Malaikat Penguntit

Kamar kos dia terletak di depan rumah tempat kosku. Setiap malam, aku selalu memandanginya sedang bermain biola di atas balkon depan kamarnya. Aku tidak pernah menyapanya, bahkan tidak berani. Aku hanya bisa mengintip dari jendela kamarku yang tidak memiliki balkon. Seakan-akan dia sedang menghubungi bintang-bintang yang bersinar cantik di atas sana menggunakan biolanya.
Malam ini adalah malam ke dua puluh delapan aku memandanginya—sejak tinggal di kos ini, yakni sekitar satu bulan setengah yang lalu. Tepat pada pukul 20.00 malam, aku lagi-lagi membuka tirai jendelaku. Aku juga membuka kunci jendelaku sedikit untuk membuat celah agar suara dari iringan biolanya bisa terdengar lebih jelas. Aku tidak pernah tahu lagu apa yang dimainkan olehnya, yang pasti… melodi-melodi itu terdengar sangat menyejukkan; Menggelibat di antara sepoi angin malam; Meluluhkan jiwa ragaku. Hujan malam ini… seolah menjadi pemandangan yang terlalu indah. Perempuan itu tetap memainkan biola bersama gemerisik hujan. Namun, tidak lama kemudian, dia berlari ke kamarnya.

