hanya becanda. Hari sudah larut pukul delapan malam. Ngapain coba Nakula ke rumahku?—berharap tidak ada tetangga yang memerhatikan kita. Aku pun membuka pintu balkon kamarku. Dia benar-benar berada di bawah—di depan rumahku. Dia melambaikan tangannya, lalu mengirimkanku pesan lagi, dia ingin menemuiku, begitulah isi pesannya. Bagaimana caranya? Dia menuangkan ide cemerlangnya sekarang—dia akan memanjat. Ya! Dia memanjat pohon mangga yang ada di depan balkon, tapi tidak tidak! Pertama-tama dia memanjat pagar rumahku terlebih dahulu, “Lo gila ya?” teriakku tanpa suara. Setelah itu muncul lagi pesan dari Nakula.
Nakula: I'll be there.
Aku: I'm waiting.

Tidak memakan waktu lama, Nakula sudah berada di atas balkon. Nakula meraih tanganku, aku membantunya untuk melompati pagar pembatas balkon.

Kami duduk bersampingan menyandar pada bangku panjang, Nakula kembali menggenggam tanganku. Kami saling tenggelam dalam hening sambil menatap bintang-bintang di langit. Aku merasa senang dia bisa di sini. “Na, gue senang lo datang.” Nakula memalingkan wajahnya padaku, lalu berkata, “Gue juga senang bisa datang.” Aku menyandarkan kepalaku di pundak Nakula, lalu dia mengusap lembut bagian kiri rambutku hingga bagian pipi. “Gue sayang lo, Cha.” Aku tidak bisa menjawab, maka aku hanya mendongakkan kepalaku menghadap wajahnya, aku memberi senyum termanisku untuknya. Dia merangkul pinggangku—dunia ini terasa seperti milik kami berdua.

#Six: Depressed

Fuck you, dad.” Kalimat itulah yang tertera pada personal message Nakula. Aku langsung mengomentarinya, dan berusaha untuk menasihatinya. Sejujurnya, aku benci dengan kalimat itu.

Aku: Na, hapus pm lo.
Nakula: Kenapa?
Aku: Seburuk-buruknya dia, dia tetap bokap lo, Na.
Nakula: Gue pengen nangis di pelukan lo sekarang, Cha.
Aku: Are you okay?

Nakula tidak membalas pesanku lagi.

Aku: Ya, udah, temui gue di persimpangan gang rumah lo.

Aku ganti baju untuk segera pergi menemui Nakula—aku secepat mungkin pergi ke sana sebelum matahari mulai tenggelam. Setelah sampai di tempat tujuan, Nakula sudah berdiri di trotoar pinggir jalan sendirian, aku menghampirinya. Wajahnya terlihat masam, Aku menyentuh pundaknya. “Are you okay?” Tanyaku, kemudian. Dia tidak berkata apa-apa—dia menangis, lalu menyanggahkan kepalanya di pundakku. Aku memeluknya. “It's okay, everything will be okay.”

#Seven: Misunderstanding

Aku dan Nakula menyempatkan makan malam bersama di salah satu kedai dekat rumah Nakula. Kami tidak memesan banyak—hanya cemilan ringan. “Na, hapus PM lo.” Gue kembali pada pembicaraan kita yang sebelumnya. Aku tidak ingin ada temanku yang membaca PM Nakula, lalu langsung beranggapan bahwa Nakula adalah bad boy. “Kenapa sih, Cha?” Nakula menyipitkan matanya; wajahnya tampak gusar. “Gue gak mau ada orang yang baca PM lo yang kayak gitu, bagaimanapun juga, dia adalah bokap lo, Na.” Aku mencoba untuk menasihatinya sekali lagi. “Gue gak peduli apa kata orang.” Dia memalingkan wajahnya dari hadapanku. “Na, please, deh.” Aku tau kondisi Nakula sekarang sedang tidak baik—aku tau dia sedang ada masalah dengan keluarganya, namun aku gak akan menguak masalah tersebut—aku tidak akan ikut campur. “Lo gak ngerti, Cha. Lo gak pernah ngertiin gue dari dulu!—lo gak pernah ngerti cara menghadapi orang stress!” Wajah Nakula memerah, matanya memelototiku. Aku mulai merasa takut, ini adalah pertama kalinya dia berteriak kepadaku, orang-orang di sekitar kami mulai memerhatikan kami. “Kalau gitu, bikin gue ngerti,” jawabku pelan. Nakula tidak menjawab lagi, dia berjalan ke luar pintu kedai.

Aku mengejar langkahnya. “Nakula, tunggu.” Aku meraih tangannya. Saat dia memutar balik tubuhnya, dia langsung menampar pipi sebelah kiriku dengan tangannya. Wajahnya seperti bukan lagi wajah Nakula, kejengekelan seakan meruak ke jiwanya. Aku menyentuh pipiku sendiri, menatapi Nakula sambil menangis. Nakula hanya diam, dia pergi begitu saja meninggalkanku.

