Permintaan Sosok Bersayap


Marlina rindu Mama. Tepat setengah tahun Mama telah pergi. Marlina kesepian tanpa Mama. Sedu dan sedan seakan-akan menggerogoti tubuhnya saat ini. Marlina mengecup foto Mama sebelum tidur, lalu menaruhnya dalam laci. Marlina terjaga. Sebuah getaran muncul. Getaran bergerak semakin kencang. Ruangan tergertak. Seluruh furniture tergoncang bersama kepanikan Marlina.

Terdengar jeritan orang-orang yang lalang kabut di koridor. Marlina segera menyadari hal ini. Dia bangkit dari ranjang. Tidak lupa baginya untuk mengambil foto Mama. Marlina melangkah ke pintu utama. Saat pintu itu dibuka, dilihatnya sudah banyak orang berlarian ke tangga. Marlina menyimpan foto Mama di saku piyama. Dia berlari ke kamar 201, yang merupakan kamar milik Afra. 
Marlina menggedor pintu kamar Afra. Tidak ada jawaban. Dia masih berusaha keras untuk terus menggedor pintu itu. Marlina ketakutan. Dia tidak akan meninggalkan Afra, sahabat dia satu-satunya. Marlina akan merasa lega jika pintu itu tidak terkunci. Suasana semakin mencekam. Lampu koridor berkelap-kelip meninggalkan kesan seram. Marlina menjerit memanggil Afra. Serpihan kayu mulai bertaburan dari atap. Lantai semakin mengentak keseimbangan tubuh Marlina.

Ia menjerit-jerit. Afra masih juga belum membuka pintunya. Marlina tidak putus asa. Dia terpaksa mendobrak pintu yang menjadi penghalangnya. Ruangannya gelap. Berbagai perabot ruang tamu tidak keruan letaknya . Marlina tidak peduli. Perlahan dia melangkah ke kamar Afra.Yang ditemukannya adalah deretan lilin yang menyala pada para-para kayu tergantung di dinding. Marlina memerhatikan foto demi foto yang menempel di dekat lilin-lilin itu.

Foto pertama adalah Kiara Elanor. Ia telah meninggal karena kebakaran di rumahnya sendiri. Kini orangtuanya sudah berpisah. Marlina mengenali keluarga Elanor karena keluarga itu adalah tetangga Marlina saat ia masih SMP.

Foto kedua adalah... Mama.

Dan, di samping foto Mama, terdapat bingkai kosong. Marlina tidak mengerti. Semua ini membingungkan. Marlina mesti mencari tahu mengapa. Marlina tidak pernah tahu Afra menyimpan foto Mama dan Kiara. Dua orang yang Marlina kenal, tetapi tidak dikenal oleh Afra.

Marlina kembali ke ruang depan. Marlina terperanjat. Gempa seketika reda. Ruangan asing memiliki dinding yang penuh lukisan portrait wajah berukuran medium—ujung kepala hingga pinggang. Masing-masing belakang tubuh memiliki sayap. Marlina memerhatikan beberapa wajah di lukisannya.

Salah satunya yang ia kenali,  yaitu Dr.Hebikus Pertalius. Dia adalah ilmuwan terkenal di era 1990-an. Marlina mengetahuinya dari berita-berita yang tersiar di media massa. Kala itu, orang-orang sedang gempar dengan kematian Dr. Hebikus yang meninggal karena kanker pada tahun 1995.

Marlina memandangi lukisan tersebut hingga ke sudut kanan bawahnya. Di situ, tertera tulisan tangan serta tanda tangan dari Afra. Tinta berwarna emas bertuliskan, Kamis, 15 September 1995. Tinta berwarna merah bertuliskan, 16 September 1995.

"Yang  emas menunjukkan waktu aku melukisnya. Sedangkan yang merah menunjukkan waktu dia tiada." Seseorang di tengah ruangan berseru. Itu Afra.
"Afra! ruangan apa ini dan kenapa--"
"Mereka semua datang di mimpi. Mereka yang memintanya kepadaku, termasuk Mamanya Marlina. Mereka semua menjeritkan permohonan masing -masing"

Afra berada di tengah ruangan bersama kanvas di dekatnya. Permukaan lantai di dekatnya terbubuhi oleh coretan tinta yang mengering. Afra mulai menangis. Dadanya sesak. Penyesalan menggerogoti sekujur tubuhnya.

Afra menuntun Marlina ke sisi dinding lainnya. Ia mengenali wajah pada lukisan di dinding tersebut. Itu adalah wajah Mama. Di sudut kanan bawah terdapat tulisan dengan tinta emas dan merah. Kedua tinta itu menggoreskan waktu yang sama, yaitu 20 Juli 2012. Tanggal kematian Mama.

"Tidak peduli kapan lukisan ini akan selesai. Ajal akan menghampiri setelahnya, cepat atau pun lambat. Tanggalnya memang sama, tapi jamnya berbeda."

Afra menunjuk kalimat emas. "Perlukisan selesai di pagi hari." Jari telunjuknya pindah ke kalimat merah. "Lalu, tiada di sore hari."
"Kamu mengetahui—“
"Maafkan aku Marlina karena tidak bisa menjadi teman yang baik. Aku tidak bisa menjadi normal. Mama kamu yang memintanya kepadaku."

Afra menarik Marlina ke dekat kanvas. Ia memutar easel kanvas menghadap Marlina. Lukisan yang hampir jadi. Wajah itu familiar walaupun hanya dengan perpaduan warna hitam putih.


Di sudut bawah kanannya sudah tertera hari dan tanggal yang baru hanya dengan tinta emas, yaitu Senin, 20 Januari 2013. Gempa kembali menggoncang. Marlina melesat pergi dengan rasa takut sekaligus kecewa. Afra membaur warna merah untuk final dari karya lukisnya.

English version

Comments

Popular Posts