Tancapkan Sang Merah Putih Supaya Berkibar




Aku sudah sampai. Sungguh sulit dipercaya. Aku telah sampai di tempat ini, tempat yang asing, tempat yang berbeda dari biasanya aku diami. Matahari masih bersinar cerah, terik panas bukan lagi menjadi hal yang menyusahkan. Lautan yang membentang menyerbu pasir dengan staminanya yang menggelegar dan batu karang berlumut hijau menjadi objek yang mewarnai laut. Aku memijakkan kakiku di atas pasir putih ini, dan sadar betapa indahnya pemandangan sekitar. Aku masih berpikir, bahwa ini adalah mimpi, sampai di tempat seperti ini adalah suatu  keajaiban. Seakan-akan petualangan sudah ada di ujung pandang penglihatan.

Di sini, aku menemui orang-orang hebat. Orang-orang yang masih mau menyusun simpul senyum menepis pipi. Mereka sangat baik. Apalagi saat disambut oleh salah seorang penduduk yang bersedia membagi ruang tempat tinggalnya kepadaku.
Banyak sekali bangunan-bangunan mungil di tempat ini—rumah-rumah berjejer memadati desa—yang masih dengan kayu-kayu kuat hampir tergerogoti oleh usia. Belum lagi, anak-anak kecil yang berkeliaran melintasi setiap jalan setapak, dan beradu nyali di laut yang megah membiru. Mereka semua bisa berenang, tidak seperti aku yang sudah gede begini, masih mencuitkan nyali untuk menaklukkan lautan. Perjuangan mereka juga patut aku saluti, seperti menempuh puluhan kilometer menyusuri jalanan yang suram demi menuntut ilmu untuk masa depan yang menanti. Aku bukan apa-apa di tempat ini, cuma sekedar kembara yang sedang mengunjungi tempat asing sebagai tujuan wisata.
Oh, ya... tempat yang sedang aku kunjungi saat ini bernama Mantar, Sumbawa Barat. Lebih tepatnya di pulau Nusa Tenggara Barat, tentu saja Indonesia. Hidup di kota berbeda jauh dari berhayat diri di sini—terlalu banyak fasilitas dan hiburan yang membuatku terlena. Akan tetapi, di sini..., semuanya terasa seimbang—alam adalah bagian dari panutan aktivias hari demi hari, dan manusia berupa tenaga yang hidup tanpa baterai.
Hari masih gelap, tetapi waktu sudah menunjukan pukul 5 pagi. Pak Eza, kepala dari keluarga pemilik rumah ini, rupanya sudah tidak ada di rumah. Aku menyadari, bahwa dia sudah pasti pergi kembali merombak lautan. Lalu, aku berpamitan kepada Ibu Rega, bukan... bukan pamitan untuk pulang, melainkan pergi ke puncak Tambora yang telah aku mimpikan sejak lama..
Tidak sabar aku ingin melakukan misiku, suatu tujuan yang menuntunku untuk bisa sampai kemari. Aku meminjam sepeda butut milik putra Pak Eza, yakni Lui.
Pada akhirnya, aku sudah berada di puncak Tambora sambil menenteng barang yang sudah aku siapkan dari rumah. Sebentar lagi, matahari menampakan wujudnya; sinarnya mulai terlihat menyilaukan. Gelap akan segera menghilang, lalu beralih pada pagi yang cerah.
Kakek... inilah saatnya, Kek. Saatnya aku mendambakan mimpi Kakek yang belum terlaksana..
***
Salah seorang panitia sudah siap untuk meniupkan peluitnya untuk memberi aba-aba jika perlombaan sudah dimulai. Aku mengeratkan kedua kepalan tanganku pada bagian atas karung; aku menajamkan pandanganku kepada garis FINISH yang masih jauh dari tempat aku berdiri sekarang. PRITTTTTT!!!! Bunyi peluit mengentakan kakiku untuk langsung melaju secepat mungkin. Kakiku terus-terusan meloncat-loncat ke depan dengan gigihnya. Nyali optimisku masih berkobar untuk menang. Kakek bersorak-sorai ke arahku dengan sangat kencang di batas garis penonton; dia berdiri paling depan menggunakan baju merah, celana pendek berwarna putih, dan topi flatcap kesukaannya bermode jadul..
