Ten Years Steps


Saatnya liburan musim panas dengan bermain-main di dalam hutan. Di sana lah anak-anak itu biasa berpetualang. Kaki-kaki kecil mereka lincah mencari tempat untuk dijadikan benteng pertahanan.  Sobat, Yuko, dan Omi tentu tidak mau kalah dari musuh. Mereka berlari berlawanan arah dari regu lawan. “Lihat!” seru Sobat ketika mereka berhenti lari. Rumah gubuk di atas pohon itu diputuskan akan menjadi benteng mereka.

Setelah menaiki tangga pada batang pohon, mereka berembuk untuk mengatur strategi. “Aku akan mengambil bendera mereka, kalian berdua jaga benteng.” Sobat memang paling berani. Dia adalah yang paling liar. Gayanya seperti petualang betulan, mudah sekali memengaruhi Yuko dan Omi.
“Kamu yakin bisa?” Omi adalah yang paling cantik di persatuan ini. Walau manis dengan penampilannya yang feminim, namun kelakuannya tidak sedemikian rupa. Alias benar-benar berantakan.

Sobat mengangguk tegas. “Kalau aku, memang maunya jaga benteng.” Yuko itu orang yang sangat pendiam dan cerdas. “Tapi, sebelumnya,” Yuko mengambil teropong berukuran mini dari saku celananya. “kita harus cari  tahu dulu di mana benteng mereka.” Dia lah yang paling sering mengatur strategi permainan. Yuko mengarahkan pandangan teropong ke sekitar hutan. “Ah! Itu dia!” Yuko melihat separuh dari sisi berwarna merah melekat di dinding jalan masuk sebuah gua.

“Mana mana mana?” sahut Sobat histeris.
“Gua arah utara. Pokoknya kamu jalan lurus aja dari pohon ini.”
“Siap!”



Setelah Sobat pergi, Omi dan Yuko hanya bisa menunggu di Rumah Pohon. Bendera kemenangan berwarna biru dipajang di lubang dinding rumah. “Sobat itu berani banget ya sendirian, padahal kalau dia ketangkap, kan, kita juga yang susah.” Yuko menangguk sambil memerhatikan keadaan sekitar hutan.

Permainan belum juga berakhir. Hari kian sore; matahari saja sudah terlihat pucat. Terasa sekali kalau Sobat sudah berlalu sangat lama. Omi dan Yuko mulai lelah. Mereka mengkhawatirkan Sobat. 
“Hutan ini nggak begitu luas, tapi jalanannya susah,” jelas Yuko. Omi tampak gelisah.
“Sobat, kok, belum balik lagi ya, Ko? Apa kita harus nyusulin dia?” Yuko tidak menjawab. “Udah ah! Aku mau nyusul Sobat! Kamu jaga benteng aja.” Tanpa menunggu jawaban Yuko, Omi langsung menuruni tangga.
“Omi, kamu harus hati-hati.”

Yuko tidak tinggal diam. Dia menggunakan teropong untuk mencari rupa Sobat. Mata Yuko berkeliaran seketika, akhirnya ditemukan juga sosok yang dicari-cari. Gerak-gerik Sobat terlihat seperti sedang mendengar sesuatu. Ia menerka suara itu, lalu berlari menghampiri Omi. Sebenarnya Omi sudah berusaha menahan tangis, tapi bocor juga matanya.

Yuko yang melihat kejadian itu dari atas pohon, menghampiri Sobat dan Omi. “Tuh kan! Kamu sih! Gak jagain Omi.” Sobat menyalahkan Yuko karena tidak mencegah Omi yang sendirian menyusuri hutan. Bibir Yuko merapat. Yuko merasa bersalah, tapi dia bisa apa? “Yaudah yuk, Omi kita pulang aja.” Sobat membantu Omi berdiri. Yuko hanya bisa membeku di tempat melihat mereka berdua.
***
Kemana-mana selalu bertiga. Sekolah pun tidak mau berbeda. Sobat seperti pemimpin persatuan ini; Yuko adalah jenderal; dan Omi layaknya guardian angel. Kini, seragam putih abu-abu adalah pakaian wajib bagi mereka.

Saat masih kecil, sulit bagi mereka memanggil nama satu dengan yang lain. Subakhtiar, Yudi Kumahir, dan Arumi. Yuko lah yang mencetuskan nama-nama singkat yang mudah dihafal.

