Yang Tertinggal dari Penulis


                GOAL!!! Pertandingan akhir football kali ini dimenangkan oleh kelas 12 IPA 1 dengan skor unggul 6 – 0. Wina serta teman-temannya meloncat-loncat kegirangan di tengah lapangan tanpa mempedulikan penonton yang sedang terheran-heran akan semua ke-golan yang bisa diraih oleh tim putri football kelas 12 IPA 1. Pertandingan final ini akan menjadi sejarah baru di antara kelas 12 yang lainnya karena sangat jarang ada tim putri yang bisa merekor nilai sebanyak itu di pertadingan final.
            Sebagai perayaan atas kemenangan mereka, Wina dan teman-temannya memutuskan untuk mengadakan acara makan-makan sekelas di salah satu Cafe popular di kalangan remaja saat ini. Tidak peduli berapa banyak uang yang akan keluar dari kantung mereka masing-masing, yang penting mereka merasakan kebahagiaan ini bersama-sama.
            Dering ponsel Wina berbunyi, lalu dia mengangkat telefonnya dengan segera. “Halo, Ma?” Rupanya Mamanya Wina yang menelefon, ia menjelaskan tentang sesuatu yang sangat penting: tentang kabar publikasi sebuah buku yang telah diterima oleh penerbit. “Apa? Serius, Ma?” Wina merasa kesenangannya hari ini melunjak hingga 100%, pada akhirnya buku yang selama ini telah dia tulis sudah terpublikasi. Wina langsung menyampaikan kabar ini kepada teman-temannya. Sanyum lepas menyeringai lebar di bibirnya, wajahnya tampak berseri-seri, rasanya seperti dia sedang bermimpi. Dia akan segera menjadi seorang penulis. Penulis sungguhan. Orang-orang akan membaca hasil karyanya, dia akan mendapatkan royalti, dia akan diwawancarai oleh siaran-siaran yang ikut membantu Wina mengiklankan hasil karyanya tersebut, dia juga akan memiliki segudang penggemar yang memohon coretan acak khasnya terpampang di setiap buku.
“Ya, ampun, Guys! Lo tau gak, sih? Akhirnya buku gue keluar juga...!! Gue seneng banget.”
“Serius lo? Wah, Selamat, ya!” kata Fira, salah satu teman Wina sejak kelas 11.
“Pokoknya gue harus menjadi orang pertama yang dapat tanda tangan dari lo! HARUS!” kata Lea, salah satu orang yang terkenal eksis di sekolahnya. Segudang cowok selalu menantinya hingga adanya jawaban.
“Berarti.... berarti....” Helen berdiri, lalu memegang kedua pundak Wina. “GUE BAKALAN PUNYA TEMAN SEORANG PENULIS!!! AAAAA!!!” Mereka berdua kegirangan sambil berpelukan, merloncat-loncat layaknya anak kecil.
“Kalian doain aja, deh. Untung-untung kalau buku gue menjadi bestsellers.
“PASTINYA! Hahahaha,” jawab ketiga kawannya itu dengan kompak.
            Anehnya, dari tadi Zaki tidak berkomentar apa pun, dia hanya memandangi teman-teman perempuannya itu; sambil berulang kali meminum segelas coca cola di tangannya.
“Zak, kok, kamu diam aja, sih?” tanya Wina kepada Zaki, tentu saja Wina bingung, kenapa pacarnya tidak berkomentar apa pun; tidak memberi support
“Win, aku mau bicara sama kamu.”
“Ya, udah, bicara aja.” Wina menaikkan kedua alisnya—dia siap untuk mendengarkan apa yang ingin dibicarakan oleh Zaki.
“Bicara berdua aja sama kamu.”
“Zak, kita ini lagi hang out bareng-bareng, yang artinya, kamu juga harus ngomongin suatu hal bareng-bareng dong—di depan teman-teman yang lain juga.”
Zaki mengendus napas seketika—mau-tidak mau, dia akan menuruti permintaan pacarnya itu. “Okay, jadi begini....” Fira, Lea, dan Helen langsung mendekatkan telinga mereka masing-masing, berancang-ancang untuk menyimak pembicaraan Zaki. “Buku... yang Wina publikasikan itu... bukan benar-benar buku yang ditulis oleh Wina.” Semua mata terbelalak seakan-akan Zaki baru saja membuka bajunya di depan mereka semua.
“Maksud kamu apa, Zak?” tanya Wina kemudian.
“Aku minta maaf, Win, tapi... memang itu lah kenyataannya. Bukan kamu yang menulis buku itu.”
