Sudut Pandang


Rio, Rezha, dan Leo terlihat bertengkar hebat di video itu. Rio dan Rezha beberapa kali menunjuk tangannya ke hadapan Leo yang berdiri cukup jauh dari mereka. Dari video tersebut, terlihat jelas bahwa seragam yang mereka kenakan adalah alameter milik SMA HARAPAN BANGSA bernuansa kotak-kotak. Rezha dan Leo terlihat saling dorong-mendorong karena amarah yang menyeruak pada diri mereka, sedangkan Rio berusaha keras untuk memisahkan kedua temannya itu. Mereka berkelahi sampai ada salah satu dari mereka yang terjatuh, lalu dorong-dorongan, dan seterusnya melakukan tindakan perkelahian di sebuah rumah yang sepertinya sudah sangat kumuh tidak terawat. Dinding-dindingnya penuh lumut, lantai berserakan koran-koran bekas yang sudah teroyak-oyak, dan cahaya remang-remang membuat video tersebut menjadi terkesan horor.


Layar video berdurasi 2 menit 10 detik itu tidak memiliki suara, hanya seuntai rekaman perkelahian antara teman yang tidak satu pun orang tahu apa penyebabnya. Pada 30 detik terakhir, layar video bergerak kencang seperti terjatuh dengan keras, layar video terhentak pada posisi miring. Tidak ada lagi sorotan yang menunjukkan perkelahian antar teman itu. Hanya kaki-kaki mereka yang berbalut corak kotak-kotak saja yang terlihat.
Seseorang berjalan menghampiri mereka bertiga dari balik terjatuhnya rekaman. Leo, yang sepertinya menginjak salah satu kaki dari orang itu—yang sudah berdiri di belakangnya dengan kaki yang hanya berbalut sendal plastik merah—terlonjak kaget. Dia langsung memutar kakinya menghadap orang itu. Rupanya dia mengetahui orang itu, dan berusaha bergerak mundur menjauhi orang itu. Mereka bertiga berdiri agak jauh dari orang itu, lalu melekukkan masing-masing kedua kaki mereka di hadapan orang misterius itu. Lama-kelamaan, satu-persatu dari mereka terkapar di lantai. Di mulai dari Leo, Rezha, lalu terakhir Rio. Mereka semua tewas dalam tragedi itu. Orang misterius itu melepaskan pistol dan pisau dari genggamannya, dan terjatuh ke lantai. Terlihat jelas pada video tersebut.
Para polisi masih menyelidiki kasus tersebut, akun pemilik video tersebut tidak bisa menjadi petunjuk kasus itu. Pihak sekolah mulai khawatir jika image sekolah menjadi tercoreng karena video tersebut. Para polisi sangat rajin mengunjungi sekolah, dan tidak pernah bosan mengintrogasi murid maupun guru.
Bu Era, selaku kepala sekolah tetap bersikeras untuk tidak meliburkan para murid karena dia menganggap bahwa pasti ada salah satu murid yang mengetahui tragedi ini, namun menutup mulutnya.
Murid-murid tidak diperbolehkan memiliki aktivitas apa pun di sekolah selain menelantarkan diri di koridor, atau pun kelas. Banyak pula murid yang sudah mengundurkan diri dari sekolah karena malu. Pihak sekolah hanya bisa berjuang keras membantu polisi untuk menyelidiki kasus tersebut.
***
Rena duduk dalam kesunyian di perpustakaan yang sudah jarang berpenghuni, kecuali jika ada murid yang ingin mengembalikan buku paket pinjaman. Meski cahaya lampu bersinar remang-remang, namun tidak membuat dia malas ke perpustakaan. Sosok Aurel muncul dari balik pintu perpustakaan yang membuyarkan konsentrasi Rena.
“Ren! Ren!” Sahut Aurel antusias. Rena belum menjawab apa-apa sampai akhirnya Aurel berbicara lagi, “Gue udah dapat hasil wawancara ke salah satu polisi!” Rena mengernyitkan dahi sesaat yang berarti masih tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Rena. “Ini, loh! Mm..n. materi untuk nulis artikel di blog gue.”
“Apa? Artikel? Polisi? Memangnya lo wawancarain polisi tentang apa?” tanya Rena penasaran.
