Kedai Susu Pak Eko



Hujan mengguyur jalanan yang menyeruak udara panas menjadi dingin. Ella turun berlari dari mikrolet. Ia sampai pada sebuah kedai susu langganannya. Ia menoleh pada jam tangannya, pukul 3 sore. Ella mengendus napas, lalu memeriksa handphone untuk menghubungi Iwan. Tidak ada jawaban. Sang Produsen kedai mempersilakan Ella untuk duduk. “Terima kasih, ya, Pak,” ujarnya kepada Pak Eko.

“Santai aja, Neng. Tumben si Neng sendirian. Cowoknya kemana, Neng?” Pak Eko menyeduh susu hangat sambil berbincang dengan Ella.
“Lagi di perjalanan, Pak.” Pak Eko memberikan susu kepada Ella. “Eh, si Bapak tahu aja. Makasih, ya, Pak.”
“Susu hangat untuk seseorang yang sedang jatuh cinta,” ujar Pak Eko. Ella menikmati susu putih hangat tersebut dengan nikmat. Susu adalah kesukaannya. Kedai ini adalah tempat singgah ia bersama Iwan. Mereka memiliki kebiasaan serupa, yaitu menyeduh susu putih panas menggunakan sendok plastik panjang mungil. Sensasi hangat yang dikeluarkan dari susu selalu menghancurkan dinginnya angin dari hujan. Ella sungguh menyukainya, begitu pula dengan Iwan. Ramah tamah dari Pak Eko, sang Produsen, selalu meningkatkan kenyamanan mereka berdua.

Pak Eko adalah seorang wirausahawan lajang. Sang Istri telah meninggalkannya sejak lama. Sedangkan anak-anaknya juga telah berjalan pada hidup masing-masing. Pria yang sudah berumur paruh abad tersebut selalu giat mengembangkan usahanya. Sebuah warung dengan tiang kayu memiliki dua lampu sederhana yang tergantung pada atap . Kedai yang hanya menyediakan 2 meja untuk tiga orang masing-masingnya, dan stan tempat Pak Eko menyajikan menu susu.
Kedai begitu sepi saat ini. Padahal, biasanya selalu ramai oleh pengunjung setia. Sama seperti pengunjung lainnya, Ella dan Iwan lebih sering membawa pesanan pulang.
Pak Eko sedang sibuk-sibuknya membersihkan stan. Ella memerhatikannya sesekali. “Si Neng kemana aja? Baru sekarang lagi ke sini,” tanya Pak Eko penasaran.
“Oh, mm..., iya nih, Pak. Lagi sibuk banget,” jelas Ella.
“Bisa tolong bantu saya?”
“Bantu apa, Pak?” Ella menghampiri Pak Eko.
“Tolong buatkan saya susu, ya. Saya ingin mengambil es baloknya dulu di supermarket sebrang jalan.”
“Bapak ingin minum susu dingin di cuaca seperti ini?”
“Ah, pokoknya buatkan saja susunya”
“Dengan senang hati.”
Pak Eko tersenyum, lalu meninggalkan Ella. Ella segera menuruti perintah Pak Eko. Ia menuang susu bubuk dari toples bening. Menyeduh air hangat, lalu mengaduknya. Aroma susu mencuat ke hidung Ella. Aroma khas susu murni yang sudah ia hafal. Kemudian suara sirine menyeru.

Keributan orang-orang menarik perhatian Ella. Beberapa orang berteriak minta tolong. Orang-orang itu juga mengkerumuni sesuatu. Ella belum bisa melihat apa itu. Sekitarnya kelimpungan akan tragedi tersebut. Jalanan seketika macet. Ella melihat ada dua orang pria yang sepertinya sedang berargumen. Mereka saling menyalahkan dan beberapa kali menunjuk ke arah mobil sedan biru di dekat kerumunan. Bagian depan mobil itu retak. Benturannya sangat keras. Sang korban terpelanting akibat ugal-ugalan kendaraan mobil sedan biru. Tidak lama Sebuah mobil ambulance datang. Mayat buru-buru digotong ke mobil ambulance. Ella sadar—mayat itu adalah Pak Eko. Ia adalah korban. Ella langsung menjerit dalam tangisnya.
Iwan mendekap Ella yang terkapar tak sadarkan diri. Ella membuka mata, yang dilihatnya sekarang adalah tempat yang sama. Iwan mengelus pelan pipi Ella. Ella langsung teringat pada Pak Eko. Dia menanyakan keberadaan Pak Eko. Ella kembali pada kepanikannya.
Iwan bingung dengan omongan Ella. Dia mencoba menenangkannya. “La, maafin aku, ya. Aku lupa kasih tahu kamu kalau sebenarnya Pak Eko itu sudah tiada sejak dua minggu lalu. Aku juga baru tahu kabar ini dari teman tadi. Handphone aku mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.”
Ella tidak percaya. Rasanya baru 5 menit dia ditinggalkan oleh Pak Eko. Dia baru saja selesai berbincang dengan Pak Eko. “Wan, tadi Pak Eko ada di sini....—Susu!—Dia menyuruhku untuk membuat susu untuknya selagi dia mencari es batu.”
Ella mengambil gelas susu yang disiapkannya tadi. Tidak ada yang berubah, tetapi dia melihat sudah ada empat buah es batu di dalamnya. Ella menyadari sesuatu. Es batu dingin seperti... mayat. Setelah itu, dia memeriksa gelas yang satunya.
“Wan, kamu yang minum susunya?”
“Ya... ada yang salah?” dan susu hangat seperti cinta. “Aku salah, ya, sudah minum susunya? Kamu pesan susunya di mana? Atau bawa sendiri dari rumah? Nggak mungkin pesan di toko yang udah tutup gini, kan?”
Ella menyungging senyum, lalu berkata, “Tidak perlu memesan lagi, hanya tinggal menyajikannya sendiri.”

Comments

Popular Posts