Ru





Semuanya kacau. Berantakan  tidak karuan. Tidak ada yang tersisa empasan api yang terlanjur membara. Ru sadar, semua ini adalah salah dia. Dia berencana untuk membakar



semua foto-foto kenangan dengan mantan kekasihnya, namun tanpa terpikirkan olehnya, api malah menyambar ke segala arah, termasuk rumahnya sendiri. Semuanya terjadi begitu saja. Api melahap segala yang ada di rumah itu. Rumah Ru, semua barang milik keluarga Ru, milik Mama, Papa, Kak Eko, dan Lita. Melahap semua yang dia anggap istana.
Apa yang bisa ia perbuat? Sekarang, Ru terdampar di sudut ruangan dalam posisi meringkuk, terselip di belakang meja makan. Ia berusaha melindungi diri dari api yang marah. Atap ruangan mulai berjatuhan; kayu penyangga hampir roboh; puing-puing abu simpang siur menyesakkan dadanya.
Ru menjerit, memohon pertolongan. Ru menangis dalam sesaknya api panas. Api itu sangat kuat. Ia tidak mampu melawannya. Ia berpikir bahwa ia akan segera mati.

"Ru..., kau di mana?" Eko, kakaknya Ru, memanggil Ru dari sebrang ruangan.
Ru segera membalas sahutannya, "Kak, Kak Eko... aku di sini kak."
"Ru..., kau kah itu?" Kak Eko berada di balik kobaran api. Ru melihatnya dalam samar. Kak Eko berada di sebrang meja bundar yang terhalangi oleh api. Ru mencoba untuk mengangkat dirinya agar Kak Eko bisa melihat.
"Kak... Kak Eko!" Panggil Ru, suara Ru sudah serak. Ia mulai terbatuk-batuk. Entah sudah berapa banyak asap yang telah ia hirup.
"Ru... kau di sana!" Ru melambaikan tangan.

Kak Eko mencoba mencari langkah yang aman sehingga bisa mencapai Ru. "Tunggu Ru, kakak datang." Bayangan Kak Eko samakin lama semakin terlihat jelas. Ada rasa bahagia yang mencuat dalam diri Ru karena bisa melihatnya. Secercah harapan untuk hidup menggencar pikirannya. Wajah tampan milik Kak Eko sudah ternodai luka yang terletak di dahinya. Wajahnya kusam. Kaos kesayangannya, ia lepas demi melindungi dirinya dari api.

Kak Eko menyingkirkan meja makan yang sedari tadi masih saja menyekap Ru."Ayo Ru, tetap berjalan di belakang kakak." Kak Eko membimbing jalan. Ru mengikutinya dari belakang. Dia terus saja mengibas-ngibaskan bajunya yang sudah lembab oleh air untuk mencegah api yang berusaha menyambar mereka.
Langkah mereka sejenak terhenti, tidak ada jalan. Api dengan kayu-kayu besar sebagai tumpuannya menyangga jalan ke luar. Mereka mendengar suara seseorang berteriak minta tolong yang berasal dari pintu kamar Mama dan Papa. Kak Eko menghampirinya "Kamu tunggu di sini Ru."
"Kak hati-hati." Dia mengangguk.

Ru menunggu beberapa saat, namun ia belum juga kembali. Ru merasa khawatir, memutuskan untuk menyusul. "Kak Eko!" Ru memanggil kakaknya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ru sampai di depan kamar Mama dan Papa, pintunya telah terbuka, tetapi di mana Kak Eko dan Mama? Apa mungkin mereka sudah pergi? pikir Ru. Ru beranjak masuk.

Seseorang tergeletak di atas lantai. Itu... Mama, dia tidak sadarkan diri. Ru melemparkan dirinya pada Mama. Tangisnya pecah saat ia sadar bahwa Mama sudah tidak bernapas lagi. Ia mengguncang tubuh Mama. Percuma saja, mama telah tiada. Di samping tempat tidur, ada Kak Eko. Kak Eko memegang pisau, pandangan dia kosong, air matanya mengalir deras. "Kak, Kak Eko." Ru menyebut namanya pelan.
"Pergi Ru." Kak Eko memerintah Ru dengan pelan untuk segera pergi
 "Kak, aku gak akan pergi tanpa kakak." Ru menekuk kedua kakinya di samping  Kak Eko. 
"PERGI!!!!" Kak Eko membentak Ru. pandangannya seram. Tempo napasnya tidak karuan, dia melotot pada Ru sambil menyodorkan pisau kepada adiknya itu. "Pergi Ru! Kamu pantas untuk selamat, kakak sudah terlambat menyelamatkan Mama, sekarang biarkan kakak menyusulnya."
"Enggak kak, enggakk!! Kakak gak salah... kakak,"
"Diam Ru!! sebaiknya kamu pergi, atau kamu," dia memandang pisau itu lalu mengelusnya pelan, "akan melihat suatu tragedi." Ru menangis sekuat-kuatnya, menahan tangan Kak Eko yang masih memegang pisau itu. Ia gagal. Kak Eko menancapkan pisau tepat di tengah perutnya sendiri. Darah menembus lapisan kulit Kak Eko. Ru terdiam beberapa saat, kedua tangannya mendekap mulutnya yang ternganga. 

