Law of Writing
Ruang diskotik ricuh oleh aksi heboh para pemuda. Lampu sorot warna-warni memikat suasana ramai. Musik disetel begitu kencangnya memaksaku untuk nimbrung dalam suasana seperti ini. Keriuhan pemuda nakal bergulat di bawah tuntunan DJ. Semua orang terhanyut dalam sensasi minuman keras. Bergoyang, berlompat, bernyanyi, dan bersorak. Memori itu terekam jelas dalam benakku.
“Hey, nama lo siapa?” Lelaki di dekatku tidak terlihat bersemangat sejak tadi aku berisik di dekatnya. Maka, kuputuskan untuk menyapa.
“Andi,” jawabnya, lalu tersenyum tipis kepadaku.
“Ayo! Dance bareng.” Dia tidak menjawab. Hanya tersenyum, menggeleng, lalu pergi dari kerumunan. Entah mengapa, aku tidak tinggal diam melihatnya pergi. “Eh-eh! Mau kemana? Musiknya kan, belum selesai!” Aku sedikit memaksanya untuk tetap tinggal. Dia membingkai senyum lagi, kemudian mengangguk. Sejak pertemuan itu kami menjadi teman.
***
Warung makan atau seringkali disebut burjo oleh teman-teman kampus, adalah tempat di mana kami sering nangkring. Urusan makan sih, cari yang murah-murah. Maklumlah, rata-rata kan, anak kosan. Setengah sisiku tersipu mengingat masa-masa muda tersebut. Yes! Kali ini, aku akan bertemu dengan mereka-mereka lagi. Tak terasa kami telah membanting setir pada jalan masing-masing.
Juno yang super tomboy menyambutku dengan salam gaul. Begitu pun juga dengan yang lainnya. Semuanya asik bercerita mengenai diri masing-masing. Aku juga ikut nimbrung. Sesekali ikut ledek-ledekkan ala anak-anak gaul gitu!
“Eh-eh-eh-eh! Sekarang, giliran Andi yang cerita. Pokoknya kita nggak akan pulang sebelum Andi bersuara. Oke oke!?” Itu adalah Andi. Seperti dulu, hingga sekarang pun dia pelit melepas suaranya. Juno yang paling sering membuat candaan mengenai dirinya. Semua tertawa hebat mendengar lawakan Juno.
“Okay! Mending gue aja yang cerita ya, Ndi! Kalau enggak gini, enggak selesai-selesai nih urusannya. Pengumuman... pengumuman untuk kalian semua, teman-teman! Salah satu dari kita... jreng-jreng-jreng sudah... menjadi... penulis! Applauseuntuk Andi! Whoa!” Semua bersulang untuk Andi. Semua memberi ucapan congratsuntuknya. Andi terlihat bahagia dari tanda senyum semringah pada bibirnya.
“Okay! Mending gue aja yang cerita ya, Ndi! Kalau enggak gini, enggak selesai-selesai nih urusannya. Pengumuman... pengumuman untuk kalian semua, teman-teman! Salah satu dari kita... jreng-jreng-jreng sudah... menjadi... penulis! Applauseuntuk Andi! Whoa!” Semua bersulang untuk Andi. Semua memberi ucapan congratsuntuknya. Andi terlihat bahagia dari tanda senyum semringah pada bibirnya.
Dua jam berlalu bagi kami berkumpul di warung makan penuh nostalgia. Satu persatu dari kami telah beranjak pulang. Andi menghampiriku yang sedang menunggu taksi. “Mau bareng?” suaranya...—akhirnya dia berbicara... kepadaku..., teman... lamanya....
“Mmm, nggak usah deh. Gue udah pesan taksi.” Andi tersenyum, lalu pamit padaku dengan mengangkat telapak tangannya. “Okay, bye!” Dia pergi dengan sepeda motornya.
Ada keengganan dalam diriku melihatnya pergi. Prakata yang belum tersampaikan untuknya. Dia terlihat tidak masalah akan hal itu, namun aku mempermasalahkannya. Tiga tahun yang lalu....