“Kamu itu bicara apa sih, Zak? Ya, memang sih, aku nggak pernah tahu isi buku itu, cerita apa yang aku tulis gara-gara kecelakaan itu, tapi, please... jelasin ke aku sejelas-jelasnya, apa yang kamu bicarain?” Suara Wina meningkat drastis; dia kesal dengan pembicaraan pacarnya itu yang dianggap sangat ngaco.
Zaki menarik lengan Wina untuk duduk di sampingnya, lalu memegang pundak Wina dan menatapnya dengan serius. “Aku gak bisa berpura-pura mulu, Win. Lebih baik, sekarang kamu pulang, ya. Aku bukan orang yang tepat untuk menjelaskan semuanya—maksudnya aku sangat ingin menjelaskannya, tapi sesuatu menghadangnya. Orangtua kamu lah yang bisa menjelaskan semua kejanggalan ini, dan satu lagi, aku mau kita putus.” Zaki berjalan ke luar Cafe, meninggalkan Wina dan semua teman-temannya. Wina hanya terpaku dalam diam melihat pacarnya berjalan ke luar melewati pintu Cafe.
*
            Sore itu, Mama dan Wina sedang dalam perjalanan ke tempat penerbitan. Mama sudah tidak sabar ingin melihat hasil cover yang telah tercetak pada buku Wina. Dia tidak berhenti mengoceh; karena terlalu senang anak tunggalnya tersebut telah berhasil menjadi seorang penulis. Wina masih memikirkan tentang perkataan Zaki, dia hanya terdiam memandang ke luar jendela.
“Win, kamu kok, diam aja, sih dari tadi Mama ngomong?”
“Ah, enggak kok, Wina nggakpapa, Ma.” Wina tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum ke Mamanya.
“Kamu kelihatannya nggak senang?” tanya Mama sambil terus fokus pada kegiatan menyetirnya.
“Wina senang kok, Ma.” Wina memalsukan senyumnya lagi ke Mama. Setelah itu dia terdiam sejenak; dia ingin menanyakan tentang hal itu kepada Mama, tapi dia takut. Dia harus bertanya hal itu pada Mama. Akhirnya dia membuka mulutnya untuk bicara lagi. “Ma...,” sapa Wina pada Mama.
“Hmm?”
“Ma...”
“Kenapa, Win?”
“Mmm... Mama... udah pernah baca cerita aku?”
“Belum, Mama bakal baca setelah cerita menjadi buku.”
“Ma, boleh gak, kita tunda publikasinya,” jelas Wina. Mama mendadak memnghentikan mobilnya, tubuh Wina dan Mama tersentak ke depan.
“Apa?!” jawab Mama tertegun dengan perkataan Wina.
“Wina mau baca dulu buku Wina, Mama kan, tahu, Wina hilang ingatan gara-gara kecelakaan itu. Makanya Wina mau baca dulu naskah aslinya supaya Wina bisa tahu jalan ceritanya.”
Mama terdiam memandangi Wina. “Kamu bisa membaca ceritanya setelah buku itu telah dipublikasi.”
“Tapi, Ma...”
“Pembicaraan selesai.”
*
            Buku Wina sudah terpublikasi, yang artinya, dia bisa membaca cerita itu. Dia membacanya dengan sangat teliti. Dia mencoba untuk mengingat setiap detail isi cerita itu. Dia mencoba mengingat masa-masa di saat proses penulisan buku itu. Tapi, entah kenapa tidak bisa—dia tidak ingat apa pun tentang buku itu. Yang dia tahu, adalah saat dia keluar dari Rumah Sakit, Mamanya bercerita kalau dia adalah seorang penulis. Dia sudah siap meluncurkan buku pertamanya. Mama juga bercerita kalau Wina memiliki seorang pacar, yaitu Zaki, namun Wina dan Zaki berada di sekolah yang berbeda. Sebenarnya sekolah mereka sama, tapi Wina dipindahkan sekolah oleh orangtuanya; karena mereka pun juga pindah rumah akibat dari jarak kantor kerja Papa yang terlalu jauh.
            Wina merasa janggal dengan tokoh utama yang ada di dalam cerita tersebut. Dia merasakan, bahwa cerita ini begitu nyata. Begitu benar; fakta apa adanya. Dia kembali mencoba untuk mengingat. Kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing, seperti berputar-putar.
            Pandangan Wina buram—yang Wina lihat sangat samar-samar—yang pasti dia sedang berada di suatu jalan raya. Dia terluka di dekat sebuah motor, lalu dia melihat seorang perempuan di dekatnya terbaring dengan wajah penuh dengan darah—wajah yang dia kenal—persis dengan kepunyaannya. Dia berusaha untuk melihat dengan jelas lagi pandangannya itu. Dia menyipitkan matanya, kemudian berkata, “Lina.” Setelah itu, semuanya berubah menjadi hitam.
