Negeri Para Biang Keladi


Lima bocah berandalan. Disebut seperti itu karena nakalnya sudah lewat kepalang. Hari ini mereka mengulang keonaran untuk kali ke lima puluh dua.  Hujan menyulap suasana menjadi kegembiraan. Lompat-lompat dan kejar-mengejar menjadi asyik tak karuan. Banjir kumuh semata kaki dicipratkan dari bocah sini ke bocah sana. Buyar tawa canda menghias riang di pelataran. Tetapi, kasihan sekali Ibu panti. Ia terpaksa mencuci baju-baju kotor akibat aksi balapan sepeda di antara hujan. Omelannya mengiang ke seluruh bangunan panti ketika itu.

Belum lagi ada yang nangis. Biasanya Afin yang jadi bahan ejekan. Bagaimana tidak? Ketika disuruh untuk mengambil layangan yang nyangkut di pohon, tubuhnya terjerembap. Siapa yang tanggung jawab? Tidak ada, selain Ibu panti yang mengobati lukanya. Menyebalkan, Afin ingin berbuat baik, tapi malah sial. Teman-teman bisanya cuma menertawai Afin.

Tidur saat larut malam. Ibu panti biasanya akan memeriksa kamar.  Semua bergegas ke ranjang masing-masing ketika entak kaki terdengar di koridor ruang kamar. Cepat-cepat pura-pura tidur. Saat Ibu panti pergi, semuanya kembali nimbrung.

Masa seperti itu dialami oleh  mereka ketika berumur lima tahun. Afin yang paling muda. Ajeng dan Romi beranjak enam tahun, Seto tujuh tahun, dan Karel delapan tahun. Sejak masih orok, mereka sama-sama tidak  tahu arti orang tua. Hanya Ibu panti seorang yang mereka kenal sebagai ibu asuh. Tidak masalah tidak ada orang tua betulan. Mereka senang selalu bersama. Mereka senang menjadi liar.


“Janji selalu bareng sampai besar?” tanya Ajeng. Ajeng tidak ingin pisah. Ajeng satu-satunya perempuan sudah tercemar menjadi sosok yang super tomboi. Meski begitu, dia tetap memiliki perasaan ‘takut kehilangan’ tersebut.
“Janji!” Seto mengangguk, lalu mengajukan lengan untuk tos bersama.
“JANJI!” Seruan mereka membangkitkan semangat. Sejak itu, mereka tidak terpisahkan.
***
Lima bocah berandalan. Hingga kini, mereka pun masih seperti itu. Satu penduduk kota sudah mengenal mereka. Sering ditakuti oleh anak-anak kecil. Mereka dianggap preman. Permen anak-anak kecil sering dipalak; meminjam sepeda tanpa dikembalikan ke pemiliknya, atau mengambil roti dagangan Bu Wi’, lalu kabur begitu aja tanpa membayar. Awalnya hanya untuk seru-seru bareng, tapi lama kelamaan....

Perempuan jelita yang tersisir oleh sisi tomboinya dipanggil Ajeng. Ia adalah seorang copet handal.  Suatu malam, ketika Ajeng hendak membeli makan, ia melirik seorang Ibu yang turun dari mobil Alphard. Ajeng memerhatikan gerak-geriknya. Ibu itu masuk ke toko perhiasan. Tak lama kemudian, dia kembali menuju mobilnya yang parkir di pinggir trotoar jalan. Ajeng mencuri kesempatan.
Ajeng pura-pura bertanya arah jalan ke ibu tersebut sebagai pengalihan. Sementara ibu itu menjelaskan arah jalan, tangan Ajeng meraba tas punggung ibu tersebut. Ia segera membuka ritsletting  tas, kemudian mengambil dompet sang Ibu. Namun, Ajeng ceroboh. Ia menggenggam dompet itu ketika berjalan menjauh dari sang Ibu. Ibu itu melihat Ajeng. “COPETTTTT”