“Tentang... tentang sekolah kita lah, yang lagi dilanda kesengsaraan.”
“Lo mau nulis artikel tentang masalah yang lagi menggebor-gebor sekolah kita? Lo gila,” jawab Rena dengan kesal. Wajahnya mulai diliputi kekecewaan.
“Loh, memangnya salah, ya? Gue itu, kan, calon jurnalis. Yang berarti gue harus nyari berita yang memang lagi menggebor-gebor di masyarakat. Tetapi, demi mewujudkan mimpi gue, gue harus memulai practice-nya dari ruang lingkup yang paling kecil dulu. Kan, lo sendiri yang bilang itu ke gue?” Aurel tidak tahan mengeluarkan semua kalimat itu untuk balik menjengkelkan Rena.
“Lo nggak mikir, ya? Ini sekolah lo, Rel. Tempat lo mencari ilmu! Masa lo mem-publish tulisan yang isinya cuma kejelekkan-kejelekkan sekolah lo sendiri!? Bukan seperti ini caranya lo melatih kemampuan lo demi meraih cita-cita lo!” Logat bahasa Rena mulai menyeramkan, dia hanya tidak ingin temannya bertindak jahat.
“Nyatanya sekolah kita memang udah jelek, Ren. Lo mau sampai kapan membela sekolah ini terus? Polisi setiap hari berkeliaran, guru-guru sulit untuk mengajar, murid-murid simpang siur nggak jelas—“
“Dan lo menambah masa-masa sulit sekolah ini. Gue cukup tau aja sebagai teman, Rel, kalau ternyata lo seperti ini.” Rena pergi meninggalkan Aurel di perpustakaan. Aurel menatap hasil wawancaranya terhadap polisi, lalu menitikkan air mata dengan kalem.
***
Rena menemukan Bu Yumna yang kebetulan sedang berada di UKS hendak mencari-cari sesuatu di kotak obat.. Rena tidak segan menyapa Bu Yumna, “Bu Yumna.”
Bu Yumna membalik wajah ke arah Rena yang masih berdiri di depan pintu UKS. “Rena.”
“Ibu sedang mencari apa?”
“Ibu sedang mencari betadine, di mana ya?”
“Oh, ini, Bu...” Rena mengeluarkan betadine dari tasnya. “Kemarin ada teman saya yang jatuh di lapangan, akhirnya saya meminjam betadine ini di UKS, dan baru sempat dikembaliin sekarang.” Rena memberikan betadine tersebut kepada Bu Yumna.
“Terimakasih, Rena.” Bu Yumna meneteskan betadine tersebut secukupnya pada punggung kaki sebelah kanannya yang kelihatan biru membengkak. Rena memerhatikan kaki Bu Yumna dengan seksama.
“Kaki Ibu kenapa bisa sampai biru seperti itu?” tanya Rena turut kasihan kepada Bu Yumna.
“Ini, mm... Cuma... kepentok meja aja, kok.” Bu Yumna menaruh betadinenya kembali pada kotak obat. Lalu segera berpamitan kepada Rena. “Ibu duluan ya, Ren.”
Timbul rasa curiga pada diri Rena, dia teringat sesuatu yang menjadi pertanyaan besar di benaknya selama ini. Dia turut menghampiri Bu Yumna yang masih mengenakan alas kakinya dengan perlahan di depan pintu UKS. Rena memerhatikan sepasang alas kaki tersebut dengan teliti.
Ketika Bu Yumna sudah pergi, Rena segera membuka laptopnya dan memutar kembali video tragedi pembunuhan itu. Dia mempercepat durasinya, lalu berhenti pada bagian orang misterius itu saat kakinya terinjak oleh kaki Leo yang terlapis sepatu. Dia sempat memutar bagian itu beberapa kali hingga dia tersadar sesuatu. Orang misterius itu hanya memakai sendal persis dengan sendal Bu Yumna, berbahan plastik dan berwarna merah. Sudah jelas mengapa kaki Bu Yumna bisa berubah warna menjadi biru seperti itu. Rena tersontak bukan main. Dia mencoba untuk mengocok otaknya sekali lagi untuk memastikan jika sendal itu benar-benar mirip dengan sendal Bu Yumna. Apakah ini hanya sekedar kebetulan belaka, pikir Rena. Jika orang misterius itu adalah orang yang sama dengan Bu Yumna, maka Bu Yumna lah pelaku pembunuhan tersebut. Tapi, mana mungkin ada seorang guru yang tega membunuh muridnya sendiri.