Perempuan itu sudah berada di depan pintu kamar kosku. Apa yang ingin dia lakukan di sini? Aku pikir, dia masuk ke kamarnya karena ingin berteduh.
Tidak lama kemudian, bel pintu kamar kosku berbunyi. Aku segera membuka pintu. Dia terlihat sangat gelisah dengan wajah pucat; Rambut bermodel layer sedadanya basah kuyup. Begitu juga dengan setelan yang dikenakannya. Dia menenteng biola, lalu dia berbicara setengah berbisik, “Boleh kah aku masuk?” Aku langsung membiarkannya masuk dan memberikan handuk kering kepadanya.
Aku mempersilakan dia untuk duduk di sofa. Aku juga menawarinya teh hangat, tetapi dia malah menggelengkan kepala. Selanjutnya tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua. Keheningan seketika menyeruak ke penjuru ruangan kamarku. Wajah dia juga masih pucat seperti ketakutan sambil terus menunduk. Rambutnya yang lurus menjuntai menutupi seluruh permukaan wajahnya. Tidak tahan dalam kondisi canggung serta bingung seperti ini, aku mulai menanyai identitasnya.
“Gara,” kataku singkat dengan menjulurkan tangan kananku. Akhirnya dia mulai menaikkan kepalanya, perlahan menegakan kepalanya menghadapku.
“Aku Reka,” jawabnya dengan senyum tipis sedikit memelas, lalu menggenggam juluran tanganku. “Mmm, maaf, aku…cuma butuh teman saja untuk menemaniku.” Aku menyunggingkan senyum.
“Jadi, apa yang membuatmu ingin datang kemari? Apa yang ingin kamu keluh kesahkan?” tanyaku kemudian.
“Aku….” Omongannya terhenti sejenak. Bola matanya berpindah ke segala arah seperti memikirkan sesuatu yang tidak patut untuk diberitahukan kepada orang lain. “Apakah kamu… percaya pada kematian?” raut wajahnya memilu di hadapanku. Sejujurnya, aku sedikit tertegun saat dia mengeluarkan pertanyaan aneh itu. Kali ini aku yang mengeluarkan wajah kelimpungan. Aku mengernyitkan dahiku, lalu menyenderkan tubuh di sofa.
“Mmm…, kalau saya tidak percaya pada kematian, maka artinya saya tidak percaya pada kehidupan yang sedang saya jalani saat ini, walaupun terlalu banyak misteri di dunia ini yang belum bisa terpecahkan.”
“Misteri?” tanyanya pelan.
“Ya, misteri, sesuatu yang membingungkan; Memutar otak agar membuat korbannya menjadi banyak tanya. Kira-kira seperti itu lah pandanganku tentang misteri.” Kemudian aku berdiri mengambil kalender kecilku yang ada di atas meja laci panjang di depan kami. “Mmm…, besok adalah misteri.” Jelasku sambil menunjuk ke kalender yang kupegang.
Dia melepas senyum yang berupa deretan gigi putih mungil di antara bibirnya. “Ikut aku.”
Dia menggiringku ke balkon kamarnya. Aku mengikuti langkah yang menuntunku ke sarangya itu. Otomatis aku melihat isi kamar yang terpenuhi oleh poster melodi-melodi musik yang sama sekali asing bagiku. Dinding yang bernuansa biru muda bergradasi menggambarkan kepribadian Reka yang tenang. Aku sampai di panggung istimewanya ini.
Kepala Reka menenggak menatap langit. Aku melakukan hal yang sama. “Itu bintang….” Dia mengarahkan jari telunjuknya ke arah langit yang waktu itu hanya memiliki satu bintang, yang bahkan hampir kesat mata. “Ini biola….” Dia menunjukkan biolanya di hadapanku. Aku masih tidak mengerti dengan yang dia ucapkan. “Biola mengirim sinyal kepada bintang untuk Mama.” Aku terkesiap dengan perkataan yang satu ini. Aku mengerti sekarang. Reka adalah sosok manusia yang sedang dalam ambang kesedihan, lalu melampiaskan seluruh kesedihan itu melalui biola. Akan tetapi, kenapa bintang yang harus menjadi audience-nya? “Dan, malam ini bintang telah menjawab sinyalku melalui hujan, tidak sia-sia aku mengirim sinyal itu—yang artinya, Mama belum mati.” Senyum lesu menggarisi di bibirnya. Dia kembali kepada langit.
“Mama kamu memang belum mati, dia nggak akan pernah mati. Dia selalu ada, dan bukan bintang yang mengirim hujan, tetapi—“
“Tuhan. Tuhan merampok Mama dariku, jadi dia gak mungkin mengirim sinyal untuk memberitahu bahwa tawanannya baik-baik saja.” Dia membalikkan tubuhnya membelakangiku.
“Kamu salah. Tuhan nggak merampok Mama kamu, dia justru memberikan tempat yang istimewa untuk Mama kamu, dan sinyal itu memang untuk memberitahu kamu kalau Mama kamu baik-baik saja.” Dia kembali pada posisi semula, kembali ke hadapanku, lalu menatapku dengan tatapan dalam sambil memiringkan kapalanya ke kiri. Kemudian, dia mengambil tangan kiri ku, lalu meletakkannya di dahi miliknya.
“Apakah kamu berpikir kalau aku gila?”
Aku menggeleng. “Kamu nggak gila, kamu hanya sedang dalam imajinasi yang kayaknya berhasil membuat kamu stuck dalam kondisi seperti ini.”
“Kondisi seperti apa?”
“Kondisi kekurangan zat bahagia.”
Dia terdiam menatapku. Cukup lama sampai aku tidak bisa menolak untuk tidak menatapnya juga. Kemudian dia tertawa—tawa pertama. “Kamu itu… lucu juga ya.” Dia menyampingkan tubuhnya dari hadapanku. “Aku itu kabur dari rumah, aku mencuri kartu ATM Papa karena aku merasa kalau aku… udah nggak punya siapa-siapa lagi. Bahkan Papa mau menikah dengan wanita lain yang tidak kusukai.”
“Kalau begitu, kamu harus pulang sekarang.”
“Hah?”
“Saya mengerti kenapa hujan turun sekarang, dia turun bukan hanya ingin mengirimkanmu sinyal, tapi dia turun untuk memperingati kamu kalau sudah saatnya kamu pulang.”
“Aku nggak ngerti.”
“Gini loh, sebenarnya kamu sudah mendapat sinyal dari Mama kamu selama ini, buktinya bintang itu selalu ada untuk menonton penampilan kamu. Namun, ada saatnya di mana dia merasa lelah dan bosan, dia ingin memperingatimu, sudah saatnya kamu berhenti.”
“Aku kira kamu membaca pikiranku.”
“Maksud kamu?”
“Hah? Enggak enggak, aku cuma…” Reka membuang muka dari pandanganku. “Lebih baik kita kembali ke kamar masing-masing, aku ngantuk.”
***
Sudah lama aku tidak melihat Reka lagi di balkon kamarnya. Aku pikir dia sudah kembali ke rumahnya yang dulu, menjalani hidup seperti layaknya wanita muda lainnya. Begitu pun juga denganku, setiap malam aku merindukan alunan biolanya. Aku merindukan wajah ekspresif yang sangat tenggelam dalam lingkukan nada. Bintang bukan apa-apa selain bersama dirinya.
Suatu hari, seekor merpati putih menabrak kaca jendela kamarku. Aku membuka jendela kamarku dan meraih merpati itu, untung saja dia tidak terluka parah. Hanya sayap sebelah kirinya yang sedikit bengkok.
Pada kedua kaki merpati itu, ada sebuah surat yang tergulung. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat saat ini—seekor merpati mengantarkanku sebuah surat.
Aku membuka kertas kecil itu, terdapat beberapa helai kertas lainnya, tetapi ada tertulis kalimat yang berbeda-beda.
Kertas pertama:
“Tahap pertama adalah menarik perhatian. Aku sudah melakukan sandiwara selama hampir sebulan. Aku rasa telah cukup menarik perhatian manusia. Dan, aku memang berhasil.”
Kertas kedua:
“Tahap kedua adalah memancing. Aku telah mengarang skenario agar membuat manusia pertamaku merasa iba kepadaku. Aku juga telah berhasil melewati tahap ini.”
Kertas ketiga:
“Tahap ketiga, menghilang dari kehidupannya secara tiba-tiba.”
Kertas keempat:
“Tahap keempat, laporan.”
Kertas kelima:
Tahap kelima, keputusan. Aku gagal di tahap kelima. Dia berkata, inilah saatnya manusia itu pergi, sudah saatnya bagiku untuk mencabut nyawa. Tetapi, aku malah membantah-Nya. Aku mempunyai tugas dengan cara melalui semua tahap dengan baik, untuk memastikan apakah manusia ini sudah siap untuk mati. Manusia ini memang terlalu baik, Dia terlalu sayang padanya, maka Dia menginginkannya. Akan tetapi, masih banyak manusia lain di luar sana yang membutuhkan manusia ini. Aku yakin manusia ini bisa  merubah dunia menjadi lebih layak bagi kaum manusia, manusia pikir, dia telah memerhatikanku selama ini, tetapi tidak, justru akulah yang memerhatikannya. Pada akhirnya, Dia merelakannya untuk tetap menjalani hidup.

Tertanda,
Reka alias Malaikat Penguntit”
Hujan turun begitu deras malam ini. Seandainya saya tahu bahwa dia adalah malaikat, maka saya tidak akan berniat untuk jatuh cinta seperti ini kepadanya. Tetapi, terimakasih karena sudah membocorkan kepadaku satu misteri tentang kematian

Comments

Popular Posts