Kala itu, adalah pelajaran sejarah di kelas. Yuko sempat bingung membaca tulisan bahasa indonesia yang ejaannya banyak menggunakan huruf ‘oe’ yang dibaca ‘u’ atau ‘tja’ yang dibaca ‘ca’. Dari situ lah, Yuko terinspirasi. ‘Subakhtiar’ menjadi ‘Soebakhtiar’ atau Sobat. ‘Yudi Kumahir’ menjadi ‘Yudi Koemahir’ atau Yuko. Yuko benci dipanggil Yudi yang seringkali dipelesetkan menjadi ‘judi’. Terakhir, ‘Arumi’ yang menjadi ‘Aroemi’ alias  Omi.

“Yudi, boleh nanya gak?” Pertama kali Omi menghampiri Yuko saat di kelas satu SD.
Judiiii! Yeah!” Itu adalah suara Sobat memanggil Yuko dengan nada lagu Judi di film Comic 8. Oleh karena itu, Yuko tidak lagi suka dipanggil Yudi.

Ketika menjelang ujian, pasti mereka kumpul bersama. Niatnya untuk belajar. Hampir semua soal yang menjawab adalah Yuko. Sedangkan Omi dan Sobat kebanyakan nyemil daripada mikir. Seusai ujian, liburan diisi dengan berbagai jadwal senang-senang. Omi yang paling rajin mencari info mengenai tempat rekreasi.

Mulai dari naik wahana-wahana suram, ke pantai, sampai piknik di rumah pohon. Kayu-kayu di rumah pohon sudah berlumut dan peyot. Biasanya kalau ada waktu luang, Omi akan membersihkannya. Walaupun, pasti lagi-lagi kotor. Hampir semua sisi rumah  pohon penuh oleh pajangan. Ada foto-foto mereka bertiga. Mulai dari masa-masa culun dan polos, hingga paras anak-anak baru gede yang perlente. Atau, ada poster musisi super kuno, koleksi milik Sobat.

Laci yang menyatu pada meja persegi panjang adalah harta karun mereka. Isinya berbagai pernak-pernik untuk bermain. Ada kartu uno dan remi. Ada monopoli. Ada papan catur. Pokoknya banyak banget. Semua itu menjadi pengisi malam-malam mereka jikalau menginap di rumah pohon. Masalah tidur, asalkan ada bantal dan alas aja mudah. Hanya Omi yang perempuan sendiri sering menggunakan kantung tidur.

Masa remaja sulit lepas dari realita asmara. Mereka merasakannya. Apalagi Sobat. Tiga minggu terakhir, ia terlihat sering bersama Laura. Laura sangat cantik, tidak heran jika Sobat terkesima melihatnya. Rambutnya pirang lurus terjuntai, lalu tergulung di ujung rambut panjangnya. Tingginya setara dengan daun telinga Sobat.

Yuko dan Omi turut bahagia. Meski, jadwal kumpul mereka tidak lagi dihadiri oleh Sobat. Kemana pun, hanya tinggal mereka berdua. Ketika pulang sekolah pun, berdua. Sobat selalu mengantar Laura dengan sepeda ontel. Di depan pagar sekolah, Yuko dan Omi cuma memandangi mereka bersepeda di trotoar jalan.

Omi tidak tahan melihat pemandangan itu. Ia terpaku, berpikir jika harus mengejarnya. Omi harus mengejarnya. “Omi, ayo pulang,” ajak Yuko.
“Yuko, kamu pulang duluan aja ya.” Omi membuang pandangannya dari Yuko, pergi mengikuti jalur yang ditempuh Sobat. Yuko mengernyit heran melihatnya.

Omi seperti mata-mata. Ia mengikuti Sobat dan Laura yang tidak sadar sedang dibuntuti. Tawa canda mereka terlihat mesra. Laura duduk di jok belakang dengan posisi tubuh ke samping. Mereka terlihat begitu akrab seperti sudah berpasangan di mata orang-orang. Bahkan, mereka akan makan bersama di warung makan itu. Yuko yang juga ternyata mengintili Omi menyentuh bahu Omi dari belakang.