***
Kesamaan yang aku miliki dengan Andi adalah gemar menulis fiksi. Meski begitu, salah satu di antara kami adalah yang lebih baik. Setidaknya aku berpikir begitu. Aku yang merasa terlalu banyak bicara, merasa segan akan kemahiran menulis yang dimiliki Andi. Dia tidak banyak bicara, dia hanya berbicara melalui kata-kata. Aku selalu takjub membaca tulisannya. Aku selalu merasa kalah darinya.
Sampai suatu ketika, anak-anak dari club teater meminta kami—anak-anak sastra—untuk dibuatkan naskah. Dari puluhan anggota grup sastra, Andi lah yang dipercaya untuk menulis naskah teater yang tidak mudah.
“Halo, Andi? Lagi ngapain? Cari makan yuk, bete nih di kosan sendirian.”
“Oke.”
“Ke Burjo ya.”
“Oke.”
Aku menghampiri Andi yang sedang sibuk dengan laptop. “Oi, Ndi! Lagi ngapain lo?” Aku melirik layar laptop milik Andi. Deret tulisan terhampar di lembar putih Microsoft Word. Dia menyelesaikan tugasnya secepat kilat.
“Oh! Naskah ya? Sebentar lagi kelar tuh kayaknya. Cepat juga.”
“Oh! Naskah ya? Sebentar lagi kelar tuh kayaknya. Cepat juga.”
“Iya.” Andi menyimpan dokumen naskah itu, kemudian me-shut down laptop. “Tar, saya minta tolong jagain laptop ini ya. Baru ingat, saya mau isi bensin dulu karena nanti balik ke kosan nggak melewati pom bensin.”
“Lah, gue ditinggalin dong?”
“Sebentar aja.”
“Cepetan ya.” Andi mengangguk.
“Huh, dasar Andi! Ngomong kalau seperlunya aja.” Aku menyedup es jeruk pesananku. Mataku melirik laptop Andi. Rasa penasaran keluar. Tanpa bisa menahannya, aku menyalakan laptop Andi dan membuka dokumen naskah teater.
“Huh, dasar Andi! Ngomong kalau seperlunya aja.” Aku menyedup es jeruk pesananku. Mataku melirik laptop Andi. Rasa penasaran keluar. Tanpa bisa menahannya, aku menyalakan laptop Andi dan membuka dokumen naskah teater.
Tulisan Andi memang sulit diduga. Gaya menulis yang tidak pernah biasa. Dengan mudahnya, dia selalu melemparkan ide-ide imajinatif tersebut ke lembar digital. Lama-kelamaan... aku tidak mampu juga melawan rasa iri ini. Aku merasa seperti teman yang jahat.
Aku hanya ingin seperti Andi. Aku juga ingin dipuji mengenai kemampuanku. Kenapa cuma Andi? Dengan gemulai, telapak tanganku menarik cursor untuk perintah ‘menyalin’ dan ‘menghapus’.
Aku hanya ingin seperti Andi. Aku juga ingin dipuji mengenai kemampuanku. Kenapa cuma Andi? Dengan gemulai, telapak tanganku menarik cursor untuk perintah ‘menyalin’ dan ‘menghapus’.
Keesokan harinya, Pimpinan Produksi teater, yaitu Juno, meminta tugas yang diberikannya kepada Andi. Saat itu juga, Andi membuka laptop yang sudah tidak menyimpan dokumen berharga itu. Andi tidak mengucapkan kata maaf. Dia berkata yang sejujurnya. Juno dengan mudah mempercayai perkataan Andi dan memaafkannya. Bagaimana bisa semudah itu?
Ini adalah kesempatanku untuk berbicara ke Juno. Kesempatanku untuk memberikan naskah yang aku akui adalah karyaku. Karya Andi. Bukan karya Andi di mata orang-orang. Juno takjub membaca naskah itu dan langsung menyutradarai pemain teater berdasarkan cerita dari naskah.