Segerombol penduduk sekitar mengejar Ajeng. Ajeng berlari secepat kilat. Ketika langkah Ajeng berhenti, ia melihat sebuah mobil sedan terbuka salah satu pintunya. Tanpa pikir panjang, Ajeng beranjak ke dalam mobil itu. Seorang pria, pemilik mobil, sibuk menelepon di luar mobil. Pria itu melihat segerombol orang berteriak ‘copet’, namun tidak ia hiraukan. Ketika kembali ke dalam mobil, ia menyadari ada orang asing di mobilnya. Ia juga menyadari bahwa perempuan itu adalah copet yang diburon penduduk sekitar. “Berikan dompetnya, maka kamu akan aman.” Ajeng mati kutu. Ia terpaksa memberikan dompet itu, kemudian pria tersebut mengembalikan dompet ke pemilik tanpa membongkar identitas si Copet.

Sejak kejadian itu, Ajeng dan pria itu menjadi dekat. Entah bagaimana, Mereka menjalin hubungan. Ajeng begitu mencintainya. Namun bagaimana jika berbeda dunia? Pria itu bernama Leo. Pengusaha muda restoran elit di kota. Leo berdarah bangsawan. Hartanya berlimpah. Sedangkan Ajeng? Hanya jelata. Karena itu lah hubungan mereka tidak berjalan mulus setelah enam bulan, alias kandas.
*
Kaum wanita bertekuk lutut di hadapannya. Nada-nada cinta mengambang di udara. Wajah  menawan—namun tidak pasaran—mengangkat kenarsisan dalam diri manusia ini. Sebut aja Karel, berandal paling mencolok sejagad terminal. Kegiatan sehari-harinya adalah ngamen. Tidak seperti pengamen kebanyakan, penampilan Karel rapi bak pejabat berdasi. Wanginya juga semerbak. Vokalnya ketika bernyanyi, aduhai gemulai merdunya.

Karel selalu kebanjiran penonton. Meski tidak ngamen di terminal atau di kendaraan umum pun, para pejalan kaki selalu menghampiri Karel. Misalnya ketika sedang berjalan-jalan di taman kota, hanya bermodal gitar bertengger di punggung, kaum remaja  mengerumuni Karel. Saat itu lah Karel kebanjiran uang receh. Sosok Karel segera dikenal masyarakat luas lewat media sosial dengan hastag PENGAMEN GANTENG. Masyarakat yang penasaran dengan kegantengan Karel, tidak segan mengunjunginya. Tujuannya sekadar foto bareng, atau mendengarnya berseru lagu-lagu cinta.  “Terima kasih! Terima kasih!” ujar Karel sambil membungkuk di depan penggemar.

Berbicara mengenai lagu-lagu cinta, si Kecil Afin adalah juru tulis prakata cinta. Afin lah pencipta lirik untuk lagu-lagu Karel. Amatiran, tetapi lumayan juga. Karel tidak terlalu suka cover lagu, maka bersikeras untuk mencipta lagu sejak umur lima tahun. Afin juga bersikeras untuk membantu. Walaupun hanya di belakang panggung, tetapi Afin juga sesekali diajak Karel untuk tampil. Bukan untuk bernyanyi, melainkan untuk bersyair. Selain bisa menulis, Afin juga pandai bersyair. Karel lah yang menginspirasi Afin untuk tidak menjadi pemalu.

Meski terkesan keren, sisi badung mereka belum luntur. Karel dan Afin sering kali menggoda penggemar dengan harapan mereka akan memberikan upah plus. Tak jarang juga Afin dan Karel menjalin hubungan dengan para penggemar. Jika didata, ada sekitar tiga puluh wanita mengantri di depan Karel;  40% adalah teman kencan Karel selama sebulan atau 12 wanita per bulan. Sedangkan Afin, sekitar lima belas hingga tujuh belas wanita per bulan. Hampir semuanya ia kencani. Tidak semua wanita sukses menjalin hubungan dengan Afin dan Karel. Mereka lebih sering memilih wanita tajir untuk diajak berkencan. Maksudnya agar ditraktir dalam pemenuhan sandang dan pangan. Tidak, papannya tidak perlu. Mereka tidak semiskin itu.