Keringatku menjulur di tepis pipiku, seluruh peserta sudah aku lewati. Aku memimpin jalan saat ini. Aku yakin aku akan menang dan BUSHHHHHH!! Aku terjatuh di atas garis finish; semua orang terpaku melihatku. Lalu, aku berusaha untuk berdiri pelan-pelan sambil memegangi lututku yang luka, kemudian mengangkat kedua tanganku dengan bangga menyadari, bahwa aku sudah menang. Suara nyaring gendang dan terompet membaluti area perlombaan seraya menyambut kemenangan yang aku raih. Kakek berlari menghampiriku, lalu mengangkatku ke atas pundaknya tinggi-tinggi. Senyumnya sangat lepas, tidak ada perasaan skeptis pada dirinya karena gigi-gigi yang berjarang sangat kelihatan.
“Kek,” sapaku pada Kakek saat kita sedang bersantai di ruang keluarga yang dilengkapi dengan perapian.
“Hmm?” Kakek masih serius dengan korannya.
“Kakek senang nggak, aku bisa menang?”
“Tentu saja Kakek senang. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Nggak tahu. Terimakasih, ya, Kakek sudah dukung aku. Kakek itu adalah Kakek yang paling kerennnnn sedunia.” Aku mendekati kakek, lalu duduk di sampingnya.
Kakek tertawa kecil mendengarku berkata seperti itu. Dia membuka kacamata bacanya, dan merangkul pundakku untuk bersandar di sampingnya. “Dan, kamu.., cucu yang paling nakal sedunia.”
“Loh, kok, nakal sih, Kek?”
“Karena, kamu sudah mampu merebut kebiasaan Kakek.”
“Kebiasaan Kakek? Maksudnya apa, sih, Kek?”
“Kamu itu masih kecil, tapi sudah bisa menggantikan posisi Kakek yang kebiasaan menjadi pemenang.”
“Memangnya Kakek menang dalam hal apa?”
“Dulu itu..., Kakek menjelajahi seluruh penjuru negeri ini. Mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua—naik helikopter, naik perahu kayu, kuda terbang—“
“Hah? Kuda terbang?”
“Tidak, Kakek hanya becanda.”
“Berarti Kakek udah kemana-mana dong? Ih..., aku juga mau dong, Kek.”
“Suatu hari, mungkin.”
“Hmmm…, aku masih kecil banget.”
“Kamu adalah pahlawan kecil Kakek.”
“Aku, kan, hebat.”
“Iya, Kakek tahu. Kakek memang sudah pergi hampir ke seluruh daerah, tetapi... ada satu hal yang belum Kakek lakukan sampai sekarang.”
“Apa tuh, Kek?”
Tiba-tiba saja Kakek terdiam, wajahnya pucat, Dia memegang dadanya yang terasa sakit. Napasnya tidak karuan, mulutnya terbuka lebar untuk mencari udara sebagai bantuan untuk pernapasannya. Aku panic; aku menangis di sampingnya; aku takut dan bingung. Maka, aku berlari ke lantai bawah untuk memanggil Mama. Mama langsung berlari secepat mungkin untuk menghampiri Kakek. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menelepon ambulance.
Kakek dimasukkan ke bagian belakang badan mobil ambulance. Aku masih menangis layaknya anak kecil jika melihat sesuatu yang menyeramkan. Mama dan aku segera pergi ke rumah sakit juga untuk menemui Kakek.
Mama menangis lemas sambil duduk di ruang tunggu. Aku tidak berkutik sedikit pun. Aku nggak tahu harus ngapain. Aku hanya melihat Mama yang terus-terusan menangis.