Aku senang bisa menjadi orang yang berbakat di mata orang-orang. Aku senang naskah itu ditonton oleh banyak orang. Akan tetapi, tetap saja aku merasa bersalah.
Aku senang bisa menjadi orang yang berbakat di mata orang-orang. Aku senang naskah itu ditonton oleh banyak orang. Akan tetapi, tetap saja aku merasa bersalah.
Dan, aku melakukannya bukan hanya sekali. Tapi, tak terhitung pada kali-kali berikutnya. Aku tahu Andi adalah penulis berbakat. Dia selalu produktif membuat cerita. Aku selalu memanfaatkan sifat produktifnya itu.
Sejak itu, Juno selalu memintaku untuk membuatkan naskah teater lagi dan lagi. Lagi dan lagi pula, aku mengendap-endap membuka laptop Andi, menyalin tulisannya ke flashdisk, dan selesai. Aku memang tidak menghapus tulisan-tulisan itu seperti pertama kali aku melakukannya, namun aku menjiplaknya dan mengaku-ngakuinya di depan orang-orang. Aku memang memalukan.
Sejak itu, Juno selalu memintaku untuk membuatkan naskah teater lagi dan lagi. Lagi dan lagi pula, aku mengendap-endap membuka laptop Andi, menyalin tulisannya ke flashdisk, dan selesai. Aku memang tidak menghapus tulisan-tulisan itu seperti pertama kali aku melakukannya, namun aku menjiplaknya dan mengaku-ngakuinya di depan orang-orang. Aku memang memalukan.
Andi tidak pernah menegurku sebagai orang yang jahat. Dia tidak sedikit pun marah kepadaku. Dia tetap seperti Andi yang biasanya. Dia bahkan menonton buah pikirannya sendiri di panggung itu.
Aku yakin dia sudah tahu bahwa aku lah yang tersangka. Andi selalu pura-pura tidak tahu. Mungkin tidak tahan akan diriku, dia pergi. Kudengar dari teman-temannya, dia pindah kuliah entah kemana. Yang pasti, aku menyesal. Aku hanya ingin meminta maaf.
Aku yakin dia sudah tahu bahwa aku lah yang tersangka. Andi selalu pura-pura tidak tahu. Mungkin tidak tahan akan diriku, dia pergi. Kudengar dari teman-temannya, dia pindah kuliah entah kemana. Yang pasti, aku menyesal. Aku hanya ingin meminta maaf.
***
Tidak yakin apakah permintaan maaf tersebut masih berlaku. Aku tidak perduli. Pokoknya aku harus meminta maaf. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan mengejar Andi.
Ketika taksi datang, beruntung Andi belum jauh dari pandangan. Aku menyuruh supir taksi untuk melaju mengikuti Andi. Jangan sampai hilang lagi saat ini.
Ketika taksi datang, beruntung Andi belum jauh dari pandangan. Aku menyuruh supir taksi untuk melaju mengikuti Andi. Jangan sampai hilang lagi saat ini.
Andi berhenti di persimpangan jalan. Aku mencoba mendekatkan langkahku padanya. Ia terdiam. “Andi....”
“Penyesalan?” Andi menebar puluhan lembar kertas berisi tulisan. “Ini semua adalah penyesalan, bukan?” Andi meneteskan air mata.
“Andi, kamu...—“
“Sadar, Tara! Kamu adalah penulis! Ini Andi, tokoh yang kamu buat berdasarkan kisah nyata kamu!” Andi menyergap diriku yang dilimpahi pertanyaan. “Baiklah, saya akan menjelaskannya sekarang.” Tatapannya tampak serius. Dia memalingkan wajah dariku sambil bercerita. “’Jangan pernah menulis jika tidak mampu menulis. Jangan menoreh pena jika terlalu hanyut dalam kenyataan hingga melupakan masa depan.’ Andimu itu. Dia adalah sosok yang sempurna, bukan? Tampan, berbakat, dewasa, namun... kelemahan itu membuat dia pergi. Dihina karena kekurangannya, lalu memutuskan untuk bunuh diri. Cerita fiksi terlalu sempurna bagimu hingga membuatmu gila akan segala keindahannya. Kamu tidak sanggup mengkhayal mengenai dirinya lagi, kemudian melampiaskan kekesalan itu ke hal-hal semberono. Kamu pikir... dengan tindakanmu itu... akan menyelesaikan masalah?” Andi merapikan kertas-kertas yang berserakan tadi, lalu diberikannya kepadaku. Ada apa sebenarnya?