Berkat dari ketenaran Karel dan Afin, mereka diundang untuk mengisi suara pada sebuah restoran elit di kota. Itu adalah restoran milik Leo. Ajeng pula yang menyarankan Leo untuk mengundang mereka. Lumayan juga, untuk menambah penghasilan. Mulai saat ini, Karel akan selalu tampil di restoran milik Leo setiap malam Minggu.
*
Yang paling susah diatur adalah Seto dan Romi. Mereka adalah partner sehidup-semati. Proyek yang akan mereka kerjakan adalah misi rahasia. Sore itu, Romi dan Seto menonton berita di TV. Sang pembawa berita menjelaskan mengenai barang lelang milik pemerintah. Barang lelang yang akan digunakan walikota untuk pembangunan fasilitas kota. Wujudnya berupa kalung berlian 200 gr seharga kurang lebih 2 triliun. Sepenuhnya mengkilat persis seperti mata Seto dan Romi ketika melihat berlian itu di layar TV. Saat itu juga, Seto dan Romi berupaya merampasnya.

Barang lelang ada di lantai sepuluh, kantor walikota. Di halaman depan, terdapat sepuluh satpam; delapan di depan pintu masuk, dan dua berjaga di antara pepohonan. Kamera CCTV ada di setiap sudut ruangan. Di halaman belakang kantor terdapat dinding batu bata yang cukup tinggi untuk dipanjat. Tetapi, tidak ada penjaga di sana. Di lantai satu, merupakan aula luas yang terdapat sofa dan meja untuk menjamu tamu, serta dua tangga di sisi kanan dan kiri yang bentuknya melengkung. Di lantai dua terdapat lift. Di ruang tamu pula, terdapat pintu untuk menuju dapur. Dapur memiliki pintu tembus halaman belakang dan dumbwaiter untuk mengangkut makanan ke semua lantai, termasuk ruang bawah tanah. Di ruang bawah tanah, ada ruang kontrol keamanan.

Seto dan Romi membujuk Bu Wi’ untuk membantunya masuk kantor walikota dengan syarat mereka akan mengganti uang untuk membayar roti yang telah mereka curi sejak umur enam tahun—sedangkan sekarang, mereka telah berumur sembilan belas tahun. Mereka juga memohon bantuan ke Elok—dengan alasan karena Elok memiliki tubuh yang kecil—dia adalah bocah yang dahulu sering dirampas permennya oleh Seto dan Romi. Namun, kini Elok telah menjadi remaja yang tangkas. Dia telah mencapai sabuk hitam. Syaratnya, tidak melaporkan tindakan nakal ini ke orang tuanya.

Tepat awal malam Sabtu—dengan alasan karena banyak penjaga yang libur weekend—Seto dan Romi mengenakan kostum pelayan yang diberikan oleh Bu Wi’. Bu Wi’ menyiapkan tiga motor untuk mengantar roti-roti  gandum ke kantor walikota. Alasan ini semestinya berhasil meyakinkan penjaga. “Ini pesanan roti untuk Pak Walikota yang Senin depan akan mengadakan rapat negara di sini.” Dengan mudahnya, penjaga itu percaya dan membiarkan mereka masuk.