Tidak lama, Papa datang. Kemeja lengan panjangnya sudah berantakan. Kalau tidak sengaja dengar pembicaraan Mama dan Papa di telepon tadi, katanya Papa terpaksa meninggalkan rapat penting di kantornya demi mengunjungi Kakek. Mama yang langsung sadar akan kehadiran Papa, langsung memeluk Papa dengan eratnya. Papa menepuk-nepuk punggung Mama dengan pelan.
Seorang dokter keluar dari balik pintu tempat Kakek dimasukkan tadi. Pak Dokter tidak berkata apa-apa. Dia hanya mempersilakan kami untuk melihat sendiri keadaan Kakek di dalam.
Aku, Mama, dan Papa masuk ke ruangan yang berbau obat-obatamn tersebut. Di sana, terlihat Kakek sedang berbaring tidak berdaya di aatas tempat tidur yang di kanan-kirinya terdapat masin-masin yang berbunyi, juga terdapat selang yang memasuki kedua lubang hidungnya. Syukurlah, dia masih sadar. Aku yakin, kok. Kakek kuat.
Mama menempatkan diri di samping Kakek, lalu menggenggam tangan kanan Kakek.
“Maafin Tara, Yah. Maafin.” Aku tidak mengerti kenapa Mama minta maaf kepada Kakek. Memangnya Mama melakukan kesalahan apa kepada Kakek?
“Tidak ada yang salah di sini. Mungkin memang sudah tiba waktunya untuk Ayah mengistirahatkan diri.” Tangis Mama makin kencang, Papa berusaha untuk menenangkan Mama, namun sia-sia saja sepertinya. Kemudian, Mama pergi ke luar. Papa menyusulnya dari belakang. Sekarang, hanya ada aku dan Kakek di ruangan ini.
“Halo, Pahlawan kecil Kakek,” sapa Kakek kepadaku bersama senyum tipisnya.
“Kakek, kok, Mama masih aja nangis, ya? Padahal, kan, Kakek udah nggak kenapa-kenapa. Mata Kakek masih melek tuh, buktinya.”
“Mama kamu cuma masih sedih saja, nanti juga berhenti sendiri, kok, nangisnya.”
“Tadi Kakek bilang, Kakek mau istirahat. Maksudnya apa sih, Kek?” Kakek tersenyum, lalu megusap pelan pipi sebelan kiriku.
“Kakek mau istirahat karena Kakek sudah lelah mengembara negeri ini lagi. Sekarang, giliran kamu untuk meneruskan jejak Kakek.”
“Loh, kok, aku sih, Kek? Aku, kan, masih kecil. Mana bisa jalan-jalan sendirian kemana-mana.”
“Kakek nggak bilang harus sekarang, tapi nanti. Saat waktunya tiba.”
“Kakek mau aku ngapain?”
“Kakek ingin kamu menghendaki mimpi Kakek yang belum sempat Kakek wujudkan.”
***
Untuk Kakek yang sudah ada di surga. Tepat pada tanggal 17 Agustus di atas puncak Tambora, aku berhasil mewujudkan mimpi Kakek. Aku berseru sekencang mungkin melawan angin, terendam bersama sejuknya udara. Awan yang menggelibat langit, matahari memancarkan sinar hangatnya, dan Ibu Pertiwi menjadi saksi keberadaanku saat ini, Kek. Kakek benar, negeri ini terlalu indah. Begitu indah hingga tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Kakek juga benar, penyesalan tidak akan pernah mendatangiku karena aku telah menjadi kembara negeri ini. Aku beruntung mempunyai kesempatan seperti ini yang belum tentu orang lain miliki juga. Aku berjanji akan menjaganya seperti Kakek yang juga telah menjaganya.
Semoga Kakek bahagia karena melihat pemandangan ini dari atas sana, ya.

Comments

Popular Posts