“Yuko! Kamu ngapain di sini?”
“Aku yang seharusnya nanya. Omi ngapain di sini?”
“Bukan urusanmu! Yuko pulang aja duluan.”
“Aku mau pulang bareng kamu, Omi. Kan, biasanya kita juga pulang bareng.”
“Kali ini enggak dulu. Udah sana pulang!” Omi mendorong tubuh Yuko ke arah sepeda Yuko.
Stop Omi! Aku ngerti sekarang!” Mata Omi menyipit waspada. “Kamu suka, kan, sama Sobat?” nada bicara Yuko meninggi.
“Kamu tuh ngomong apa, sih? Ngawur banget deh!”

“Segalanya jelas terlihat di mata kamu, Omi. Dari dulu sampai sekarang, kamu selalu mengejarnya kemana pun Sobat pergi.” Yuko ingat ketika mereka bermain benteng di hutan. Omi yang rela jalan sendirian di tengah hutan sampai jatuh, kemudian menangis kencang. Lututnya yang luka waktu itu, berusaha dia abaikan, walau akhirnya menangis juga. Omi rela berkorban untuk mengejar seseorang yang disukainya.

“Ini bukan urusan kamu, Yuko! Mendingan kamu pergi aja dari sini!”
“Dengar Omi! Kamu itu salah melihat. Jelas-jelas Sobat nggak pernah melihat kamu! Tapi aku? Aku lah yang selama ini melihat kamu!” Mata Omi mulai bergelombang air mata. Tangan Yuko mendekap bahu Omi dengan erat, namun Omi memberontak.
“Lepasin! Lepasin!”

“Dengar, ya, Omi! Apa sih yang bagus dari Sobat? Apa yang kamu suka dari dia!?” mata Yuko menatap Omi dengan kilat kekesalan. “Kamu nggak capek apa!? Dia itu nggak pantas tau nggak buat kamu!”

“Lepasin!” Omi membanting genggaman Yuko. “Kamu tuh kalau ngomong dijaga! Urusan aku mau suka sama siapa, tau nggak!?” Melihat Omi yang menangis seperti dulu, Yuko tidak tahan memandangnya. Sedetik kemudian, Yuko mendekap erat tubuh Omi. “LEPASIN!”  

Omi mendorong Yuko menjauh darinya. Kakinya mundur menjauh dari letak Yuko berpijak. Lintasan yang licin menarik telapak kaki Omi. Sepatu flatshoesyang dikenakannya tidak mampu menahan keseimbangan berdiri. Omi terjatuh ke derasnya air sungai. Yuko tidak sempat menolong.
***

Persahabatan itu tidak ada lagi rasanya. Pohon-pohon rindang yang mempersilakan matahari menyinari jalan-jalan setapak itu, hening tanpa petualangan. Musim panas menyengat rasa sepi yang  telah infeksi. Melihat warna cokelat pucat dari air sungai mewakili ketakutan itu. Sedih ketika percik ego tercuat di antara hubungan pertemanan. Itu lah yang dirasakan Sobat dan Yuko.

Mereka tidak lagi terlihat bersama. Tidak ada namanya teman sejati, yang ada hanya teman bermain. Percuma aja kalau berteman, tapi malah membawa bencana bukan suka ria. Memori tersamarkan oleh awan-awan penyesalan. Gulita adalah hati Yuko ketika melihat sepasang sepatu flatshoesmengambang di air.

Yuko memalingkan wajah ketika berpapasan dengan Sobat. Begitu pula sebaliknya. Bahkan, ketika harus terpaksa bertegus sapa, mereka tidak lagi memanggil nama kecil masing-masing; Subakhtiar adalah Subakhtiar, Yudi Kumahir tetaplah Yudi. Sepeda ontel yang parkir di tempat yang sama, namun berjauhan jaraknya. Jadwal kelas yang mereka ambil juga berbeda. Rumah pohon terbengkalai dimakan lumut. Poster serta foto-foto yang dipajang lepas terbawa angin. Rumah bagai diterjang maut yang menyisakan serpih kesedihan.

Sebentar lagi adalah waktu menjelang Ujian Nasional. Tubuh dan otak terasa ingin meledak ketika memikirkan ribuan materi itu. Yuko menambah rutinitas belajarnya. Begitupun dengan Sobat, dia tidak ingin kalah dengan Yuko. Bahkan, dia kini menjauhi Laura. Di penghujung hari sekolah, Yuko dan Sobat beranjak pulang.