Elok bergegas memanjat dinding halaman belakang dengan tangga yang telah disiapkan Seto dan Romi. Ia dengan lincah dan tatapan tajam menjalankan misi. Setelah melirik sekitar halaman, memastikan tidak ada penjaga, ia masuk ke pintu belakang untuk menuju dapur.  Seto dan Romi memberi aba-aba sekali lagi untuk Elok. Ia memasuki dumbwaiter menuju ruang bawah tanah. Di sana terdapat dua orang penjaga ruang kontrol. Tanpa susah payah, ia menghajar dua penjaga itu hingga pingsan. Elok memasuki ruang kontrol, satu lagi penjaga dihantamnya dari belakang. Melalui walkie talkie, Elok diberi petunjuk dari Romi yang pandai masalah teknik. Dalam hitungan menit, ia telah mematikan kamera CCTV seluruh ruangan.

Romi dan Seto bergegas ke aula utama lantai satu, menaiki tangga, lalu memasuki lift di lantai dua. Sesampainya di lantai sepuluh, di depan mata mereka, terdapat surga masa depan. Gerbang yang dikunci oleh sandi pengaman tanpa ada penjaga. Romi dan Seto melangkah ke gerbang itu. Romi dan Seto menyentuh gerbang, alarm gerbang telah dinonaktifkan oleh Elok. Langkah mereka semakin dekat pada barang senilai 2 triliun tersebut. Ketika disentuh, sirine keamanan berbunyi. Seluruh penjaga dalam sekejap turun dari atap yang secara otomatis terbuka. Mereka tertangkap basah.
*
Ajeng terpuruk sejak putus hubungan dengan Leo. Ia benci direndahkan oleh keluarga Leo. Dia benci karena tidak bisa bersama Leo. Maka muncul lah selebat akal licik untuk membalas rasa sakit yang ia rasakan. Ajeng ingin menjatuhkan Leo.

Maka, malam Minggu itu, Karel yang akan tampil di restoran Leo akan menjalankan misi yang telah diutarakan oleh Ajeng. Demi sahabatnya, demi membalas rasa sakit hati Ajeng. “Jangan lupa menekan tombol alarm kebakaran.” Ajeng mengingatkan Karel. Hal ini bertujuan agar para pengunjung restoran keluar dari sana. Sehingga akal licik mereka jadi terkesan tidak terlalu licik. 

Karel memasuki restoran dengan tas ransel di pundak. Tas itu berisi dinamit berukuran kecil. Ketika Karel hendak naik ke panggung, ia sengaja meninggalkan ranselnya di kursi makan restoran. Setelah membawakan satu lagu, ia berjalan pergi ke letak alarm kebakaran. Karel memastikan tidak ada mata yang melirik ke arahnya. Dengan gerakan singkat, tangannya menekan tombol alarm tersebut.

Dalam sekejap, para penghuni restoran berhamburan mencari jalan keluar. Karel berjalan di antara kepadatan manusia. Ia mengambil gitar, lalu berjalan keluar. Restoran itu sudah kosong. Ajeng yang bersantai selama menunggu Karel di balik semak-semak dekat restoran, menerima notifikasi dari Karel. Notifikasi itu memiliki arti bahwa restoran telah kosong, lalu untuk segera  menekan tombol aktivasi dinamit yang akan segera meledak dalam waktu sepuluh detik.