“Ini... naskah buku kamu, kan?“
“Buku itu belum benar-benar pernah diterbitkan. Juno hanya tahu kalau aku menulis buku, tapi tidak tahu jika belum diterbitkan. Buku itu adalah lembaran kertas ini. Milikmu.”
Sepersekian detik kemudian, Andi mendekatkan langkahnya padaku. Disentuhnya pipiku dengan lembut. Bibir kami bersentuhan tak lama setelahnya. Perlahan sosok Andi memudar dari pandanganku. Ia menghilang.
***
“IH! Orang gagu sih gak pantes kalau nyari ilmunya di sekolah anak-anak sempurna!” “Yaudahlah ya, mendingan lo jauh-jauh dari kita karena lo gak pantes buat main sama kita!” “Orang gagu! HUEK!”
Dia selalu dihina. Dia tidak punya teman di sekolah. Dia merupakan buruk rupa di antara kami; orang-orang normal.
Akan tetapi, aku jatuh cinta padanya. Aku selalu jatuh cinta padanya. Kata-kata yang bergabung menjadi kalimat-kalimat indah, lalu membentuk cerita dalam paragraf. Dia menulis karena dia ingin melawan. Dia menulis untuk mengutarakan isi hatinya. Akan tetapi, hanya aku yang membaca tulisan-tulisan itu. Hanya aku yang mendengar.
Akan tetapi, aku jatuh cinta padanya. Aku selalu jatuh cinta padanya. Kata-kata yang bergabung menjadi kalimat-kalimat indah, lalu membentuk cerita dalam paragraf. Dia menulis karena dia ingin melawan. Dia menulis untuk mengutarakan isi hatinya. Akan tetapi, hanya aku yang membaca tulisan-tulisan itu. Hanya aku yang mendengar.
Mereka semua enggan menghiraukan tulisan dia. Aku pun secara diam-diam bermain dengannya. Teman-teman tidak tahu kalau aku dekat dengannya. Jika hal itu terjadi, aku akan dikucilkan persis seperti dirinya. Aku tidak mau seperti itu. Aku bermuka dua. Aku merasa jahat.
Aku menyesal tidak pernah berkata cinta kepada Andi. Seharusnya aku mengatakannya. Seharusnya aku memberikan dia semangat untuk hidup. Maafkan aku, Andi.
***
Aku gila dalam pikiran itu. Aku selalu seperti itu. Bahkan ketika duplikasi dari dirinya muncul di hadapanku. Duplikasi dari dirinya adalah rekaanku. Rekaanku mencoba untuk mendorongku menulis kembali. Menulis mengenai Andi yang sebenarnya. Menulis untuk mengingat dan mengkhayali.
Aku menyadarinya sekarang. Reka Andi mengubah diriku yang terlanjur ugal-ugalan. Dia datang ke dunia nyata untuk menghentikan kenakalanku. Rekaan dari Andi tidak pernah pindah kampus, atau pergi meninggalkanku.
Dia dengan sengaja membuatku menyesal sehingga memotivasiku untuk menulis lagi. Tidak ada lagi aksi menjiplak. Kan kutorehkan tinta pena untuk Andi dan Tara.
Dia dengan sengaja membuatku menyesal sehingga memotivasiku untuk menulis lagi. Tidak ada lagi aksi menjiplak. Kan kutorehkan tinta pena untuk Andi dan Tara.
Comments
Post a Comment