*
“Win..., Wina!!” Mama sudah berada di samping Wina saat ia membuka matanya.
“Ma...” Wina langsung terbangun menegakkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Ma, Wina udah tahu, Ma. Wina udah tahu kalau Wina memiliki saudari kembar. Dia itu adalah Lina kan, Ma?”
Mama terdiam lalu menundukan kepalanya. Dia berpikir, mungkin memang sudah saatnya dia menceritakan semuanya kepada Wina—rahasia merupakan hal misterius yang hanya bisa dipercayakan kepada orang tertentu yang tetap saja harus siap membongkar rahasia tersebut. “Ya, kamu memang memiliki saudari kembar, dia yang menulis buku itu; dia menulis seluruh kehidupannya yang terjadi di buku itu, dan kamu... selalu merasa iri padanya.” Mama mengalihkan pandangannya dari Wina.
“Mama kenapa, sih, Ma, harus bohong ke Wina? Semua tentang pindah sekolah, jarak kantor Papa yang jauh, semua itu Mama dan Papa lakukan hanya untuk menghindari kecurigaan Wina, kan? Supaya Wina tidak tahu apa-apa. Meninggalkan semuanya yang berhubungan dengan Lina. Mama dan Papa jahat.” Wina tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak kepada Mamanya sendiri, merasa sedih karena telah dibodohi oleh orangtuanya sendiri, terlebih lagi, setelah dia sadar bahwa dia memiliki saudari kembar.
“Suatu hari, hujan turun, badai bersimpang siur dengan kencang. Kamu dan Lina sedang mengedarai motor berdua, entah kemana. Namun nahas, kalian kecelakaan.” Mata Mama mulai berlinang air mata. Dia merasa bersalah karena sudah membohongi Wina selama ini.
Mama kembali melanjutkan ceritanya. “Saat di rumah sakit, dokter bilang, bahwa jantungmu mengalami kebocoran, entah apa sebabnya.”
“Apa yang terjadi pada Lina, Ma?” Wina terpaku mendengar seluruh cerita dari Mamanya. Dia mulai menangis.
“Wajah Lina terbalut oleh plester—hanya mata dan hidungnya saja yang terlihat. Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi jika dia hidup. Pada saat itu juga, dia mengetahui tentang kondisimu yang juga sedang sekarat. Lalu...,” Tangisan Mama semakin deras. Wina beranjak dari tempat tidurnya, lalu memeluk Mamanya dari belakang. “Dia memberikan jantungnya kepadamu, dia juga menitip pesan bahwa buku itu... adalah milikmu sekarang.” Mama membalikkan tubuhnya menghadap ke Lina, lalu memegang kedua pundak Wina. Zaki— satu-satunya orang yang mengetahui tentang semua ini—berpura-pura untuk menjadi pacarmu karena Lina tahu kalau kamu ingin seperti dirinya.” Wina membelalakan matanya. Dia sadar, kenapa dia menjadi begitu jahat; kenapa dia bisa merasa iri pada Lina? Padahal mereka memiliki rupa yang sama. Namun tampaknya, penampilan tidak bisa sebanding dengan kepribadian dan kemampuan. Wina sadar akan hal itu—ya, baru sadar sekarang.
            Wina berlari keluar kamar meninggalkan Mamanya sendiri. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Dia hanya berlari dan terus berlari sampai ke jalan raya sambil menangis. Dia merasa bodoh, dia merasa tidak pantas untuk memiliki semua ini: jantung, buku, dan Zaki. Semua ini milik Lina, bukan Wina.
            Mobil dari arah selatan melaju dengan kencang, Wina tidak mengetahui hal itu. Yang dia tahu sekarang, dia berada di pinggir jalan melihat suatu tragedi; dia melihat dirinya tergeletak lengkap dengan darah di sekujur tubuhnya. Seseorang menyentuh bahunya dari belakang. Wina melihat ke belakang. Rupanya seseorang yang belum lama dia tangisi menghampirinya. Dia tersenyum—orang itu sangat cantik dan sangat persis seperti dirinya. Rambut ikal orang itu menjuntai hingga sedada; bulu matanya yang lentik; dan senyum hangat-tipis membuat hati Wina bahagia. Bedanya, kini Wina memiliki rambut sebahu—lebih pendek dari kepunyaannya. Lalu, Wina berdiri dan memeluk saudari kembarnya dengan perasaan yang sangat lega.

Comments

Popular Posts