Pada sepuluh detik terakhir tersebut, Karel dan Ajeng menjauh dari  semak-semak di dekat restoran. Mereka berlari dari tempat kejadian. Pada saat itu juga, Ajeng ceroboh. Meski ia merasa puas karena membuat Leo rugi besar, namun ia harus menanggung akal bulus yang telah ia perbuat. Alat kontrol dinamit berbentuk kotak mirip remot mini, lepas dari kantong belakang celana Ajeng. Tentu ia tidak menyadari kejadian ini. Seminggu kemudian, sejumlah polisi menghampiri rumah Ajeng disertai bukti berupa alat kontrol dinamit tersebut. Polisi juga membawa stempel sidik jari Ajeng. Hari itu, begitu tidak mujur bagi Ajeng karena peristiwa penggiringan dirinya ke salah satu bilik narapidana atas tuduhan sebagai teroris.
*
“SIALAN!” gerutu Karel setelah mendapat kabar bahwa teman-temannya terjerumus ke bilik narapidana. “Pokoknya kita harus menyelamatkan mereka.” Karel menerjang dinding gang beberapa kali.
“Tapi gimana caranya? Bilik narapidana itu ketat banget.”
“Semuanya bisa dilakukan asalkan punya uang.”
“Kita nggak punya uang, Bim.”
Karel tidak mau kalah. Dia hanya ingin teman-temannya kembali. “Kalau begitu, kita harus cari uang!” 
*
Tata cahaya bermain warna dalam kegelapan auditorium . Gemuruh penonton berdesak walau hawa terasa pengap. Speaker raksasa mengguncang auditorium gedung pertunjukan. Para penonton sudah tidak sabar menunggu idolanya unjuk gigi. Tidak lama, suara drum dientakkan, isyarat bahwa konser akan dimulai. Di bawah sorotan cahaya putih, berdiri sosok vokalis yang sedang naik daun. Dengan gaya musisi terkenal, pusat panggung menjadi singgasana kuasa. Para penggemarnya histeris. “KAREEEEELLLLL! I LOVE YOU!” Salah satu penonton bersorak di antara keriuhan penonton.

Empat tahun perjalanan karir di dunia hiburan telah ditempuh Afin dan Karel. Afin yang selalu menulis lirik, dan Karel mencipta melodi serta nada. Upah penghasilan selalu dibagi berdua. Satu-satunya alasan mereka dapat berjuang keras hingga sekarang adalah demi membebaskan teman-teman. Entah kapan, Ajeng, Seto, dan Romi akan bebas. Masih belum ada kabar jikalau mereka akan dibebaskan.

Namun kini, Karel dan Afin telah sukses. Harta segunung telah masuk saku. Bahkan, Karel telah memiliki pasangan hidup. Umurnya beranjak 24, menjalani hidup sebagai public figure, serta seorang ayah dari bayi yang baru lahir. Sayang sekali, ibu dari bayi itu tidak sanggup bertahan hidup setelah melahirkan. Karel sangat sakit. Ia kehilangan istri. Berbeda dengan Afin, di umurnya yang ke 21, ia memperoleh pendamping hidup yang dianggap sempurna. Tak lama, Afin juga dikaruniai seorang bayi. Ia menjadi seorang Ayah. Keluarga Afin sempurna.

Sampai sekarang, Karel tetap bersikeras untuk membebaskan sahabat-sahabatnya semasa kecil. Ia tidak ingin merasa kehilangan terus-menerus.

“Aku nggak mau membebaskan mereka,” jelas Afin.
“Apa? Kamu bilang apa?”
“Mereka memang salah, hukuman bilik narapidana sangat pantas bagi mereka.”
“Kamu lupa, Fin? Mereka itu sahabat kita! Kamu lupa akan ungkapan Ajeng dulu ketika masih di panti?!”
Janji selalu bareng sampai besar. Afin tidak mungkin melupakan kalimat itu. Tetapi, sekarang berbeda. Afin telah memiliki segala yang ia mau. Ia terlanjur melupakan persahabatan itu.
“Aku nggak mau membuang uang demi penjahat seperti mereka!” Berontak Afin tak bisa dijinakkan. Karel tidak bisa memaksa.
“Baiklah kalau begitu.”

Karel pergi dari rumah Afin. Ia segera menyisihkan uang untuk membebaskan Ajeng, Romi, dan Seto. Ia mengunjungi kuil bilik narapidana. Di sana lah, biang dari segala kasus kriminal dikurung. Dengan segala akal, Karel berupaya untuk meyakinkan polisi. Karel mengeluarkan sejumlah uang sebagai umpan. Setelah melalui segala pertemuan dengan pihak polisi, Karel berhasil membujuk mereka. Ajeng, Romi, dan Seto telah bebas.
*
Bunyi telepon rumah menarik Karel untuk menjawab panggilan  tersebut. Di sana, terdengar suara pria dengan suara berat. Dengan lantang, ia berkata, “kediaman Bapak Karel Saputra?”