Ru menarik tubuh dari tempat dia berada. Ia sungguh menyesal. Berkali-kali mengatai bodoh kepada dirinya sendiri. Ia sadar Mama dan Kak Eko sudah tiada, maka ia bersikeras untuk bisa keluar dari terjangan api-api ini. Dia harus bisa keluar.

Ru berjalan tanpa arah. Berusaha untuk menghindari api dengan senjata yang tadi Kak Eko gunakan. Ia terus-menerus memanggil Papa dan Lita. Hanya mereka berdua yang tersisa. Merekalah harapan Ru.

Ru sampai di ruang tamu. Tidak lama terdengar suara tangisan. Orang itu adalah Lita; adik bungsu Ru, suaranya berasal dari atas tangga. Ru menerpa pandangannya jika itu benar-benar Lita.  Lita berada di pertengahan tepi tangga. Ia terjebak. Api telah menutupi jalannya untuk ke bawah, juga menutupi jalannya untuk bisa ke lantai atas. Ru berencana ppmemadamkan api itu, “Kakak di sini Lita!! Tunggu kakak!!” Sahut Ru untuk membuat adiknya lebih tenang.

Ru segera mencari air. Ia pergi ke toilet. Ia berlari secepat mungkin ke tempat toilet berada. Beruntung jaraknya tidak terlalu jauh dari tangga. Air hanya tersedia setengah dari ember, ia memutar kran agar airnya bertambah, tetapi airnya tidak keluar. begitu sial! Mau tidak mau, dia harus memanfaatkan air itu sebaik mungkin. Ru membawa air seadanya beserta gayung.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia menggiurkan air ke arah api, rencananya berhasil. Lita berlari memeluk tubuh Ru. Tubuh Lita sudah terasa sangat panas, wajahnya pucat, dia pasti kelelahan karena menangis.
“Lita, kamu tahu di mana Papa?”
“Tadi Papa ke sini, namun dia tidak kembali lagi, dia bilang dia akan mencari bantuan.”
“Kalau begitu, ayo kita cari Papa." Ru menggandeng lengan Lita, tidak lupa untuk membasahi kembali pakaian milik Kak Eko yang sudah mengering.

Ru dan Lita mulai mencari Papa ke kamar Kak Eko, yaitu ruangan yang paling dekat dengan ruang tamu. Pintunya menjeblak begitu saja, namun apa yang mereka temukan? Tentu saja mereka menemukan Papa terduduk di lantai bersandar di depan tempat tidur, wajahnya pucat, tubuhnya sangat lemas.
“Pa... Papa kenapa?”
“R... Ru... Lita… kalian… cepat pergi." Napas Papa tidak karuan, dadanya bergerak naik-turun, hidungnya memerah. Penyakit asma yang sudah lama dipelihara Papa kambuh dengan sangat cepat, menggerogoti seluruh lapisan pada tenggorokannya hingga dia sulit untuk bernapas. Asap yang berasal dari api sudah menyumbat tenggorokannya.
“Ayo, Pa, Ru bantuin, Lita kamu pegang tangan Papa.” Ru menopang punggung Papa dengan sebelah tangannya, menuntunnya untuk ke luar kamar.

Mereka berjalan pelan-pelan untuk bisa ke pintu luar, api ini semakin merajai seisi rumah, suasana terasa begitu menyengat. Hampir tidak ada oksigen yang bisa dihirup. Wajah Papa sudah tidak karuan. Lita tetap memasang wajah tegarnya untuk terus bertahan. Tiba-tiba saja Papa terjatuh, ia langsung tidak sadarkan diri.
“Pa…, Papa?” Ru menepuk kedua pipi Papa, lalu mendekatkan salah satu telinganya ke dada Papa. Papa sudah tidak bernapas. Ru menggelengkan kepala pada Lita. Lita menangis kejer menyebut-nyebut nama Papa, ia memukul-mukul tubuh Papa memaksanya untuk terbangun kembali. Sedangkan Ru hanya terdiam, tubuhnya terasa kaku. Ia memeluk Lita sebagai haluan untuk menenangkannya. Mereka menangis bersama, menyadari bahwa hanya mereka yang tersisa dari keluarga itu.