Rena bukanlah murid yang bodoh, dia adalah murid teladan yang mendapat grade tinggi dalam nilai akademis. Kesimpulan terakhir yang dia ambil kali ini adalah dia yakin bahwa Bu Yumna adalah pelaku pembunuhan tersebut.
***
Aurel berlari kencang sepanjang koridor saat melihat Rena. Dia menerjang Rena dengan pelukannya yang sangat erat. Dia merasa menyesal karena sudah  berkata seperti itu di hadapan seorang Rena, murid teladan yang menjadi panutan banyak guru.
“Maafin gue, Ren.”
“Lo udah gue maafin, kok, Rel.”
“Kita masih temenan,kan?” Mata Aurel tergenang air mata yang berkaca-kaca.
“Pasti! Sekarang sebagai teman, lo harus bantuin gue.” Aurel menghapus air matanya. Dia melihat keseriusan pada mimik wajah Rena, dia langsung mengerti ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa, Ren?”
“Bu Yumna adalah pelaku pembunuhan itu.”
Rena menceritakan soal pertemuannya dengan Bu Yumna di UKS. Aurel tidak percaya dengan kesimpulan Rena yang sangat jaaht seperti ini. Menuduh seorang guru sebagai seorang pelaku pembunuhan bukanlah hal yang pantas dipercayai. Apalagi mengingat bahwa Bu Yumna adalah guru yang sangat bijaksana menguraikan kata-kata di hadapan murid-muridnya.
“Gue nggak tau, apakah gue harus percaya sama lo atau enggak, Ren. Tetapi, penjelasan lo memang masuk akal. Apalagi mengingat bahwa 3 bulan lalu, Tommy meninggal, dan Bu Yumna lebih memilih menutup mulut perihal penyebab Tommy meninggal. Tidak ada satu pun orang tau. Sejak itu Bu Yumna menjadi sosok mayat hidup, menyeramkan dengan wajah pucatnya.”
“Tommy... anak tunggal dari Bu Yumna. Dia, kan, dulu—“
***
Rio, Rezha, dan Leo menarik Tommy ke belakang halaman sekolah saat jam pulang sekolah sudah tiba. Mereka merebut tas Tommy, lalu mengobrak-ngabrik isi tasnya. Sementara Rezha dan Rio mengeluarkan semua isi dari tas Tommy, Leo memalak Tommy dengan paksa. Tommy menggelengkan kepalanya.
“Oh, lo mulai berani sama kita-kita?” Tommy melangkah mundur untuk tetap menjaga jarak dari kawanan itu. “Guys, ambil senjata kita.” Rio dan Rezha mengambil plastik dari tas milik Rio. Plastik itu berisi 5 ekor lebah yang sudah mati. Rio dan Rezha memberikan plastik itu kepada Leo, seakan mereka sudah mengerti bahwa tugas selanjutnya adalah memegang kedua lengan Tommy, sedangkan Leo menyergap paksa mulutnya untuk memakan satu persatu dari lebah mati itu. “Dasar cacat!” gertak Leo .
Tiga kawanan remaja pengganggu tertawa selepasnya di depan remaja kutu buku yang tidak sebanding kekuatannya dengan kekuatan tiga remaja yang menyatu. Tommy memberontak untuk bisa lepas dari kepungan mereka. Namun, usahanya sia-sia saja sampai mereka puas mengintimidasi diri malangnya itu.
Seluruh pertunjukkan jahat itu berhenti ketika Rena datang. Rena melihat kejadian itu walau tidak seluruhnya, tetapi dia mengerti apa yang sepintas dia lihat. Rena memelototi kawanan penggangung dan memaksa mereka pergi meninggalkan Tommy sesaat sesudah mereka mendorong tubuh Tommy hingga jatuh ke tanah. Kawanan itu merasa puas atas perbuatan mereka.
“Tom, lo nggak apa-apa, kan?” Rena membantu Tommy untuk berdiri. Tommy tidak berbicara apa-apa. Dia melempar dirinya untuk membereskan barang-barangnya yang berserakan di tanah, Rena pun membantunya.