Yuko membuka buku pelajaran sekali lagi di atas meja belajar dalam posisi duduk. Sobat melakukan posisi tengkurap ketika membaca buku di ranjang. Perlahan katup mata mereka tertutup.
***
Omi yang selalu tampak ceria, bersiaga untuk menjaga benteng pertahanan. Yuko juga menjaga benteng. Sobat yang mencuri bendera musuh. “Pokoknya kali ini kita harus menang!” perintah Sobat membangun semangat Omi dan Yuko.

Yuko memandangi sekitar hutan untuk melihat posisi Sobat. Ternyata, Sobat berjalan ke arah timur. Dia salah arah. Bisa-bisa mereka kalah kalau seperti ini. “Ya udah, aku aja yang menjemput Sobat.” Yuko berdiam diri memandangi keberanian Omi. Antara rasa malu dan takut. Malu karena kalah dari perempuan dan takut akan kehilangan Omi.

Omi menyusuri jalan setapak ke arah timur. Ia sesekali memanggil nama Sobat. Langit yang semakin gelap lama-kelamaan mengaburkan pandangan Omi. Rumput dan semak belukar tidak lagi diperhatikannya. Matanya hanya ke depan untuk mencari sosok Sobat. “Ahhh!!” Kaki Omi tersandung batang pohon.

Sungai deras berada tepat di bawahnya.  Omi tidak jatuh. Ia merasakan sebuah tangan menggenggam erat lengannya. Matanya yang sempat terpejam, terbuka perlahan dan menengok seseorang di belakang tubuhnya. Orang itu adalah Yuko. Lelaki yang takut mengerjarnya, kini berhasil menolong Omi. “Hati-hati Omi.” Yuko menarik Omi menjauh dari tepi sungai. “Ayo kita cari Sobat.“ Omi mengangguk tegas sambil tersenyum.

Sobat berjalan menuju gua. Namun sebelum sampai, Yuko dan Omi menghampirinya. Mencegah dia untuk terlalu dekat dengan gua. Jari telunjuk Yuko mengisyaratkan Sobat untuk tutup mulut. Yuko merogoh senter mini dari sakunya, lalu diberikan kepada Sobat dan Omi. Yuko yang akan memancing penjaga benteng, sedangkan Omi dan Sobat masuk ke gua ketika tiba saatnya.

Omi dan Sobat bersembunyi di balik semak-semak. Yuko pergi ke dekat gua dengan mengendap-endap. Dia balik rumput-rumput tinggi, ia membuat keributan: sepatunya dientakkan dengan keras, serta menggerak-gerakkan  semak-semak. Penjaga benteng lawan terpancing dengan taktik tersebut.
Omi dan Sobat segera masuk ke gua. Mereka menyalakan senter terlebih dahulu. Berjalan sambil menyoroti dinding gua yang hampa. Di ujung penglihatan mereka, setitik warna merah itu tertangkap mata. Gerak-gerik Omi dan Sobat menandakan rasa gembira. Namun, sebelum mereka melangkah, terdengar sesuatu menguntit di belakang mereka.

Tubuhnya tinggi dan kurus tersorot oleh cahaya senter. Rupanya Yuko. Omi dan Sobat mengembus napas lega.

Bendera merah berhasil di tangan mereka bertiga. Permainan telah berakhir. Kaki-kaki gagah tiga sahabat itu berjingkrak-jingkrak di depan gua. Bersorak-sorai atas kemenangan. Mencuri bendera musuh, seperti sukses menjadi orang kaya. Mata mereka penuh kilat bahagia.
Pemandangan itu lambat laun berubah. Sadar ketika mereka membuka mata, bahwa itu semua hanya mimpi. Mereka berharap bisa tinggal di dalamnya selamanya.
***

Yuko menaiki tangga rumah pohon. Ruangannya begitu berantakan. Debu dan sarang laba-laba memenuhi seluruh dinding dan atap. Poster yang terlepas dan foto-foto kenangan telah pudar. Kayu-kayunya memiliki banyak lubang. Lantainya rapuh.

Yuko tersenyum memandangi ruangan sempit itu. Disentuhnya barang-barang usang yang tertinggal di dalamnya. Merasakan segala petualangan yang terbenam bekas-bekasnya. Kemudian dari bawah pohon, seseorang berteriak, “OIII!!” suara itu terdengar familiar. Yuko bergegas menengoknya. Sudah diduga, pemimpin dari persatuan ini. Yuko yakin, Sobat akan membenahkan persatuan ini kembali. Bersama-sama mereka raih bendera kemenangan sepuluh tahun ke depan.

Comments

Popular Posts