#Eight: Apology

Nakula datang ke rumahku dengan membawa setangkai bunga mawar berwarna merah. Sebelum aku cepat menutup pintunya, Nakula menahan pintu tersebut. “Tunggu, Cha.” Aku menatapnya dengan pandangan suram. “Apa lagi, Na?” “Aku minta maaf, Cha. Gak seharusnya aku kayak gitu.” Mama menghampiri kami dari dalam. Menatap Nakula dengan sinis. “Tante.” Nakula tersenyum pada mama. “Ngapain kamu ke sini?” Aku tahu mama akan marah jika Nakula datang karena aku sudah terlanjur bercerita semuanya ke mama, termasuk soal tamparan itu. “Kamu lebih baik pergi.” Nakula menatap mama dengan heran. “Tante, aku mau...” “Gak perlu! Kamu pergi sekarang juga.” Aku mulai menangis. “Baiklah, aku akan pergi. Cha, aku minta maaf. Aku nyesal, Cha.”

#Nine: Forgiveness

Aku tau, walaupun aku dan Nakula bisa bersatu, namun mama tetap tidak akan merestui hubungan kami karena kejadian tersebut. Aku benar-benar masih memiliki perasaan kepadanya, maka aku memaksa diriku untuk mengunjungi rumahnya. Untunglah Nakula yang membuka pintunya. Aku tersenyum padanya. “Cacha.” Aku memandanginya. “Dengan ini, aku selaku teman sepermainanmu menyatakan bahwa dengan lapang dada akan memberikan maaf kepada sang terdakwa yang telah melakukan hal tidak senonoh kepada wanita.” Aku tidak tahu apa yang barusan saja aku bicarakan. Nakula tertawa mendengar perkataanku ini.

Seorang wanita keluar dari balik pintu rumah Nakula. Aku langsung mengetahui bahwa wanita itu sudah pasti ibunya Nakula. “Tante.” Aku menyalami tanganku ke tangannya, namun dia malah mengempas salimanku. “Mama.” Nakula tertegun saat melihat perlakuan mamanya terhadapku. Aku tidak tau apa salahku. “Nakula, mama sudah pernah bilang padamu kalau kamu gak boleh punya pacar. Pacar itu akan membuatmu sakit hati. Mama gak mau hanya gara-gara perempuan, kamu akan menyayat hidup kamu sendiri.” Aku tidak mengerti maksud dari perkataan mamanya Nakula.
“Ma, hubungan Nakula dan Cacha itu berbeda dari hubungan Mama dan Papa!” “Lebih baik kamu pergi. Kau sudah mulai menghipnotis anakku.” “Ma, Mama tuh bicara apa sih? Cacha itu cewek baik-baik, Ma.” “Kamu masuk ke dalam, Nakula!” Suasana semakin panas, aku tidak tahu harus berbuat apa. “Ma!” “Masuk!” Nakula pun masuk ke dalam. “Kalau gitu, Cacha izin pamit.”

#Ten: Fairytale

Istirahat tiba. Seperti biasa, aku beranjak ke kantin—kantin begitu penuh hari ini, seperti biasanya. Aku memutuskan untuk membeli minuman es jeruk di area dagang Bang Beler. “Cacha.” Aku terkaget saat mendengar ada seseorang yang memanggil namaku di telinga kiriku, Nakula. “Hey, Na. Sumpah, gue kaget.” “Duduk di situ bareng, yuk.” Dia menunjuk ke arah salah satu meja kantin yang tidak jauh dari tempat kami membeli makanan di sini. “Okay.”

“Cha, lo tau dongeng roman Romeo and Julliet, kan?” “Tau, kok. Itu cerita klasik dari Italia, kan?” Kami berhenti makan sebentar. “Ya, dan mmm… menurut lo, cerita itu… apakah cerita itu bisa ada di dunia nyata?” Aku mengernyitkan dahiku. “Maksud lo?” “You know, mmm…hubungan mereka yang enggak pernah direstui oleh orangtua mereka masing-masing.” Aku langsung mengerti maksud dari Nakula.

“Lo tau dongeng Beauty And The Beast?” Aku balik bertanya padanya perihal dongeng. “Tau.” “Sang buruk rupa yang emosional, namun Si Cantik Belle tetap bersikeras menemuinya.” “Kalau begitu, jika aku adalah Romeo dan kamu adalah Julliet, Will you take my hand, then—” kemudian aku memotong omongan Nakula, “Yes, I will, sebelum mawar merah itu layu.” Nakula menggenggam tanganku. Kami saling melempar senyum. “Tapi please, gue benci adegan bunuh diri dari Romeo and Julliet,” jelasku padanya. “Sepertinya adegan terakhir dari Beauty and the Beast lebih patut untuk dijadikan kenyataan.” "Setuju."

This isn't only a fiction, actully. Cerpen yang tidak aku suka, namun isinya suka.


Comments

Popular Posts