Peluncuran Roket Ocit dan Profesor Burung


Kukkuruyukk! Kukkuruyukk! Wah, matahari telah terbit. Cerah sekali pagi ini. Anak-anak sedang siap-siap berangkat sekolah. Ayo, cepat-cepat berangkat sekolah, pasti Mama selalu aja bilang kayak gitu setiap pagi. “Belajar yang rajin semoga cita-cita kalian tercapai” itu adalah pesan Mama sebelum anak-anak ini berangkat sekolah.
Seperti biasa, pagi hari selalu saja menjadi waktu yang semangat bagi penduduk kota Gulita. Seakan-akan pagi adalah keajaiban  yang ditunggu-tunggu semua orang. Bagaimana tidak? Malam hari, kota ini sungguh gelap. Tidak ada penerangan sama sekali.
Kota kecil ini jauh sekali dari peradaban. Tidak ada sumber listrik. Para penduduknya menggunakan lilin pada malam hari. Gang-gang kota tampak sepi dan menyeramkan jika jalan sendirian malam-malam. Meski begitu, setiap pagi penduduk kota Gulita akan ramai memadati lalu lintas kota.
Sekolah Dasar Gulita sudah diserbu anak-anak. Ah, sepatu Ocit terlepas! Padahal kawan-kawan yang lainnya sudah masuk semua ke gerbang sekolah, tapi Ocit mesti memakai terlebih dahulu sepatunya yang terlepas. Setelah itu, Ocit buru-buru ngikutin jejak kawan-kawannya masuk ke kelas.
Begitu Ocit membuka pintu kelas, “Ocit, giliran kamu buat nyatain cita-cita,” kata Ibu guru.
Kemudian, Ocit dengan penuh percaya diri, demi menutupi rasa malunya karena telat masuk kelas berkata, “baiklah! Ocit akan kasih tau ke kalian cita-cita Ocit.”
Di depan kelas, di depan kawan-kawannya, Ocit akan mengutarakan cita-citanya. Semua mata memandang ke arah Ocit. Sedetik selanjutnya, “Ocit ingin meraih bintang sirius di langit untuk menerangi kota ini.”
Kemudian, Piyo, teman Ocit yang duduk di ujung kanan bangku paling belakang tersedak. “Huk, huk! Hahaha.” Seketika semua murid di kelas ikut tertawa. Mereka serempak mengejek Ocit. Lagian mana bisa kita mengambil bintang di langit. Ada-ada saja Ocit ini.
Bagaimanapun juga, Ocit ingin menerangi kota ini pada malam hari. Rasanya tidur dalam gelap sendirian itu seram. Ocit ingin meraih bintang sirius. Kata legenda yang diceritakan oleh Papa, bintang sirius adalah bintang yang paling terang seangkasa. Kalau Ocit bisa meraihnya, lalu meletakkannya tepat di atas kota, maka bintang itu akan bersinar menerangi kota. Tapi, bagaimana caranya untuk terbang ke langit dan mengambil bintang itu? Ocit kan, hanya anak laki-laki yang masih dibangunin Mama kalau pagi.
Di tengah perjalanan pulang, wajah Ocit tampak murung. Begitu sial rasanya nasib dia hari ini. Ketika sampai di bawah pohon ceri, Ocit melipat pesawat kertas. Seandainya saja Ocit bisa terbang bebas seperti pesawat kertas ini. Sekali lemparan, dengan entengnya pesawat kertas akan melayang dibawa angin.
Pluk! “Aduh, sakittt! Aduh…, pesawat siapa sih nih. Pake nabrak jidatku segala! Aduhh!” keluh seseorang yang sedang bertengger di atas pohon.
“Maaf ya, Pak. Ocit nggak sengaja nerbangin pesawatnya”
“Hati-hati dong, Nak,” jawab orang itu setelah meloncat turun dari pohon. Ketika itu juga, Ocit tersadar sesuatu: mulut Bapak ini tampak moncong. Mirip paruhnya burung.
 “Haduh haduh. Ya sudah, nggakpapa. Lain kali hati-hati, ya.”
Selanjutnya Ocit dan Bapak ini berkenalan. Setelah itu, barulah Ocit tahu bahwa Bapak ini adalah seorang manusia burung. Ocit memanggilnya Profesor Burung.
