An Ice Cream Story



Baca kalimat pada paragraf pertama ini baik-baik: selama enam tahun menggonta-ganti pacar, baru kali ini gue menjalin hubungan asmara paling sompek  yang pernah gue jalani. Awalnya, berasa kayak mendadak tertarik pada ice cream cone rasa baru di restoran cepat saji. Dan, oh.., gue nggak bisa tahan pengin buruan merasakan sensasi ice cream baru tersebut. Ketika hanya memandangnya dari poster yang dipajang, sepertinya dia melambai-lambai begitu menawan; pengin cepat-cepat dibeli. Padahal gue tahu, gue nggak lagi terlalu pengin jajan ice cream, tapi mumpung ada uang—mumpung ada celah. Segera aja gue beli ice cream itu!

Perlu diketahui, jarak stan drive thru restoran cepat saji itu ke rumah gue adalah lima kilometer. Satu jilat cicipan manis, kemudian buru-buru naik motor bareng adik gue untuk pulang. Cuacanya panas, kota Jakarta macet pula. Adik gue akan berkali-kali berseru, “cepetan dong! Keburu cair, nih, ice cream-nya!” Gue dengan—berlagak—gesit, menerjang setiap celah arus lalu lintas.

Momen paling mengharukan ketika sampai di rumah: pertama ice cream lo udah cair duluan. Atau, kedua, sahabat atau kerabat yang menemani lo beli ice cream cone menghabiskan ice cream lo duluan.
Mari analisis fenomena ini lebih mendalam melalui sudut pandang kehidupan kaum millennial.

Akhir-akhir ini, gue sedang lelah dengan laki-laki genit. Arti genit yang gue maksud mudah sekali, yaitu mereka yang demen godain gue. Sebenarnya, gue bahagia kalau ada laki-laki yang pengin dekat sama gue. Siapa tahu, bisa lanjut ke tahap yang lebih stabil. Karena, ketika kita dekat dengan seseorang, hubungannya masih belum stabil. Perlu adanya kewaspadaan.
Meskipun bahagia, sebagai wanita, tetap saja gue pengin cari yang serius. Gue nggak suka kalau laki-laki itu nggak mau usaha. Pada dasarnya, gue tersanjung jika diusahain.

Misalnya saja ketika salah satu kakak tingkat naksir sama gue. Ia membawa seperangkat alat dapur ke rumah gue. Seketika gue ingat ketika gue ngobrol sama dia di kantin, yakni pembicaraan mengenai resep dapur legendaris pujaan Nenek gue yang sudah gue kuasai. Ternyata ada cacak seperti lambing tergadai: Dia salah satu insan yang sedang kasmaran.

Ujung-ujungnya, dia minta gue menjemputnya di depan kompleks rumah gue. Astaga, demi dewa Hades, itu ransel kontrang-kantring-kontrang-kantring,  bising benar selama perjalanan berkendara motor! Terdengar pertubrukan permukaan antara panci, sendok, piring, dan entah apa lagi. Berasa jadi sopir sirkus keliling segera buka tirai.

Ada insiden ganjil yang akan terjadi selanjutnya. Penggorengan yang dia bawa, memiliki gagang yang terbuat dari aluminium. Bahkan bocah cilik pun tahu, aluminium mudah menghantarkan panas. Namun, dia dengan santai, aman, tentram, dan damai memegang gagang tersebut ketika air panas menggolak. “GILA LO! ITU KAN PANAS BANGET!” Gue panik bukan kepalang, merebut gagang panci tersebut dengan tangan gue yang sudah terlapis sarung tangan.

Dia dengan mimik mirip balita ketahuan cepirit di celana berkata, “oh, ya? Maaf, gue nggak tahu. Gue nggak bisa merasakan sakit karena gue punya penyakit Hereditary Sensory Neuropathies (HSN).” Mulut gue menganga lebih lebar dari pada mulut buaya yang lagi berjemur.

Tertegun bukan karena dia tidak merasa sakit (kepanasan) ketika menggenggam gagang panci yang panas, namun tertegun  karena gue memiliki gebetan yang spesial. Orang yang memiliki penyakit HSN itu sangat langka. Biasanya mereka akan banyak diwawancarai oleh wartawan yang bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki penyakit tersebut, padahal gue tahu bahwa memiliki penyakit tersebut tidak memiliki rasa.

Gue bukannya ingin berlagak cerdas, tapi…
Bayangkan! Ketika kita terjatuh, terluka, terbakar, atau kecelakaan lainnya terjadi pada fisik kita, maka tubuh bergerak cepat mengirim sinyal rasa sakit. Tapi, orang yang memiliki HSN tidak menerima sinyal tersebut. Mereka mati rasa.

Jangan pernah berpikir bahwa mati rasa itu enak. Dulu, sebelum gue cabut gigi, dokter akan membius gigi gue agar mati rasa. Setelahnya, bibir gue terasa kaku serius. Luka itu perlu dirasa. Dan, diobati.

Misalnya, kita berusaha untuk memadamkan api dengan tangan kita. Karena tidak merasa sakit, kita akan terus menyentuhnya—mengipas-ngipasnya dengan tangan kita—tanpa sadar kulit kita sedang melepuh dan butuh pengobatan medis segera. Seram dan tolol.