“Ya, saya sendiri.”

Tanpa mengulur waktu, Karel sadar bahwa dia adalah seorang polisi. Karel menutup telepon, mengabaikan pembicaraan polisi itu. Ia serta-merta berlari ke kamar atas untuk membereskan barang-barang Kirana. Bayi berumur lima bulan dibalutnya ke dalam kantong bayi. Karel berlari ke kamar sebelah—kamar tidur lainnya, kemudian mengambil barang yang hanya dianggap penting—handphone, dompet, gitar, kunci mobil, dan sedikit pakaian. Ia beranjak ke dalam mobil. Gas dengan kekuatan penuh ditancapnya ke rumah Afin. Bayi perempuan berumur lima bulan, ia letakkan di depan pintu rumah milik penulis terkenal. Tidak ada pilihan lain, Karel selalu mengandalkan Afin. Kirana tidak mungkin ikut bersamanya menjadi buronan polisi.
*
Pria dengan perawakan besar mendobrak pintu rumah Karel. Wajahnya terang benar bagai banteng siap serbu marador. Pria tersebut ialah jenderal dari lembaga penegak hukum. Dia yang berhasil mengetahui bahwa anak buahnya—yaitu polisi—telah terkelabui oleh uang. Dia pula yang memutuskan akan menuntut Karel karena tindakan menyuap petugas polisi melanggar hukum. Rumah begitu hening. Pasukan penegak hukum berpencar mencari petunjuk. “Pak, saya menemukan ini.” Salah seorang polisi memberikan berlembar-lembar kertas dengan tablature musik pada setiap halamannya, serta nama pencipta dari komposisi serta lagu juga ikut tertera. Ditulis oleh: Afin Mubarak dan Karel Saputra.

Kabar menggemparkan mengenai Karel Saputra, seorang musisi terkenal menjalar ke penjuru negeri. Namanya telah tercoreng oleh tinta merah. Para penggemar menbencinya. Seluruh karyanya di dunia musik telah ditarik dari pasar. Bukan hanya itu, puluhan lembar komposisi musik telah dibakar. Piano serta karyanya dilahap oleh api. Tempat tinggal Karel disegel oleh penegak hukum. Mereka mencoba untuk menghapus segala kebanggaan mengenai Karel Saputra. Penghargaan berupa piagam maupun piala habis dilahap api. Tangis serta marah beriring menjadi satu emosi para penggemar. Kini, lelaki yang menjadi idaman ribuan orang menghilang wujudnya dari peradaban. Ia pergi, tidak ada satu pun yang mengetahui.

Yang paling nahas, adalah Afin. Dia turut menjadi tersangka karena dianggap bersekongkol dengan Karel. Ia dijebloskan ke bilik narapidana hingga Karel menampakkan dirinya di depan meja hijau. Istri Afin terpaksa menjadi single parent demi membesarkan Delia dan Kirana. Ia bekerja sebagai karyawan bidang keuangan, serta memperoleh royalti dari buku-buku Afin yang beruntungnya tidak ditarik dari pasar. Romi, Seto, dan Ajeng kembali pula ke bilik narapidana. Mereka tidak bisa bertindak apa pun selain menunggu kehadiran Karel. Satu bulan berlalu, siaran televisi, radio, dan media lainnya perlahan melupakan berita mengenai Karel Saputra.

Karel telah melakukan kesalahan fatal. Uang yang menurutnya akan menyelesaikan segalanya malah menjadi senjata untuk menghajar dirinya sendiri. Kini Karel berada di suatu tempat, yang tidak seorang pun di negeri itu tahu. No one knows....
Kayaknya bakal ada part duanya. :/

Comments

Popular Posts