Cerita Kecil



Tepat kemarin sore, Fia sudah pulang dari liburannya ke Singapore bersama keluarganya. Fia adalah sahabatku, kami sudah lama menetap di sebuah komplek perumahan. Sejak kedua orang tua kami saling mengenal, mereka telah mengetahui sama-sama mempunyai anak kecil yang sepantaran, kami pun menjadi semakin dekat. Kami sering bermain bareng, ke sekolah bareng, ketawa bareng, dimarahin sama Mama dan Papa pun juga bareng. Umur kami beda tipis, aku lebih tua tiga bulan darinya. Hobi kami adalah bermain sepeda, kami sering sekali balap-balapan sepeda mengelilingi komplek, dan tidak jarang juga kami terjatuh dari sepeda, luka di lutut selalu menjadi oleh-olehnya.


Aku ingat saat aku pertama kali mengajak Fia bermain sepeda, aku mengendarai sepeda ku terlalu cepat sehingga dia jadi tertinggal di belakang, dia mencoba untuk menyaingi kecepatan roda sepedaku, tetapi dia tidak berhasil, dia malah terpeleset karena jalanan yang licin. Saat itu jalanan baru saja terguyur hujan, lalu terjatuh, dia menangis sangat kencang pada setelahnya. Mau tidak mau , aku membantunya untuk berjalan pulang , sepeda? sepeda kami ya kami tinggalkan di jalanan, lalu Papaku dan Papanya Fialah yang membawa pulang sepeda kami.

Sekarang adalah waktunya aku menyamper Fia, aku ingin sekali bermain sepeda dengannya lagi. Setelah sampai di depan rumahnya yang besar, aku memanggil namanya beberapa kali. Rupanya dia sedang berada di balkon atas depan kamarnya, dia melambaikan sebelah tangannya ke arahku, aku menyengirkan gigiku sambil memberi isyarat dengan menunjuk jariku ke arah sepeda yang sudah siap untuk balapan, tetapi, dia malah menggeleng, aku membalasnya "Kenapa?" lalu dia memberikan isyarat lagi dengan menunjuk kanvas lukisan yang sedang ia letakkan di depannya. Selanjutnya aku menjawab "Boleh ikutan?" dia menggelengkan kepalanya lagi, lalu memulai menggambar sesuatu di kanvasnya, dia memberikan gerakan tangan yang artinya menyuruhku untuk menunggu sebentar. Mungkin sebentar lagi dia akan selesai, memangnya butuh berapa lama hanya untuk menggambar.
"Jangan lama-lama ya," sahutku padanya, namun ternyata aku salah, aku sudah berdiri cukup lama menunggunya di bawah sambil duduk di atas jok sepedaku.
Aku berteriak lagi, "Udah belum sih?" Fia tersenyum lalu menganggukan kepala.
"Naik aja ke sini." Dia mengajakku untuk naik ke atas, rasanya sangat malas karena aku sudah menunggu lama untuk bisa bermain dengannya.
"Malas ah," sahutku lagi.
"Ya, udah." Fia memalingkan wajahnya kembali pada kanvas lukisannya, sebagai tanda bahwa dia tidak peduli lagi. Mengesalkan. Akhirnya aku terpaksa menghampiri dia ke atas.

Aku melihat gambar bunga yang belum terselesaikan pada kanvas yang sedang di baurkan warna oleh Fia, "Owh... jadi kamu lagi melukis gambar bunga?" Aku sampai di balkon tempat Fia berada
"Iya."
"Sejak kapan kamu suka melukis?" tanyaku heran
"Belum lama." Fia membaurkan setiap warna ke kanvasnya yang sudah terpampang gambar setengah selesai, sepertinya itu adalah gambar seorang sebuah bunga berkelopak lima, tebakku.
"Emang cita-cita kamu apa?"
"Aku mau jadi pelukis."
"Kamu kan masih kecil, Main aja yuk?" ajakku lagi kepada Fia, aku benar-benar bersikeras untuk bisa bermain lagi dengannya
Fia menghentikan gerakan tangannya, lalu melirik ke arahku. "Aku bosan naik sepeda mulu."
"Memangnya kamu kenapa bosan sih?" Fia melanjutkan tangannya untuk membaurkan setiap warnanya.
"Rahasia."
"Rahasia? Aku gak boleh tau?"
"Enggak."
***

Aku memasuki sebuah Cafe elit di daerah Jakarta Timur untuk sekedar mengistirahatkan diri dari beratnya tumpukan tugas kuliahku di semester pertama tahun ini. Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela ditemani secangkir Mocacchino hangat yang telah aku pesan. Cuaca hari ini cukup mendung, cuaca seperti inilah yang selalu aku favorite-kan.