Jika gue menjadi ilmuwan, gue akan bertanya-tanya dan mencari tahu, bagaimana jika penyakit tersebut berpindah ke area hati gue? Setidaknya HSN pada fisik tidak menimbulkan kematian. Pikirkan betapa banyaknya orang bunuh diri gara-gara sakit hati. Dunia memang terkadang tidak adil.
Ketidakadilan juga menimpa dirinya yang sedang usahain gue karena usai kejadian itu, gue pun nggak pernah berhubungan lagi dengannya. Gue ilfeel, bro!

Dua bulan kemudian, karma pun menimpa raga dan jiwa gue.

Tak lama sesudah seorang kakak tingkat mendekati gue, hadirlah kontestan baru. Awalnya gue nggak suka sama dia. Habisnya, kerjaan dia itu cuma nongkrong malam-malam bersama gerombolan anak-anak famous lainnya. Padahal gue kentara sekali kutu bukunya.

Namanya Bayu. Julukannya Bayu Gepeng, alias Yupeng. Alasan dibalik julukan nama ini adalah berkat tubuh yang dimilikinya berbentuk tinggi dan kurus. Jangan salah artikan menjadi mupeng. Karena mupeng dan Yupeng itu berbeda. Berbicara mengenai julukan nama, untung saja Yupeng tidak dipanggil Tengkorak Hidup. Nggak mungkin, kan, ketika gue memanggil dia bakal seperti, “RAK! RAK! TENGKORAK HIDUP, lagi apa?”

Sedikit demi sedikit, ikan terangsang oleh bau menyengat umpan pancingan. Lama-kelamaan, perasaan ini terpikat juga pada dirinya terbawa perasaan.

Satu bulan penuh kita tidak bisa bertatap muka. Kita tidak bisa bertemu. Saat itu adalah waktu liburan kampus selama satu bulan. Gue dan Yupeng adalah anak rantau dari daerah asal yang berbeda. Jarak pada akhirnya memisahkan kita untuk sementara. Kita semakin dekat hanya via media sosial. Gue ingat ketika kita bermesraan saling balas-balasan pesan. Bayangan fantasi sejuk mendampingi kita.
Ah, seluruh kisah ini memiliki pondasi peribahasa, yakni cacak seperti lambang tergadai. Kisah ini sungguh merupakan perihal orang yang sedang kasmaran.

Waktu itu pun tiba. Kita bertemu, kencan pertama kita berlangsung. Lantai dansa meriah beriringan musik. Tangkai-tangkai bunga berhamburan, kemudian Tinkerbell akan menyebarkan debu pixie demi sejahteranya kisah cinta ini. Kenyataan memang terkadang tidak seindah dongeng.

Empat hari sesudahnya, dia pergi meninggalkan gue. Tanpa aura penasaran. Heran bertanya ada apa dan mengapa. Padahal fantasi kita di media sosial sungguh mengesankan. Gue bagaikan si Wiro yang semakin sableng setelah tersambar petir dari Yupeng. Padahal langit saja tidak sedang hujan. Kencan pertama dan terakhir yang begitu didambakan musnah sudah.

Ditinggalkan tanpa penjelasan itu super nggak enak. Begini kira-kira percakapan gue dan Yupeng:
“Kamu nggak usah terlalu sayang sama aku.”
“Hah? Ada apa, Peng?”
“Tidur sana loh. Love you.”
“ADA APA SIH?”
“Nggak ada apa-apa.”
“Tolong jelasin ada apa.”
“Aku nggak bisa jelasin.”
“KENAPA SIH? Kamu nggak nyaman sama aku?”
“Iya”

KESAMBER GELEDEK! Pergi aja lo ke laut, dimakan hiu, tenggelam bareng arus segitiga Bermuda. Yang benar aja! Please, gue bukan boneka yang terbuat dari bahan porselen yang bisa kedap-kedip manja mirip matanya boneka Susan; udah terlanjur kadaluwarsa. Udah nggak zaman lagi.

Apakah ini zamannya untuk menerjemahkan arti dari kalimat ‘love you’ dan ‘aku tidak nyaman’ yang tampil serempak?

“Kamu bikin aku ilfeel.” Benar sekali,
sebegitu sederhananya perjalanan cinta ini membuat gue terharu.

Asu kui anake sopo!? Minggat ra pamitan blas!

Satu dinasti teman-teman gue, ramai mengumpat dan seluruh hewan di kebun binatang keluar. Satu balasan yang akan gue lakukan kepadanya: cerita ini akan gue tulis. Gue publish, dan semua orang akan tahu betapa sompek kisah ini.

Jika kalian kembali membaca paragraf pertama sampai ketiga, ini semua ada kaitannya. Lelaki itu seperti ice cream cone yang sudah kita tunggu-tunggu pesanannya. Kita tinggal memilih, ingin drive thru, take away, atau dine in.  Drive thru atau take away sama rumitnya, ingat cerita gue di atas.

Ice cream cone memang perlu buru-buru dihabiskan agar tidak cepat mencair. Namun, jangan lupa nikmati rasa manisnya; kesenangannya atau dia akan meleleh. Jalani hubungan ini perlahan, nikmati manisnya.

Satu-satunya cara sederhana agar tidak meleleh, lain kali gue mesti memilih dine in. Lihatlah banyaknya meja di restoran cepat saji menunggu kita untuk tinggal menikmati ice cream cone. Segalanya mengapa diperumit? Bagi wanita, cara paling sederhana adalah menunggu. Tidak perlu buru-buru ke jarak yang lebih jauh. Bertemu dan tahu dahulu. Saling mengenal, itulah salah satu satu kunci menjalin hubungan.



Comments

Popular Posts