Profesor Burung adalah manusia burung yang awalnya adalah rakyat burung dari Negeri Awan. Dia adalah seorang ilmuwan, namun karena kecerobohan eksperimen buatannya, Profesor Burung meledakkan lapangan kerajaan awan. Sebagai hukumannya, Profesor Burung dikutuk oleh Raja Burung menjadi manusia. Dia baru bisa kembali lagi ke Kerajaan Awan jika menolong salah satu manusia yang lagi kesulitan.
Kebetulan sekali, Ocit meminta tolong Profesor Burung untuk mengajarkannya terbang. Profesor Burung tertawa terbahak-bahak. “Hahaha. Kau ini kan hanya manusia biasa, mana bisa terbang.”
Meski begitu, Ocit nggak mau menyerah. Dia bertanya lagi, “kalau begitu, bantu Ocit membuat alat yang bisa membawa Ocit terbang.”
“Hmm..,” Profesor Burung berpikir sejenak. “Baiklah! Saya akan bantu kamu. Kalau begitu, panggil teman-temanmu dan suruh mereka untuk membantu kita.” Asik, Profesor Burung mau bantuin Ocit. “Apa tujuanmu untuk membuat alat terbang, Nak?” tanya Profesor Burung kemudian.
“Ocit ingin meraih bintang Sirius di langit, supaya kalau malam kota ini nggak gelap lagi.”
“Wah, hebat sekali mimpimu, Nak.”
Keesokan harinya, Ocit menghampiri pintu rumah semua kawan-kawannya. Hari itu juga mereka akan kerja sama membangun roket. Dipandu oleh Profesor Burung, segala peralatan kemudian dipersiapkan. Kayu-kayu disusun sebagai kerangka membentk  roket. Baja-baja direkatkan ke kerangka sebagai lapisan luarnya. Mesin roket dan bahan bakar juga sudah dirakit oleh sang Jenius Profesor Burung. Terakhir, mereka ramai-ramai mengecat roket itu.
“Baiklah! Aku akan segera berangkat.”
“Hati-hati, Nak,” pesan Profesor Burung.
Hitungan mundur dimulai. 10.. 9.. 8.. 7.. 6.. 5.. 4.. 3.. 2.. 1.. Roket meluncur tegap menembus langit biru. Shhhuhhh… Asap roket mengepul di udara. “Hati-hati Ocit. Kami menunggumu.” Teriak teman-teman dari daratan sambil melambaikan tangan ke Ocit.
Di angkasa luas, bertebaran benda langit, Ocit memakai kostum astronot. Tubunya melayang-layang begitu ringan. Dia meluncur berusaha menggerakan tangan dan kakinya untuk meraih bintang Sirius di depan sana. Sinarnya tampak terang sekali.
Ocit pun segera meraih bintang itu, lalu membawanya kembali ke roket. Ketika Ocit sampai di daratan Kota Gulita, seluruh penduduk kota menyambut Ocit. Mereka membawa lilin untuk menerangi area Ocit mendarat. “Yeeahh! Asik! Ocit sudah kembali.” “Kami bangga padamu Ocit!” “Yuhuuu”. Musik beriringan seketika. Pak Walikota menerima bintang Sirius dari Ocit. Lihat! Profesor Burung sudah memiliki sayapnya kembali, ia segera mengangkat Pak Walikota untuk menggantungkan bintang Sirius di ujung tiang yang sangat tinggi. Dengan begitu bintang itu akan menerangi kota ini.
“Ocit, saya harus kembali.” Ini adalah saatnya Profesor Burung pamit. “Saya harus kembali ke Negeri Awan.” Mata Ocit mulai berkaca-kaca, dia menangis.
“Kembalilah lagi kapan-kapan, Profesor Burung.”
“Pasti, Nak.” Kemudian mereka saling berpelukan.

Profesor Burung terbang lepas ke atas awan. Ocit melambaikan tangannya sekuat tenaga sebagai salam sampai jumpa. Kini, Ocit dan Penduduk Kota Gulita berselimutkan cahaya Sirius. Tidak ada lagi gelap. Tiidak ada lagi ketakutan. Tamat.

Comments

Popular Posts