Bel pintu Cafe berbunyi, seorang pelanggan perempuan masuk dengan rambut lepek, riasan wajah yang sudah hampir luntur, lalu dia mengobak-ngabik isi tasnya sedang mencari sesuatu, rupanya handuk kecil. Dia berjalan ke arah meja di belakangku, jadi saja kami duduk saling bertolak punggung, tetapi... hey, tunggu... sepertinya wajah perempuan itu familiar. Aku mengenalnya. Fia. benar... dia pasti Fia, teman kecilku. Aku sudah sangat lama tidak bertemu lagi dengannya, kami bepisah saat kami telah lulus SMP, lalu dia pindah rumah untuk melanjutkan studinya nya di Singapore karena Papanya yang memiliki bisnis di sana, berarti kurang lebih 3 tahun yang lalu. Terakhir kali mendengar kabarnya saat aku membaca surat kabar, sosoknya terpampang pada salah satu halaman surat kabar tersebut. Dia telah menjadi pelukis terkenal yang sekarang hampir seluruh karya lukisnya telah masuk ke beberapa Gallery ternama di Jakarta. Tidak kusangka, kami akan bertemu di sini.

Aku memberanikan diriku untuk menyapanya duluan. "Fia."
Dia menengok kepadaku. "Ya?" wajahnya cukup pangling saat melihatku, "Fio...."
"Rupanya kamu masih ingat aku." aku tersenyum kepadanya.
"Ya ampun... ya, iya, lah... kamu kok, bisa di sini?"
"Kamu sendiri kok, bisa di sini?"
"Aku lagi... aku kebetulan aja sih lewat sini, karena mau neduh, berhubung kakiku juga lecet karena kepeleset di jalan tadi."
"Kebiasaan banget deh." Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan ekspresi malu.
"Ya... begitulah." Dia memiringkan kepalanya bersamaan bola matanya yang memutar, lalu tertawa kecil.
"Rupanya Ms.Painter ini sudah mencapai cita-citanya."
"Menurut anda?"
"Pengen deh dilukis."
"Kamu mau aku melukis kamu?"
"Tepat sekali!"
"Mungkin kapan-kapan."
"Just call me"
***

Sejak pertemuanku dengan Fia, hubungan kami semakin berlanjut seperti sedia kala. Kami sering jalan bareng, ketemuan, cerita, hingga berfoto bareng. Bahkan dia sempat memintaku untuk menumpanginya naik sepeda, tetapi aku selalu saja menolak untuk menuruti kemauan dia karena aku sudah tidak punya sepeda. Tentu saja, sepeda masa kecilku sudah terlalu butut untuk tetap bisa dikendarai. Lagi pula menurutku, aku dan Fia sudah terlalu besar untuk mengendarai sepeda lagi. Padahal banyak hal lain masih bisa kita lakukan yang lebih bersifat kedewasaan.

Seperti kencan misalnya, oh... tidak... aku tidak pernah menyebut pertemuanku dan Fia adalah sebuah kencan.Aku hanyalah sahabatnya, dan dia adalah sahabat terbaikku. Aku sering kali menemani dia untuk menghadiri pameran lukisan di beberapa Gallery sekedar melihat-lihat lukisan miliknya yang berhasil ditampangkan kepada hadapan publik. Aku... tentu saja merasa senangk mempunyai sahabat bertalenta seperti Fia, beberapa lukisan miliknya yang aku kenal memiliki tema nature , tetapi ada juga yang beberapa memiliki tema fairytale. Menurutku, tidak ada satu pun lukisan miliknya yang jelek, maksudku... semuanya indah... warnanya selalu tertata dengan rapih, dia pintar dalam menyelaraskan warna.

Hari ini, kami sedang menyempkatkan waktu lagi untuk jalan bareng. Kali ini kami bersantai di tengah padang ilalang, tetapi... Fia tidak membawa kanvas dan kuasnya, dia benar-benar ingin mengistirahatkan diri dari aktivitas yang berkaitan dengan lukisan.

"Aku mau ke Singapore," kata Fia kepadaku setelah beberapa saat keheninggan menyelimuti suasana diantara kami berdua
"Apa?"
"Maafin aku, aku harus pergi," jelasnya sekali lagi.
"Again?"
"Aku... aku ada urusan di sana." Wajah dia penuh dengan ekspresi menyesal dan bingung. Dia sepertinya sangat memohon untuk bisa pergi. Aku terdiam beberapa saat, mencoba untuk megolah pembicaraan dia di otakku.
"Jangan."
"Maafin aku, Fio." Fia pergi dari pandanganku, apakah dia sungguh ingin pergi lagi? Padahal kami baru saja bertemu sebulan ini. Aku senang bisa bersamanya lagi. Dia adalah satu-satunya sahabat terbaikku, mana mungkin aku biarkan pergi begitu saja.

Aku sungguh tidak menyangka dia harus pergi lagi. Aku kesal! Aku begitu kesal! Seharusnya kita tidak boleh bertemu di Cafe itu, seharusnya aku tidak menyapanya terlebih dahulu. Aku marah kepada diriku sendiri, aku marah pada Fia. Dia sempat menghubungiku di hari terakhir dia berada di Jakarta. Dia memberitahuku bahwa dia akan berangkat ke Bandara, dan bertanya jikalau aku ingin mengantarnya.