Mereka melanjutkan langkah untuk bisa ke luar dari terkaan api yang menggelojak semakin kencang. Mereka seperti terjebak di dalam neraka. Mereka terus berjalan dengan kaki yang terasa semakin berat. Wajah Lita tampak sudah sangat lemas. Ia sedari tadi memegangi roknya. Kemudian Ru melihat sesuatu pada kaki kiri Lita, ia mencoba untuk menerkanya lebih dekat, sebuah luka, luka bakar yang ternganga lebar.
“Kenapa kamu gak bilang sih?” Lita terdiam menatap Ru dengan tatapan lelah. Luka yang ada di kaki Lita sudah terinfeksi berwarna kehitaman. Ru terpaksa menggendong Lita karena ia sudah tidak kuat lagi berjalan.

Akhirnya mereka sampai di depan pintu rumah. Nahas pintunya tidak bisa terbuka. Ru menyandarkan tubuh Lita pada sofa, lalu menggedor-gedorkan pintu teriak minta tolong. Seseorang mendengar teriakannya, walaupun Ru tidak mendengarnya dengan jelas, tetapi dia yakin seseorang sedang berusaha untuk membuka pintu itu. Ru memundurkan kakinya. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, pintu itu terbuka. Ru berhasil. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah membukakan pintu tersebut. Lalu ia berbalik pada Lita. Tanpa diduga api menutupi jalannya pada Lita, bongkahan kayu yang jatuh dari langit-langit ruangan telah bekibarkan api yang sangat besar memerangkap Lita di tengahnya. Ia tidak dapat melewatinya bahkan orang yang sudah menolong Ru juga tidak bisa. Lita masih dalam posisinya yang tidak berubah, matanya tertutup. Orang asing yang telah menolong Ru, menarik Ru keluar dari rumah, menghentikan segala kegilaan Ru yang memaksa diri untuk menghampiri Lita. Semuanya sia-sia saja, hanya Ru yang berhasil keluar.
***

“Jadi apa yang kamu rasakan sekarang?” Seorang psikiater wanita terus menerus melontarkan semua pertanyaannya pada Ru, namun tidak ada satu pun dari jawaban Ru yang dapat membuat ia mengerti.
Ru tidak menjawab apa-apa. Pandangan Ru kosong, membuat wanita itu semakin heran dengan tingkah lakunya.
“Apakah kamu ingin pergi dari rumah ini?” Ru menggeleng pelan. “Jadi kamu akan terus tinggal di sini?” Ru menganggukkan kepalanya “Apakah kamu tidak merasa kesepian?” Ru menggeleng lagi. Wanita itu mencatat segala pendeskripsian analisis tingkah laku Ru pada datanya.
“Mama, Papa, Kak Eko, dan Lita. Mereka semua masih ada." Ru mulai membuka mulutnya. Ru berbicara dengan gerakan bibir yang terlihat sangat kaku.
“Apa?” Wanita itu melirik pada Ru.
“Mereka semua… keluargaku... masih ada di sini.”
“Tidak Ru, mereka semua itu sudah tiada. Kamu harus bisa menerimanya, kalau begitu,” Wanita itu melirik jam tangannya, “cukup untuk hari ini, jangan lupa diminum obatnya ya, Ru."

Wanita itu izin pamit pada Pak Adi, orang yang selama ini sudah merawat Ru dengan sukarela di rumah itu. Ya, walaupun secara teknis Ru tetap tinggal sendirian di rumah itu. Pak Adi  hanya mengawasinya sesekali waktu. Ia pula yang telah melakukan sedikit renovasi kepada rumah Ru agar bisa ditempati kembali karena Ru memaksa untuk tetap tinggal di situ

Setelah itu, Pak Adi menghampiri Ru.

“Ru… ini sudah malam, saya mau pulang , jaga dirimu baik-baik” Lalu mata Pak Adi terarah pada secarik kertas yang ada di meja depan Ru duduk.

Kami semua masih ada disini. Kami yang akan selalu menjaga Ru, kami yang akan menemani Ru sampai kapan pun. Jangan pernah menganggu ketenangan Ru dan kami lagi. Ini adalah rumah kami. Selamanya.

Comments

Popular Posts