Tommy beranjak pergi dengan wajah malang dan lugunya. Rena menatap kerpergian Tommy dengan perasaan salut sekaligus prihatin. Salut karena mengetahui bahwa masih ada manusia yang tetap memperisai dirinya dengan diam. Dalam diam, Tommy menunjukkan kepasrahan.
***
“Kalau begitu, kita harus mendatangi Bu Yumna, Ren.” Tanpa pikir panjang, Rena mengangguk setuju.
Sore itu juga, Rena dan Aurel menghampiri kediaman rumah Bu Yumna yang sederhana, namun luas. Rena tahu betul bahwa rumah itu memang selalu sepi karena hanya Tommy dan Bu Yumna lah yang menempati rumah itu. Entah apa yang membuat mereka hanya tinggal berdua saja.
Rena menekan bel rumah Bu Yumna dengan tangan gemeteran. Dia menekan belnya sekali lagi, tapi tetap saja orang yang mereka cari tidak hendak membukakan pintu. Lalu, mereka memutuskan untuk mendorong pintu itu, ternyata tidak terkunci. Di ruangan depan ruma itu terlihat gelap dan hening. Rena menyahuti Bu Yumna. Tidak ada yang menjawab. Mereka melangkahkan kaki ke ruang makan, tidak ada juga. Terakhir mereka sampai di kamar tidur. Di sanalah Bu Yumna, berada dalam posisi kaki tubuh berdiri di atas bangku dan leher terkalungi tali tambang yang masih longgar.
“Kalian ngapain di sini? Saya tahu kalian pasti dapat memecahkan misteri ini. Tapi, saya benar-benar tidak butuh bantuan dari kalian.” Wajah Bu Yumna penuh dengan kecemasan, kusut dalam penyesalan dosa. Dia benar-benar layaknya mayat hidup.
“Bu... Ibu tidak harus bertindak bodoh seperti ini, Bu. Semuanya akan baik-baik saja, percaya sama kita, ya,” jelas Rena kepada Bu Yumna memohon untuk dia turun dari kursi. Aurel tidak bisa menahan bendungan air matanya, dia tidak kuat melihat pertunjukkan seperti ini.
“Apa yang akan kalian lakukan jika kalian adalah seorang ibu dari anak cacat yang sudah dipermainkan oleh teman-teman satu sekolahnya hingga memilih untuk bunuh diri karena sudah lelah!? Atau...seorang istri dari suami yang telah selingkuh pada perempuan lain!? Hidup saya tidak pernah menjadi indah.”
“Bu, bukan seperti ini caranya menghadapi hidup. Lebih baik sekarang Ibu turun, ya. Kita akan membicarakan hal ini baik-baik.”
“Saya sudah membunuh kawanan itu, ditambah satu orang rekan dari temanmu itu, Ren. Rekan yang sudah berupaya merekam tragedi itu. Dia hampir berhasil menguntit mereka bertiga.”
“Rekan yang menguntit?” Rena memalingkan wajahnya pada Aurel.
“Gue minta maaf, Ren. Tetapi, gue bersumpah bukan gue yang menyebar videonya.”
“Saya lah yang menyebar sekaligus menghilangkan suara dari video itu. Saya ingin saat saya mati, mereka akan mengenang saya dan anak saya. Agar mereka sadar bahwa yang baik pun bisa menjadi jahat. Tidakkan kalian takut kepada saya? Seoarang pembunuh?”
“Semua orang pasti berbuat jahat, semua orang pasti berbuat salah. Ibu harus menanggung risiko itu di tempat Ibu membuat keonaran tersebut, yaitu di dunia ini.”
Bu Yumna menangis sangat deras. Rena masih berusaha keras membujuknya untuk turun dari kursi. Perlahan Bu Yumna pun sadar. Dia memijakkan salah satu kakinya di lantai, lalu berlanjut ke kaki satunya. Rena merasa tenang melihatnya. Dia memeluk Bu Yumna yang sudah terlemas ke lantai, begitu pun juga dengan Aurel yang juga mengadahkan kepala di salah satu pundak Bu Yumna.

Comments

Popular Posts