Tentu saja tidak. Aku jawab tidak mau. Aku kesal dengannya! Aku sudah muak dengan kehadiran dia yang hanya beberapa saat! Lalu harus pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Selain itu, dia bahkan juga belum sempat untuk melukiskan wajahku. Aku ingin dilukis olehnya. Aku ingin dia mengingatku pada kanvas kosongnya, mengingatku kelak . Dia seperti sama sekali tidak mengacuhkan kehadiranku. Padahal aku kan sahabatnya sejak kecil.
***

Pukul 7 pagi hari ini terlalu gelap untuk bisa dikatakan pagi hari. Awan gelap, mendung, aku yakin pagi ini akan hujan. Aku mengintip pemandangan luar rumahku dari jendela kamar, Di depan rumahku ada sebuah mobil, mobil... entah mobil apa itu, tetapi dari yang aku bisa lihat, seseorang keluar dari mobil itu sambil membawa kotak yang cukup besar, kotak itu berbentuk persegi panjang, dilapisi koran, lalu ia memeberikan kotak besar itu kepada Mama.
"Fio...." Mama memanggilku dari lantai bawah
"Iya ma?"
"Ada paket untuk kamu." Paket? memangnya siapa yang mengirimkanku paket. Aku segera turun ke lantai bawah untuk melihat paket tersebut.

Berdasarkan keterangan kertas yang tertempel di kotak tersebut menjelaskan bahwa paket itu dikirim dari Singapore, berasal dari seorang pengirim bernama Alfia Zarina. Ini Fia, ini paket dari Fia. Aku langsung membuka paket itu dengan perlahan. Benar saja isinya adalah sebuah lukisan, namun lukisan ini tidak seperti lukisan-lukisan milik Fia yang ada di Gallery, lukisan ini lebih mirip lukisan yang di gambar oleh seorang anak kecil, Tidak terlalu bagus, namun lucu juga. Gambarnya masih tertera jelas bahwa ini adalah gambar sorang cowok dan cewek yang sedang mengendarai sepeda, walaupun wajahnya di bikin sedikit samar-samar. Cowok dan cewek itu diberi penjelasan tanda panah lalu dituliskan namaku dan nama dia, tetapi kapan pastinya dia melukis gambar ini? kenapa dia tidak pernah cerita?

Di dalam paket itu juga berisi sebuah surat.

Untuk : Fio
Maafin aku karena aku selalu pergi dari kamu. Aku melakukan hal itu karena aku terpaksa, aku terpaksa pergi. Aku juga mau minta maaf karena aku sudah banyak bohong ke kamu, tetapi... sekarang, aku ingin memberitahumu rahasiaku. Aku mengidap penyakit jantung, dan terpaksa harus melakukan perawatan hingga ke Singapore. Aku tidak liburan di sana, aku juga tidak sekolah ataupun menjalankan bisnis Papaku, tetapi aku perang melawan sakit ini. Maafin aku karena gak bisa menemani kamu naik sepeda. Sejak bertemu dengan mu lagi di Cafe itu, aku merasa sangat senang. Aku berharap kita bisa naik sepeda bareng lagi, tetapi ternyata hal itu seperti keinginanku yang tidak akan bisa terjadi lagi. Maka sampai saatnya tiba, sakit itu datang kembali sehingga aku harus pergi lagi. Aku... sungguh mengerti, aku mengerti kalau kamu hanya menganggapku sebagai sahabat. Aku mengerti kalau aku terlalu bodoh untuk mengartikan perasaanku ke kamu kalau sebenarnya lebih dari sahabat. Oh ya..., aku bukannya tidak ingin melukis wajahmu, tetapi... aku sudah terlanjur melukis wajahmu saat kamu menungguku di luar rumahku, lalu kamu berlari ke atas rumahku. Aku sempat panik karena takut kamu akan melihat lukisanku itu. Aku langsung mengganti kanvasku dengan kanvas lain yang sudah ada gambarnya. Aku berniat untuk memberikan lukisan itu kepadamu, tapi aku malu... karena lukisanku masih tidak layak dianggap lukisan, dan aku takut kamu akan kesal kepadaku. Maka dari itu.. mungkin saat inilah saat yang tepat. Sebelum aku telah benar-benar pergi, aku sangat ingin kamu melihat lukisan itu. Cerita kecil kita.

Aku merasa lebih bodoh lagi setelah membaca surat dari Fia. Aku merasa bodoh karena tidak pernah mengerti dari setiap apa yang diperbuat oleh Fia selama ini, rahasia dia.... Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Setelah dia benar-benar pergi. Dia... apa benar dia telah pergi? Apakah dia tidak akan pernah datang lagi bersama hujan? Sudah pasti benar, berpikir apa kau ini Fio. Bahkan aku belum sempat mengajaknya untuk bersepeda kembali, padahal itu lah hal terakhir yang sangat dia harapkan. Lukisan kami... cerita kecil kita... aku janji akan selalu memajangnya dipikiran dan hari ini.

Comments

Popular Posts